Filosofi Pedepokan SH Terate (5)

Filosofi Pedepokan SH Terate (5)

(Bagian Akhir dari 5 Tulisan)

Pada tulisan terdahulu sudah dipaparkan makna delapan tiang penyangga Padepokan Agung Persaudaraan SH Terate yang berlokasi di Jl. Merak, Nambangan Kidul, Kota Madiun. Kontruksi delapan tiang itu melambangkan Hasta Brata atau delapan sifat dan watak yang harus dimiliki warga SH Terate. Kedelapan sifat tersebut diformat untuk menyangga lima sifat dasar yang menjadi domain ajaran Setia Hati. Yaitu : (1) Bertakwa kepada Allah, Tuhan Yang Mahaesa, (2) Pemberani dan tidak takut mati (3) Sederhana. (4) Soal kecil berani mangalah, baru bertindak jika berhadapan dengan persoalan besar dan prinsip yang sudah menyentuh damarkasi kelangsungan hidup manusia. (5) Mamayu hayuning bawana. Kelima sifat dasar tersebut dalam kontruksi Padepokan Agung SH Terate diwujudkan dengan kontruksi lanskap makro Gedung Saba Wiratama. Gedung utama yang sosoknya paling besar dan megah tersebut, jika dilihat dari depan (agak kejauhan) akan muncul lanskap makro berbentuk segi lima.

Kelima sifat dasar tersebut diatas, menurut Kang Mas KRH. H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, Ketua Umum Persaudaraan SH Terate merangkap Ketua Mejelis Luhur pereode (1981-2014/15), merupakan format ajaran pembentukan watak dan sifat Setia Hati. Dalam praktiknya, proses pemberian pelajaran ini dilakukan sejak seseorang mulai masuk sebagai siswa SH Terate (anggota), setelah disyahkan menjadi warga, hingga akhir hayatnya. Atau melalui proses pembelajaran sepanjang waktu. Istilah yang digunakan adalah pelajaran kerokhanian atau ke-SH-an.

Kenapa sepanjang waktu? Menurut Mas Madji, karena ilmu Setia Hati sendiri terlepas dari pigura ruang dan waktu. Tujuan akhirnya juga untuk mencapai kebahagiaan abadi lepas dari ruang dan suasana, kebahagiaan abadi terlepas dari ruang dan waktu.”Tujuan belajar ilmu Setia Hati itu tidak hanya untuk mencapai sukses di dunia, tapi sukses dunia akhirat, kebahagiaan abadi, “ jelas Mas Madji.

Ibaratnya tak ada waktu kecuali wajib belajar. (Carilah ilmu dari buaian ibu hingga liang lahat – Hadist) dan/atau (Carilah ilmu hingga ke negeri China). Sabda rasul ini merupakan feferensi dasar yang akurat yang mewajibkan kepada setiap orang untuk belajar atau menuntut ilmu.

Dalam terminologi “Empat Jurus Kunci Meraih Sukses”, Mas Madji juga meletakkan “mau belajar” sebagai jurus ketiga yang musti diimplentasikan warga dalam kehidupannya.

Belajar dalam konteks pembicaraan kali ini, tidak hanya terjebak pada pendidikan formal. Proses belajar otodidak dan non formal, tercakup di dalamnya. Muara akhirnya adalah perubahan perilaku secara permanen kearah yang lebih bijak, konkret, serta positif, sebagai bekal dalam berdharma demi dan untuk kemaslahatan umat manusia dan pelestarian semesta (mamayu hayuning bawana).

