Sekilas Tentang SH Terate (1)


A. Periode Perintisan

Dalam kilas perjalanan sejarah, Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) merupakan sebuah organisasi ‘’Persaudaraan’’ yang bertujuan membentuk manusia berbudi luhur tahu benar dan salah dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam jalinan persaudaraan kekal abadi.

Organisasi ini didirikan pada tahun 1922 oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo di Desa Pilangbango, Madiun. Ki Hadjar Hardjo Oetomo adalah siswa kinasih dari Ki Ageng Soerodiwirjo (pendiri aliran pencak silat Setia Hati atai dikenal sebagai aliran SH). Ki Hadjar tercatat sebagai pejuang perintis kemerdekaan Republik Indonesia.

Desa Pilangbango pada era pemerintahan Kolonial Belanda merupakan sebuah desa yang berada di wilayah Kecamatan Wungu, Madiun (sekarang Desa Pilangbango berubah status menjadi kelurahan, masuk wilayah Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun).

Hasil penelusuran dan olah data yang dilakukan Andi Casiyem Sudin, menunjukkan, perguruan pencak silat yang didirikan Ki Hadjar awal mulanya hanya berupa tempat berkumpul dan diskusi sejumlah pemuda dan teman seperjuangan Hardjo Oetomo. Di sela-sela diskusi, mereka diajari pencak silat Djojo Gendilo Ciptomuljo, ciptaan Ki Ngabehi Soerodiwirjo. Ilmu pencak silat tersebut dikuasai Ki Hadjar setelah beliau bertahun tahun berguru pada Ki Ngabehi di SH Winongo.

Berdasarkan dokumen yang dimiliki KRH.H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, Ketua Umum S H Terate Pusat Madiun (pereode 1981-2015), menyebutkan, latihan pencak yang digelar Hardjo Oetomo saat itu, secara implisit diformat sebagai ajang pembekalan (basis) pemuda untuk melawan penjajahan Belanda. Jiwa patriotisme beliau tidak rela tanah air tercinta dijajah bangsa lain. Demi memenuhi dharma bhakti kepada bumi pertiwi, setelah membuka tempat latihan di Pilangbango, sebagai basis pelatihan pemuda pejuang di desa setempat, beliau juga membuka tempat latihan pencak silat di daerah lain, seperti Loceret-Nganjuk, Pare-Kediri dan beberapa kota lain di Jatim.

Kajian data hasil penelusuran yang besumber dari catatan pribadi (buku harian) yang ditulis sendiri oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo, menyebutkan, beliau membuka latihan pencak silat dengan niat mulia. Yakni, mengembangkan ilmu pencak SH ke masyarakat kecil (rakyat jelata) dan para pejuang perintis kemerdekaan. Sebelumnya, ada kecenderungan ilmu pencak SH diajarkan kepada kaum bangsawan. Sebut misalnya, kerabat Bupati, Wedana, Mantri Polisi dan masyarakat bedarah biru atau kaum bangsawan. Dalam stratafikasi sosial masyarakat Jawa, komunitas kaum bangsawan ini biasanya memakai gelar Raden (R) di depan namanya. Misalnya, Raden Mas (RM), Raden Ajeng (RA), Raden Bagus (RB), atau juga Kanjeng Raden Arya Tumenggung (KRAT). Kanjeng Raden Haryo (KRH) atau gelar lain yang serupa.

Hasil wawancara yang dilakkukan penulis dengan sejumlah "sesepuh" SH Terate, terdapat beberapa alasan mendasar yang memantik niat Ki Hadjar membuka latihan dan mendirikan perguruan pencak silat “baru”. Yakni, terjadi silang pendapat cukup prinsip antara beliau dengan Ki Ngabehi Soerodiwirjo.

Selain alasan tersebut di atas, Ki Hadjar tidak sependapat jika ilmu SH diajarkan kepada anak anak Belanda. Sebab hal itu bertentangan dengan prinsip beliau, yang ingin menjadikan pencak silat, sebagai basis pelatihan pemuda dalam rangka menyusun kekuatan melawan penjajah.

Ditengarai, lantaran keberanian Ki Hadjar Hardjo Oetomo membuka tempat latihan baru ini, beliau dan siswanya sempat diolok-olok oleh siswa Ki Ngabehi Soerodiwirjo, sebagai kelompok “SH Murtad”. Artinya tidak setia terhadap SH Winongo di bawah kepemimpinan Ki Ngabehi.

Sekalipun mulai dirintis pada tahun 1922, Ki Hadjar Hardjo Oetomo baru memberi nama latihan pencak silat yang didirikan itu pada tahun 1924, dengan nama Setia Hati Pemuda Sport Club. Nama itu disingkat oleh beliau sendiri dengan singkatan SH PSC. Itu setelah beliau bertemu dan berdiskusi dengan Amin Kuseri, seorang guru SR (sekolah rakjat) di Pare, Kediri. Di tempat ini, beliau juga sempat membuka tempat latihan.