Kitab Teles dan Kitab Garing

Dasarnya, ilmu terangkum dalam dua kitab. Yaitu kitab garing dan kitab teles. Kitab garing adalah kitab yang berisi ilmu yang telah tertulis dan dibukukan, seperti Zabur, Taurat, Injil, Al-Quran dan kitab-kitab lainnya. Kitab teles adalah alam semesta. Kenapa kitab garing dan kitab teles? Karena karakter kitab garing lebih mudah didapat, teruji dan terformat sistematis, methodis, objektif dalam standardisasi disiplin ilmu , sehingga mudah dimengerti dan dipahami. Perlunya belajar kitab teles karena tidak semua pengetahuan tertulis dalam kitab garing. Ini karena ilmu Allah, Maha Luas, Maha Tak Terbatas. Bahkan jika lautan dijadikan tinta dan ranting pepohonan yang ada di bumi dijadikan pena untuk menulis ilmuNya, tidak akan ada habisnya.”Katakanlah (Muhammad) : Seandainya lautan dijadikan tinta untuk menulis kalimat kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai penulisan kalimat kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu pula – QS : 18 – 109). Mempelajari ilmu yang telah tertulis dalam kitab garing, bisa ditempuh dengan pendidikan formal atau belajar otodidak. Waktu yang dibutuhkan bisa diprediksikan dan diproyeksikan berjenjang. Namun mempelajari kitab teles, keluasan ilmu semesta, pendidikan formal tidak akan mampu mencapainya. Keterbatasan ruang dan waktu menjadi kendala pelaku pendidikan, disamping semesta sendiri menyembunyikan misteri yang hingga saat ini masih banyak yang belum terungkap. Itulah kenapa proses belajar kemudian diyakini tidak mengenal ruang waktu. (Carilah ilmu dari buaian ibu hingga liang lahat – Hadist) dan/atau (Carilah ilmu hingga ke negeri China).

Contoh konkret, sampai era digitalisasi sekarang ini pun manusia belum berhasil mengungkap misteri tata ruang angkasa. Masih banyak tata galaksi yang belum ditemukan, dipelajari dan dijadikan sumber eksploitasi demi kemaslahatan umat. Belajar tata ruang Galaksi Bima Sakti saja, masih jauh panggang dari api. Padahal galaksi yang kita huni ini sudah ditemukan ratusan tahun silam. Sejak zama Socrates, Plato, Aristotheles, bahkan jauh sebelum mereka. Padahal ranah ilmu ini sudah dibakukan sebagai ilmu pasti, ilmu antropologi dan sudah melahirkan ribuan gelar profesor doktor.

Contoh lain yang agak absurd, kita belajar pencak, belajar teknik jatuhan, dari jatuhan depan, samping kiri, samping kanan dan belakang. Tapi kenapa ketika berjalan di jalan licin dan terpeleset, tubuh kita terjerambab, memar bahkan mungkin patah tulang, laiknya seorang yang tidak pernah belajar pencak silat? Barangkali pembaca akan berkilah, karena tidak sadar hingga reflek saraf motorik tidak punya kesempatan mempratikkan teknik jatuhan. Jika benar demikian, kenapa saat sebelum terjadi kecelakaan itu kita tidak sadar padahal kesadaran itu melekat dan senyawa dengan tubuh kita? Dan, apabila pertanyaan senada terus kita kedepankan, yakinlah, jawabannya satu, “pepesten, suratan nasib dari sononya.

Misteri serupa itu dan rasa ingin mengetahui jawabannya, memposisikan belajar kitab teles menjadi penting dan berarti. Malah sekarang ini, ahli kitab teles banyak diburu para pencari ilmu bangkit, pencari berkah, perindu ilmu ghaib, mendapat gelar spesifik dan eksklusif, bahkan disebut sebut sebagai sosok masa depan, dianggap mengetahui misteri yang belum terjadi (weruh sadurunge winarah).

Setia Hati Terate menempatkan mencari ilmu atau belajar dalam skala prioritas. Anggota SH Terate sejak dini diwajibkan belajar, mengikuti proses latihan senam, jurus, pasangan dan pelajaran lain yang bersifat ketubuhan (ilmu lahiriyah). Tujuannya untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan memperkokoh ketahanan fisik. Setelah berlatih fisik mereka diwajibkan belajar kerokhanian, sebagai dasar pembentukan karakter manusia berbudi luhur. Baru setelah disyahkan menjadi warga (Tingkat I), mereka dikenalkan dengan “ilmu batiniah”. Tahapan ini harus dilalui dengan bimbingan pelatih (guru), agar terarah dan tidak keluar dari pakem yang sudah teruji dan kualifide.( ....tidak kandas/tenggelam pada pelajaran pencak silat sebagai lambang pendidikan ketubuhan saja, melainkan lanjut menyelami kedalam lembaga pendidikan kejiwaan....Mukadimah SH Terate).

Guru juga berkonotasi makro. Bisa diartikan guru dalam arti ragawi, yakni seseorang yang menguasai kitab garing dan guru yang tidak hanya menguasai kitab garing tapi juga kitab teles (guru makrifat-mursid). Pada era kepemimpinan Mas Madji di Persaudaraan SH Terate, sosok warga yang menguasai dua disiplin ilmu tersebut diberi gelar Ki Hadjar. Gelar tertinggi dan bermartabat di tataran ilmu SH Terate.

Pengalaman dan alam juga merupakan guru yang baik. Kenapa, karena pengalaman menunjukkan catatan perjalanan yang di dalamnya bisa diambil hikmahnya. Alam apalagi. Setia Hati menempatkan alam sebagai Guru Sejati. Referensinya, alam tidak pernah berbohong pada manusia. Contoh, api itu panas, karakternya berkobar ke arah atas membakar apa saja yang dijumpai. Sebaliknya air itu dingin, karakternya mengalir mencari permukaan lebih rendah dan berhenti tenang di permukaan datar. Hujan akan turun jika langit berawan. Air laut pasang jika malam hari karena adanya gravitasi bulan dan di siang hari akan menjadi surut karena gravitasi matahari.(Demikianlah hukum Allah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali kali tidak akan menemukan perubahan pada hukum Allah itu- QS: 48 – 23).

Bahwa dalam kondisi tertentu sifat api menjadi dingin dan tidak memiliki daya bakar, bisa terjadi. Misalnya saat Nabi Ibrahim dibakar dalam kobaran api oleh Raja Namrud. Namun harus diyakini, berubahnya karakter dasar api hingga tak membakar jasad Nabi Ibrahim itu karena adanya pusaran arus keghaiban nubuah. Yakni, mukzizat, sebagai dasar pembenaran status kenabian. Dan itu mutlak atas perintah Allah, pemilik dan pencipta api. Fakta bersumber kitab suci berbicara, api itu toh tetap membakar tumpukan kayu dan menghanguskannya jadi debu. Atas kehendak Allah, hanya jasad Nabi Ibrahim yang terselamatkan.

Pengenalan proses pembelajaran kitab teles itu dimulai setelah warga disyahkan Tingkat II. Selain dibimbing langsung oleh pelatih, pada tahap ini warga mulai diberi keleluasan belajar sendiri, guna mempertajam daya batiniyahnya. Proses belajarnya tidak lagi clasikal, akan tetapi personal. Ini karena kemampuan batiniyah masing masing individu berbeda. Ruang dan waktunya tak terbatas.

Kang Mas KRH.H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, memberikan contoh, guna mempertajam kepekaan berdialog dengan alam, beliau rela menghabiskan waktu bertahun-tahun. Sejak dibimbing Mas Imam, puluhan tahun, hingga belajar otodidak. Penulis beberapa kali diminta untuk menemani. Lokasinya berpindah pindah. Kadang di tepi pantai, di gunung, di tengah sawah, di tepian kali hingga di tengah tengah keramaian. “Manusia itu kholifah di bumi. Seorang kholifah, ratu, harus bisa bersahabat dan berdialog dengan siapa saja. Termasuk berdialog dengan alam. Lihat ombak itu, dia akan membalas sapaan kita jika kita mau menyapa. Akrab dengan kita,” kata Mas Madji, saat duduk-duduk di tepi pantai Pacitan.

Beliau menanggapi dengan senyum jika dituding sesat dan syirik. Banyak yang memfitnah lakunya sebagai ritual minta bantuan jin Laut Selatan, Sendang Drajat, Arga Dumilah, minta bantuan Nyi. Roro Kidul. Mereka menghembuskan fitnah karena tidak tahu, hanya menduga duga, dan minim pengetahuan batiniyah dan makrifatullah. Padahal laku itu merupakan bagian dari tafakur alam. Berdialog dengan semesta, menyelami dan menghayati ciptaan Allah, mengagumi kebesaranNya. Orang bijak menanggapi masalah dengan nasihat dan ilmu. Bukankah kita masih belajar menjadi orang bijak? Hanya orang bodoh yang menanggapi masalah dengan amarah dan pukulan. Masalah adalah kekasih manusia paling setia. Karena itu, hadapi dan selesaikan masalah dengan kasih dan cinta.

Keberadaan pembimbing (guru mursid) sangat diperlukan dalam proses pembelajaran kitab teles.Tujuannya agar tidak sesat jalan. Sebab, logika impiris dan imaginasi kreatif berperan aktif membentuk keyakinan saat seseorang belajar kitab teles. Subjektivitas menduduki peringkat atas, selain praduga dan prasangka. Jika tidak ada campur tangan pembimbing, rawan tersesat.