Dalam buku hariannya itu, beliau menandaskan, sekalipun pemberian nama perguruan pencak silat SH PSC terjadi di Pare, Kediri, pusatnya tetap berada di Pilangbango, Madiun, kediaman beliau.

Tradisi komunikasi sosial yang dikembangkan di awal berdirinya SH PSC adalah “paguron” (perguruan pencak silat), dengan sistem kepemimpinan paternalisme (pola kepemimpinan yang menempatkan sosok patron (tokoh) atau guru berada pada posisi puncak atau pucuk pimpinan.

Selain dijadikan ajang olah kanuragan, SH PSC secara implisit diformat menjadi basis pelatihan dan pendadaran pemuda dalam pergerakan menentang penjajahan Belanda. Karenanya, meski baru seusia jagung, SH PSC diawasi ketat oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Untuk mensiasati kolonialisme perguruan ini beberapa kali sempat berganti nama, yakni, dari SH PSC menjadi Setia Hati Pemuda Sport Club. Perubahan makna akronim ‘’P’’ dari ‘’ Pencak’’ menjadi ‘’Pemuda’’ sengaja dilakukan agar pemerintah Hindia Belanda tidak menaruh curiga dan tidak membatasi kegiatan SH PSC.

Catatan singkat sejarah perjuangan Hardjo Oetomo, yang ditulis oleh istri beliau, Ibu. Inem Hardjo Oetomo, disebutkan, pada tahun 1924, beliau ditangkap Belanda karena melakukan gerakan menentang Pemerintah Kolonial Belanda di Madiun dan dihukum selama 3 (tiga bulan). Hukuman itu dijalankan di Talang, Djember (Jember).

Berdasarkan catatan tersebut, berarti beliau ditangkap dan dipenjara kolonialis beberapa bulan setelah mendirikan SH PSC di Pare, Kediri. Keluar dari penjara Talang, Jember, ternyata semangat Hardjo Oetomo dalam gerakan perintisan kemerdekaan semakin berkobar. Aksinya ini menjadikan pemerintah kolonial Belanda semakin berang.

Tahun 1925, Hardjo Oetomo ditangkap lagi dan dipenjara selama 6 bulan. Istri beliau, saat itu juga ikut ditangkap dan di bawa ke Bereau Velpolitie. Tapi dipulangkan lagi setelah menjalani interograsi dan menandatangani berkas perkara pemeriksaan.

Selang tiga bulan berada di penjara Pemerintah Kolonial Belanda, beliau dipanggil dan dibawa ke pengadilan (landraad) Belanda dengan tuduhan merencanakan aksi pemogokan dan menentang kebijakan peperintah kolonial di dalam penjara. Sidang mejelis hakim Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan, Hardjo Oetomo divonis hukuman penjara selama 5 tahun. Vonis penjara 5 (lima) tahun itu dijalankan setelah Hardjo Oetomo menyelesaikan masa hukuman enam bulan di Talang, Jember. Berdasarkan putusan itu pula beliau dipindahkan dari penjara Talang, Jember ke penjara Tjipinang (Cipinang). Dua tahun berada di dalam penjara Cipinang, Hardjo Oetmo, kembali melakukan gerakan melawan kebijakan penjajah. Karenanya, Pemerintah Kolonial Belanda mengambil langkah mengasingkan beliau ke penjara Padang Panjang (Sumatera). Catatan itu juga menyebutkan, beliau sebenarnya sudah masuk dalam deretan nama-nama pejuang Perintis Kemerdekaan RI yang akan dibuang ke Boven Digul. Tapi hukuman itu urung dijalankan karena dia sudah menjalani hukuman selama 3 tahun di penjara Padang Pandjang.

Catatan ringkas perjalanan SH Terate yang dibuat oleh Darsono Hardjendro (wakil ketua SH Terate di tahun 1948) , menyebutkan, sekembali dari penjara Padang Pandjang, kehidupan Hardjo Oetomo cukup menderita. Untuk menopang kehidupan rumah tangga, beliau sempat berganti-ganti berprofesi. Antara lain, menjadi mandor pabrik tenun, pukrul (pengacara). Bahkan pernah menjadi wartawan dan menerbitkan media masa (surat kabar atau koran). Surat kabar yang didirikan Hardjo Oetomo berbentuk mingguan (tabloid) yang diberi nama “KEINSYAFAN RAKJAT”. Di media ini belaiau menjabat sebagai Pemimpin Redaksi.

Tapi tidak lama kemudian, Mingguan KEINSYAFAN RAKYAT diberedel (dilarang terbit) oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Alasannya, media itu dijadikan alat propaganda pergerakan menentang penjajahan di tanah air tercinta.