Fenomena Si Buta melihat gajah duduk, bisa dijadikan gambaran proses praduga sesat belajar kitab teles tanpa guru. Seorang buta yang berusaha mengetahui gajah dan kebetulan dia hanya meraba telinganya, akan menduga bahwa sosok gajah itu seperti “ilir” (kipas yang terbuat dari anyaman bambu), lebar tipis. Dari temuan itu timbul keyakinan pada dirinya, gajah itu tidak ada beda dengan ilir. Di bagian lain, si buta lain yang memegang dan meraba ekor, berprasangka sosok gajah itu panjang agak bulat seperti ular. Lambat laun lahir keyakinan, bahwa gajah itu setali tiga uang dengan ular. Pada sisi lainnya lagi, ada yang kebetulan memegang dan meraba kaki. Dia pun beranggapan lain lagi. Gajah itu ya seperti bambu.

Bisa dibayangkan, seseru apa perdebatan yang akan terjadi jika mereka bertemu dan berdialog tentang gajah. Padahal bagi orang normal dan sering melihat gajah , temuan mereka itu jauh dari fakta sebenarnya. Keyakinan yang terbentuk sesat. Reverensinya parsial, belum mencakup keseluruhan sosok gajah. Mereka hanya melihat dari satu sisi. Itu pun baru sebatas kulit, baru pada sisi yang bisa ditangkap oleh indera peraba.

Meminimalisir sesat praduga dan prasangka, agar tujuan ngelmu sesuai harapan, Mas Madji mengambil kebijakan “wajib nyantrik” bagi warga yang ikut latihan Tingkat II. Nyantrik berasal dari kata cantrik. Artinya abdi, pembantu, asisten. Hanya saja, aplikasinya berbeda. Nyantrik dalam kontek ini bukan berarti harus menjadi pembantu yang berkewajiban menyiapkan semua kebutuhan guru. Tapi lebih ditekankan pada pendekatan personal antara calon Tingkat II dan pelatih, guru.Tujuannya agar terjadi interaksi timbal balik, hingga tercipta kesepahaman pola fikir, pola langkah dan pola ucap. Kesamaan persepsi sangat dibutuhkan, mengingat sebagian besar referensi ilmu yang diajarkan pada tingkat ini, sumber dasarnya adalah empirisme, buah dari laku dan telaah khasanah kitab garing. Contoh, Mas Madji bukan seorang ahli sastra. Bahasa harian yang sering digunakan campuran antara bahasa Jawa Madiunan dan bahasa Indonesia. Dikhawatirkan akan terjadi miskomunikasi tentang maksud ucapan beliau. Tarutama bagi warga yang berasal dari luar Madiun, dan jarang berinteraksi dengan beliau.

Lawang Butulan

Filosofi ajaran lain yang diwujudkan dalam kontruksi Padepokan Agung SH Terate adalah Lawang Butulan (pintu masuk atau jalan tembus). Ada empat Lawang Butulan di Padepokan. Dua buah Lawang Butulan ditempatkan di dinding pembatas antara Palagan Satriatama dan Padepokan Agung, satu lagi ditempatkan di dinding penyekat Ruang Pasamuan, dan Sentong Sakembaran, serta satu lagi ditempatkan di dinding penyekat antara Sentong Sakembaran dan Tamansari.

Makna filosofi yang terkandung dalam kontruksi Lawang Butulan ini adalah jalan tembus yang menghubungkan dunia nyata dan dunia ghaib. Alam nyata dan alam ghaib. Punjernya, hati atau qolbu. Sebagaimana Sabda Rasulullah, “Dalam hati manusia itu sesungguhnya ada dua pintu. Satu pintu berhubungan dengan dunia nyata (dunia materi) dan pintu lain berhubungan dengan dunia ghaib – Hadts Qudsi).

Beracuan pada hadits tersebut, bisa dikatakan bahwa, kunci untuk memasuki dunia nyata adalah panca indera sedangkan kunci sejati untuk menembus alam ghaib adalah hati. Namun, terkait dengan penjabaran paparan ini, tampaknya tidak bijaksana jika diungkap diforum dunia maya. Dan penulis, sekali lagi mohon maaf untuk yang satu ini. Penulis juga mohon maaf untuk kesekian kalinya karena paparan makna filosofi Kontruksi Padepokan Agung SH Terate, untuk sementara waktu dicukupkan sampai disini. Semoga bermanfaat. (acs)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa dan Wasiat untuk Warga Baru SH Terate

Sekadar Syarat Bentuk Lahir

Menelaah Mukadimah SH Terate