Setelah upaya pemberedelan tabloid tersebut, gerak gerik Hardjo Oetomo terus diawasi. Bahkan, untuk memperketat pengawasan, Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan pos penjagaan di depan rumah beliau di Pilangbango. Mamasuki tahun 1938, kondisi phisik Hardjo Oetomo mulai menurun. Dia menderita sakit stroke dan separo badannya tak bisa digerakkan. Karena keterbatasan itu, kegiatan SH PSC diamanatkan kepada sejumlah siswanya. Konsep kepemimpinan kolektif kolegial atau team work mulai dikembangkan, guna mengisi kevacuman posisi tampuk pimpinan.

Pada masa pendudukan Jepang, tahun 1942 , SH PSC berganti nama menjadi Setia Hati Terate (SH Terate). Nama ini merupakan usulan Soeratno Sorengpati, tokoh perintis kemerdekaan dari Indonesia Muda, salah satu siswa SH Terate saat itu. Salah satu alasan yang mendasari pergantian nama itu, antara lain, agar SH PSC tidak lagi dicap sebagai pemberontak seperti pada zaman penjajahan Belanda.

Sekalipun sudah berubah nama menjadi SH Terate, konsep komunikasi yang dikembangkan di kalangan warga SH Terate, pada era ini, masih tetap memakai konsep “paguron” (perguruan) pencak silat. Hirarki kepemimpinan masih dipegang guru, dalam hal ini Hardjo Oetomo.Ilmu yang diajarkan adalah ilmu Setia Hati (SH) yang didapatkan Ki Hadjar saat berguru pada Ki Ageng Soerodiwirjo.Belum ada perubahan signifikan pada konsepsi ajaran, baik pelajaran ragawi, seperti jurus dan pasangan, maupun pelajaran batiniyah. Pada pereode ini,ajaran pencak silat yang diberikan kepada siswa Ki Hadjar, persis sama dengan gerakan pencak silat yang diajarkan Ki Ageng Soerodiwirjo. Belum ada tambahan pelajaran senam, permainan senjata, kripen dan toya. Jurus yang diajarkan adalah jurus jurus Djaja Gendila Ciptamulja, yang sekarang oleh beberapa dulur-dulur SH, disebut sebut sebagai "Jurus Lama".

Penyempurnaan jurus dan senam yang diajarkan pada siswa SH Terate, terjadi di era kepemimpinan Kang Mas Irsyad. Sebut misalnya, pelajaran senam sejumlah 90 gerakan, yang menjadi dasar gerak jurus SH Terate. (Detil penyempurnaan pelajaran SH Terate akan dipaparkan pada paparan berikutnya.)

B. Periode Pembaruan

Sementara itu, Proklamasi Kemerdekaan yang dikumandangkan Soekarno – Hatta pada tanggal 7 Agustus 1945 membawa dampak perubahan bagi kehidupan bangsa Indonesia. Kebebasan bertindak dan menyuarakan hak serta menjalankan kewajiban sebagai warga negara terbuka lebar dan dihargai sebagaimana mestinya.

Atas izin Pak Hardjo Oetomo, pada bulan Juli 1948, digelar konferensi (musyawarah antar warga SH Terate) di kediaman beliau di Pilangbango, Madiun. Sejumlah murid beliau mulai tampil ke depan. Sebut, misalnya, Soetomo Mangkoedjojo, Darsono, Soemadji, Badini dan Irsad. Saat ini beliau dalam kondisi sakit. Separo badannya tak bisa digerakkan. Temu kadang tersebut melahirkan mufakat, bahwa kegiatan SH Terate harus tetap berjalan dan berkembang. Karena beliau sudah tidak bisa melakukan aktivitas, kegiatan latihan pencak silat mulai diamanatkan kepada murid muridnya.Kemudian, digagas perubahan sistem komunikasi di tubuh SH Terate. Yakni, dari sistem perguruan pencak silat ke sistem organisasi persaudaraan.Makna kata persaudaraan dalam paradigma baru PSHT ini adalah persaudaraan yang utuh. Yakni jalinan persaudaraan yang lahir dari hati sanubari, didasarkan pada rasa saling sayang menyayangi,cinta mencintai, hormat menghormati dan saling bertanggung jawab. Persaudaraan yang tidak membedakan siapa aku dan siapa kamu. Persaudaraan yang tidak terkungkung hegomoni keduniawian (drajat, pangkat dan martabat) dan terlepas dari kefanatikan SARA (suku, agama, ras dan antar golongan).

Pada tahun 1950 Ki Hadjar Hardjo Oetomo, mendapat pengakuan dan penghargaan dari pemerintah RI sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan RI.Penghargaan ini diberikan atas jasa beliau berjuang melawan Belanda. Pada tanggal 12 April 1952 Ki Hadjar Hardjo Oetomo wafat dan jenazahnya dimakamkan di tempat pemakaman umum (TPU) Kelurahan Pilangbango, Madiun.

Ki Hadjar Hardjo Oetomo meninggalkan seorang istri, Ny. Inem dan dua orang putra yang diberi nama Harsono dan Harsini. Baik istri maupun putra beliau, Harsono, saat buku ini disusun Th 2013, sudah wafat. Jenazah Harsono, putra Ki Hadjar dimakamkan di lokasi pemakaman yang sama.

Keberadaan Hardjo Oetomo sebagai pendiri, sekaligus pelatih atau guru pencak silat, menduduki posisi patron. Karena posisinya ini, beliau cukup disegani dan dihormati, murid-muridnya.Penghormatan itu kemudian diwujudkan dengan penghargaan, berupa julukan (gelar) “Ki Hadjar” (diambil dari akar kata dalam bhs Jawa: “ajar” yang artinya pelatih atau pendidik, pengajar.). Dalam perkembangannya, nama pendiri SH Terate disebut lengkap dengan gelarnya. Yaitu, Ki Hadjar Hardjo Oetomo.

C. MASA TRANSISI

Pasca wafatnya Ki Hadjar Hardjo Oetomo, kegiatan SH Terate diteruskan para siswanya. Jumlah anggota yang ikut bergabung, satu demi satu mulai bertambah searah perjalanan waktu. Era kemerdekaan bergulir pelan tapi pasti dan kegiatan SH Terate yang pada masa kolonial diawasi dan dibatasi, ikut merdeka. Ruang gerak warga masyarakat dalam mengembangkan kreativitas, terbuka lebar. Belenggu kolonialisme tak lagi ada, berganti era harapan baru untuk berjuang demi mengisi kemerdekaan.

Sejalan dengan itu, mulai muncul pemikiran tentang format penataan program kegiatan. Posisi “guru” atau pemimpin SH Terate yang vakum setelah Ki Hadjar Hardjo Oetomo wafat, sudah selayaknya diisi. Gagasan perubahan sistem komunikasi di tubuh SH Terate yang pernah dibicarakan dalam konferensi di Pilangbango pada tahun 1948, semakin mengerucut. Puncaknya pada tanggal 13 September 1953, dengan digelarnya konferensi SH Terate Jl. Diponegoro No.45 Madiun, kediaman Soetomo Mangkoedjojo.

Konferensi SH Terate saat itu menelorkan sejumlah keputusan penting, antara lain: 1. Menyusun Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) SH Terate yang pertama. 2. Mengangkat Bapak Soetomo Mangkoedjojo sebagai Ketua SH Terate Pusat. 3. Untuk menghargai jasa Hardjo Oetomo yang telah berjuang mendirikan perguruan pencak silat ini, SH Terate memberikan gelar kehormatan kepada beliau dengan Ki Hadjar. 4. Istri beliau, Ibu Inem Hardjo Oetomo diposisikan sebagai Ibu SH Terate. 5. Sementara itu, untuk lebih mengefektifkan program latihan pencak SH Terate, Bapak Santoso dan Pak Badini diangkat sebagai pelatih.

Mengapa langkah pembaharuan itu ditempuh? Alasannya, pertama agar SH Terate mampu mensejajarkan kiprahnya dengan perubahan zaman dan pergeseran nilai-nilai komunitas yang melingkupinya. Dengan adanya perubahan system komunikasi di tubuh SH Terate dari “paguron” atau “perguruan” menjadi organisasi yang bertumpu pada “sistem persaudaraan”, berarti gaung pembaharuan telah diluncurkan dan proses perubahan telah digelar. Yakni perubahan roh organisasi dari sistem tradisional ke sistem organisasi modern. Dengan konsep ini, kelak SH Terate diharapkan mampu menjawab tantangan kehidupan yang semakin kompleks.

Alasan kedua; agar SH Terate tidak dikuasai dan bergantung pada orang-perorang, sehingga kelangsungan hidup organisasi dan kelestariannya lebih terjamin. Meski roh organisasi sudah bergeser dari perguruan pencak silat berubah jadi organisasi persaudaraan, namun dalam konsepsi keilmuan (idealisme), tradisi paguron masih tetap dipertahankan. Ini mengingat bahwa SH Terate lahir dari akar budaya pencak silat yang tetap ngugemi prinsip prinsip patrialisme.

Lain kata, konsepsi demokratisasi lebih dikedepankan dalam penataan organisasi. Sementara dalam prosesi pewarisan keilmuan, tradisi paguron atau perguruan pencak silat masih dipegang teguh oleh tokoh tokoh SH Terate. Dan ini, harus diakui, terus dipertahankan turun temurun, hingga era kepemimpinan RM Imam Kesoepangat dan era kepemimpinan KRAT H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE. Sebab berdasarkan kajian empiris, tradisi paguron ini justru merupakan roh yang memberikan kekuatan nilai nilai persaudaraan dan kesetia-hatian (ke-SH-an).

Terpilihnya Soetomo Mangkoedjojo sebagai Ketua Pusat SH Terate pada periode ini, merupakan pilihan yang tepat. Beliau dikenal sebagai tokoh yang cukup arif dan bijaksana. Sosoknya tinggi, tegap dan penampilannya berwibawa. Beliau juga setia dan tegas dalam mengambil keputusan serta teguh dalam memegang prinsip. Satu lagi, pandangannya cukup luas dan terbuka. Beberapa sumber yang berhasil ditemui menuturkan, di balik sosok tinggi dan tegap yang dimiliki beliau, tersembunyi kesantunan kepada sesama.

Dalam tahun 1956, Soetomo Mangkoedjojo pindah tugas dari BRI Cabang Madiun ke BRI Surabaya (Kaliasin), jabatan Ketua SH Terate digantikan Irsyad. Sedangkan jabatan sekretaris dipegang Soedarsono.

Pak Irsyad dikenal sebagai pendekar yang menguasai teknik beladiri cukup matang. Pada era kepemimpinan beliau ini, dilakukan penggalian teknik dan akurasi gerakan pencak silat. Beberapa gerakan jurus SH dicermati dan dikaji ulang. Gerakan, terutama pada serangan yang menurut keyakinannya lemah, dicoba untuk lebih diakurasikan. Pendalaman, penelitian dan kajian yang dilakukan Irsyad ini, melahirkan sejumlah gerakan teknik yang kemudian dipakai untuk mengakurasikan beberapa gerakan jurus di SH Terate.

Pada saat beliau menjadi ketua pusat, dari uji materi dan pendalaman akurasi jurus, lahir sejumlah temuan : 1. Beberapa gerakan jurus, sebut misalnya, Jurus 1 sampai dengan Jurus 4, diakurasikan. Terutama pada gerakan serangan. Sebelumnya pukulan pada Jurus 1 adalah mbandul , diakurasikan menjadi menohok. Kemudian gerak colok yang semula hanya dengan dua jari, diakurasikan dengan lima jari yang dirapatkan hingga makin bertenaga. Gerakan jurus lain yang disempurnakan adalah jurus delapan. Yaitu dengan perubahan pasangan nangkis dan tendangan dua kali. 2. Sementara untuk mendasari gerakan siswa SH Terate, diciptakan gerakan senam dari senam 1 (satu) hingga senam 90 (sembilan puluh). 3. Pada era kepemimpinan Irsyad ini juga lahir keputusan penting lainnya. Yakni, penciptaan Kode Pendekar SH Terate. Beliau sendiri yang menciptakan. Salah satu alasan penciptaan Kode Pendekar, karena jumlah warga SH Terate saat itu sudah mulai banyak, sehingga di antara warga mulai tidak saling mengenal karena beda tempat latihan dan pengesahan.

Dengan Kode Pendekar SH Terate ini, seorang warga bisa melakukan deteksi secara akurat, apakah orang yang baru dikenal itu warga SH Terate atau bukan. Sambil berbasa basi, misalnya, dia secara diam diam memberikan Kode Pendekar SH Terate kepada orang yang baru dikenalnya. Jika kode itu dijawab dengan tepat, berarti orang yang baru dikenalnya itu warga SH Terate. Sudah barang tentu, karena bertemu saudara seperguruan, kedua orang yang baru saling mengenal itupun berangkulan. Menyatu dalam rasa, seakan tak ada lagi sekat di antara mereka.

Selain itu, Kode Pendekar SH Terate juga bisa digunakan untuk mendeteksi, apakah seseorang yang mengaku sebagai warga SH Terate, benar benar warga atau bukan (warga awu awu alias bohong). Kode Pendekar SH Terate yang diciptakan Mas Irsyad tersebut sampai sekarang masih digunakan dan diberikan kepada anggota SH Terate yang sudah disyahkan menjadi warga.

Penciptaan senam dan penyempurnaan jurus ini juga diyakini agar SH Terate tidak lagi diperolok sebagai “SH Murtad” oleh sekelompok orang yang merasa memiliki atau merasa sebagai ahli waris (trah) SH yang didirikan Ki Ngabehi Soerodiwirjo. Salah seorang murid Irsyad yang langsung menerima pelajaran senam 1 (satu) sampai dengan 90 (sembilan puluh) dan pendalaman akurasi jurus, adalah RM Imam Koesoepangat.

RM Imam Koesoepangat, lebih akrab dengan panggilan Mas Imam, mulai latihan SH Terate tahun 1953. Selama tiga tahun beliau berlatih di bawah asuhan langsung Irsyad. Boleh dibilang, pendalaman teknik dan akurasi jurus serta senam yang dilakukan pada era kepemimpian beliau diajarkan kepada Mas Imam. Mas Imam disyahkan penjadi Pendekar SH Terate pada tahun 1958.

Dalam perkembangannya, anak didik langsung Pak Irsyad yang satu ini, muncul sebagai tokoh yang cukup diperhitungkan. Tahun 1959, Mas Imam, panggilan akrab RM Imam Koesoepangat, mulai melatih. Mas Tarmadji (Ketua Umum SH Terate Pusat Madiun pereode 1981-2015) adalah anak didik langsung Mas Imam. Menurut penuturan Mas adji, beliau adalah sosok pendekar yang santun dan berwibawa. Jika melatih di depan siswanya, beliau cukup tegas, keras dan disiplin. Ucapan dan perilakunya konsisten. Jika bilang A maka yang beliau lakukan juga A.

Selama Mas Madji dilatih beliau, senam dan jurus yang diajarkan beliau adalah senam dan jurus yang sampai sekarang diajarkan kepada siswa SH Terate. Sejak saat itu pula, gerakan yang diberikan kepada siswa SH Terate adalah gerakan senam dan jurus yang diberikan Mas Irsyad kepada Mas Imam, dan diturunkan kepada siswa beliau. Dalam perkembangannya, senam dan akurasi jurus pada era Irsyad ini yang akhirnya dijadikan gerakan baku pencak silat SH Terate.

Pada kisaran tahun 1960, Irsyad mengakhiri masa jabatan sebagai Ketua SH Terate dan pindah tempat tinggal ke Bandung. Sebagai gantinya, Santoso, diangkat sebagai Ketua Pusat SH Terate. Kesaksian Mas Madji, pada tahun 1961 beliau sempat datang ke tempat Mas Santoso. Saat itu digelar acara pengesahan warga baru. Santoso saat itu menjabat sebagai Ketua SH Terate. Pada pereode ini, sekalipun tetap ada pengesahan warga baru, namun jumlahnya relatif kecil.

Tahun 1961, Mas Tarmadji berpasangan dengan Abdullah Koesnowidjojo mengikuti pertandingan pencak silat seni dan keluar sebagai juara I se Jawa Timur untuk kategori kanak kanak. Prestasi ini kembali diraih pada tahun 1963, untuk kategori remaja.

Pada tahun 1963, untuk pertama kalinya dikumandangkan Mars SH Terate pada acara Pagelaran Seni Budaya di Gedung Bioskop Basuki Jl. Sulawesi (sekarang Tegel Dewasa). Syair Mars SH Terate digubah oleh RM. Imam Koesoepangat, sedangkan arensemennya dikerjakan Ady Yasco.

Saat itu Mas Imam berpesan: Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia, pemersatu bangsa Indonesia. Kalau Pancasila dirubah, Mas Imam mengaku tidak rela dan akan mempertahankan bersama sama dengan pendekar SH Terate. RM Imam Koesoepangat berhasil mengesahkan anak didik pertama. Yakni, Tarmadji (Mas Madji), Abdullah Koesno Widjojo, Soediro, Bibit Soekadi, Soedarso, Soedibyo, Soemarsono dan Bambang Tunggul Wulung.

Perlu ditegaskan lagi, Mas Madji adalah anak didik langsung Mas Imam. Sejak latihan dan disyahkan, pelajaran pencak silat yang diterima dari Mas Imam saat itu adalah pelajaran pencak yang sudah disempurnakan pada era Pak Irsad. Yakni, senam 1 (satu) sampai dengan 90 (Sembilan puluh). Jurus yang sudah disempurnakan, pasangan, kemudian sambung persaudaraan.

Maknanya, sejak Mas Imam melatih, hingga beliau memimpin SH Terate, yang diajarkan beliau adalah senam dan jurus baru. Sedangkan jurus lama tidak lagi digunakan. Sebab, seperti yang dipesankan Mas Imam kepada Mas Madji, jurus Djoyo Gendilo Ciptomulyo itu miliknya SH Winongo.

Di sela sela pelajaran itu diberikan permainan kripen, permainan toya. Terakhir dididik kerokhanian atau kebatinan. Istilahnya ilmu “kang aweh reseping ati “ (ketenangan batin). Kemudian berkembang lagi ada pelajaran osdower.

Sementara itu, bagi saudara saudara kadang SH Terate yang mempelajari ilmu kebatinan dan kanuragaan, ibaratnya ngelmu amrih dibacok ora tedas (mempelajari ilmu kekebalan), ditembak lakak lakak (ditembak malah tertawa), tidak pernah dipermasalahkan, dengan catatan, ilmu yang dipelajari itu dipergunakan hanya untuk pengayaan keilmuan secara pribadi dan tidak memasukkannya ke kurikulum pelajaran keilmuan di SH Terate.

Masih di tahun 1963, ada peristiwa penting yang patut disampaikan dalam tulisan ini. Pasalnya, momen ini dipandang sebagai tonggak penguat perkembangan SH Terate. Yaitu, turunnya para pendekar SH Terate ke gelanggang Adu Bebas.

Gelanggang Adu Bebas pada tahun enam puluhan merupakan even bergengsi, bagi pendekar persilatan di Madiun dan sekitarnya. Even ini merupakan arena pertandingan kelas laga dengan sistem full body contact (pertarungan antar pesilat tanpa pelindung).

Boleh di bilang even ini, merupakan ajang perkelahian para pendekar pilih tanding yang diatur dengan sistem pertandingan dan ditonton orang banyak.



Dulu, selain dijadikan ajang pamer kesaktian even yang digelar setahun sekali di halaman Karesidenan Madiun ini, juga dijadikan media promosi perguruan pencak silat untuk menggaet peminat. Fakta empiris, perguruan pencak silat yang berhasil memenangkan pertandingan, jumlah muridnya pasti akan semakin banyak.

Saat itu, RM Imam Koesopangat jadi jagonya SH Terate, disampingi Parno Ramelan dan Sudarso. Di arena laga bebas itu Mas Imam berhadapan dengan Kyai Soekoco dari SH Tuhu Tekad, Sewulan, Dagangan. Seorang pendekar yang dikenal digdaya dengan postur tubuh yang jauh lebih tinggi jika dibanding Mas Imam. Selain itu, Kyai Soekoco ini juga dikenal pendekar pilih tanding dan berpengalaman serta beberapa kali memenangkan aven adu bebas.

Menurut Mas Madji, sebenarnya saat itu beliau juga berniat ikut turun ke gelanggang. Tapi Mas Imam tidak menghizinkan.Alasannya, usianya masih terlalu muda. Beliau hanya ditugasi membawa keris Kyai Luwuk, dan dipesan agar keris itu tidak pindah tangan selama Mas Imam bertanding. Awalnya, sejumlah tokoh SH Terate meragukan kemampuan Mas Imam. Tapi terbukti beliau berhasil mematahkan keraguan saudara saudara SH Terate. Pada ronde ronde awal, laga berlangsung seru. Kedua pendekar itu bertanding cukup imbang. Beberapa kali tendangan dan pukulan Mas Imam mengenai tubuh Kyai Koco cukup telak. Tapi Kyai Koco, hanya menanggapi dengan senyum. Pertanda, Kyai Koco seorang pendekar yang kebal.

Memasuki ronde terakhir, Mas Imam berhasil mengunci tubuh Kyai Koco. Saat itu juga, Mas Imam berteriak agar wasit juri melakukan penghitungan. Meski, berupaya melepaskan diri dari kuncian, Kyai Koco tak berhasil. Akhirnya dewan juri memutuskan, pertandingan itu dimenangkan oleh Mas Imam.

Tahun 1965, Mas Imam menjadi Ketua Banteng Dwikora. Namun saat itu, beliau berpesan pada Mas Tarmadji, bahwa keikutsertaan beliau dalam dunia politik praktis dan menjabat sebagai Ketua Banteng Dwikora sudah masuk wilayah pribadi dan beliau sendiri tidak membawa SH Terate ke dalam pilihan ideologi politiknya.

Pada periode 1960 – 1965, bisa dikatakan sebagai masa sulit bagi perkembangan SH Terate. Sedikit sekali dokumen yang ditinggalkan pada masa ini. Malah bisa dikatakan langka. Secara umum juga diakui sebagai masa suram bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, karena terjadinya pergolakan politik yang mengguncang stabilitas nasional. Dokumen administrasi SH Terate menyebutkan, pada tanggal 11 Agustus, tahun 1966, digelar rapat pengurus pusat SH Terate di Madiun. Hasilnya, untuk menyelamatkan SH Terate, pasca terjadi peristiwa Pemberontakan G 30 S PKI, dipandang perlu melakukan refresing pengurus. Refresing pengurus ini, berdasarkan Surat Intruksi bernomor 006/Sec/SHT/66 yang ditandatangani Ketua I SH Terate Soetomo Mangkoedjojo dan Sekretaris R. Koeswanto BA, tidak hanya dilakukan di pusat Madiun, akan tetapi juga dilakukan di cabang.

Pada tahun ini, Soetomo Mangkoedjojo, kembali diangkat sebagai Ketua SH Terate. Sedangkan Wakil Ketua II dan III, masing-masing dijabat Harsono dan RM. Imam Koesoepangat.

Keputusan penting lain yang dihasilkan pada rapat pengurus pusat ini adalah, SH Terate bersikap netral dan membebaskan diri dari kepentingan politik praktis. Sementara, di sektor program pembinaan siswa, diangkat tiga orang untuk menduduki Dewan Pelatih SH Terate. Mereka adalah, Badini, Harsono dan RM.Imam Koesoepangat. RM Imam Koesoepangat mesu budi (tirakat atau laku ikhtiar), melakukan puasa selama 7 (tujuh) hari tujuh malam di dalam kamar. Kecintaan beliau pada SH Terate mendorong Mas Imam meninggalkan kesenangan pribadi dan gemar melakukan tirakatan.

Sebelum masuk ke dalam kamar, Mas Imam meminta Mas Tarmadji menjaga di depan pintu. Saat itu beliau berpesan kalau di hari ke-7 (tujuh) beliau tidak keluar, Mas Tarmadji diminta mendobrak pintu kamar dan masuk ke dalam.

Tapat pada hari ake-7, Mas Imam keluar kamar dengan kondisi sempoyongan. Dengan suara terbata bata, beliau meminta Mas Madji mencarikan air kunir asam untuk minum. Beberapa saat setelah meminum air kunir asam, beliau berkata, “ nJenengan eling eling Dik,njenengan titeni. mBenjingtiti wancine SH Terateageng Dik. Ning kula mboten memoni. Mbenjing sing nemoni Dik Madji. Sing mimpin njih Dik Madji. Ageng Dik, ngluwihi paguron paguron liyane.( Kamu ingat ingat ya Dik. Kamu perhatikan. Besok jika sudah sampai waktunya, SH Terate bakal berkembang pesat menjadi besar. Tapi saya tidak melihat. Besok yang melihat Dik Madji. Yang memimpin juga Dik Madji. SH Terate besar Dik, melebihi perguruan pecak silat lainnya).

Menurut Mas Madji, beliau hanya diam mendengar ungkapan Mas Imam saat itu. Beliau tidak begitu paham apa maksud ungkapan Mas Imam tersebut. “Saat itu, saya hanya berpikir Mas Imam berkata seperti itu hanya untuk membesarkan hati saya,” ujar Mas Madji. Hari hari berikutnya, Mas Madji sering diajak menemani Mas Imam laku tirakat. Banyak lokasi ritual yang dikunjungi. Dari Segara Kidul (Laut Selatan), Harga Dumilah di Puncak G. Lawu hingga ke Gunung Srandil. Namun terkait ini Mas Madji menegaskan, laku tirakat atau tapa brata yang dilakukan RM Imam Koesoepangat, lebih ditikberatkan pada laku pribadi, sebagai pengayaan keilmuan pribadi Mas Imam sendiri dan beliau juga tidak pernah memaksakan diri untuk memasukkannya ke kurikulum pelajaran di SH Terate.

Tahun 1968, Mas Tarmadji berpasangan dengan Sutarto mengikuti seleksi Pra PON.Tahun berikutnya berhasil jadi Juara III PON VII.Sebelumnya juga berhasil meraih Juara I pada even pencak silat seni di Jember.

Pada tahun ini Bapak Soetomo Mengkoedjojo menyelesaikan masa bhakti sebagai Ketua SH Terate. Perkembangan SH Terate mulai melebar ke luar wilayah Madiun. Tercacat, (5) cabang didirikan. Antara lain: Magetan, Surabaya, Mojokerto, Yogyakarta, dan Solo.

Satu momentun penting yang dilahirkan pada priode kepemimpijan Soetomo Manghkoedjojo ini adalah proses pembaruan menuju perubahan yang lebih baik. Sebuah proses yang diakui menjadi pondasi perkembangan SH Terate, yang semula berbentuk perguruan menjadi organisasi persaudaraan.

Tahun 1974, digelar Konggres Persaudaraan Setia Hati Terate, di Madiun. Hasilnya, menjunjung tinggi konsep persaudaraan sebagai roh organisasi dan menjunjung tinggi nilai nilai persaudaraan dalam menyelesaikan setiap persoalan yang muncul di intern SH Terate. Konggres juga sepakat: 1. Mengangkat RM. Imam Koesoepangat sebagai ketua pusat dan Bapak Soetomo Mangkoedjojo sebagai dewan pusat. 2. Menjadikan kedaulatan tertinggi organisasi di tangan anggota dan selanjutnya dapat disuarakan lewat wakilnya dalam setiap konggres. 3. SH Terate berikrar : Barang siapa mengganggu gugat Pancasila, seluruh Keluarga Besar Persaudaraan Setia Hati Terate siap mempertahankan Pancasila sebagai Dasar Negara RI, sampai titik darah penghabisan. Pada tanggal 14 Desember tahun 1975, Bapak Soetomo Mangkoedjojo wafat.Jenazahbeliau dimakamkan di Tempat Pemakaman Cangkring, Kota Madiun. Lokasi makam ini sekitar 500 meter sebelah baratStadion Wilis Kota Madiun.

Soetomo Mengkoedjojo menyelesaikan masa bhaktinya sebagai Ketua PSHT pada tahun 1974. Pada periode ini perkembangan PSHT mulai melebar keluar wilayah Madiun. Tercacat, (5) cabang diluar Madiun berhasil didirikan. Antara lain di Surabaya, Jogjakarta, dan Solo.

D. Periode Pengembangan

Gaung pembaharuan yang telah dipekikkan lewat konferensi (semacam musyawarah : MUBES) SH Terate di Pilangbango, Madiun itu dengan arif diakui sebagai era baru perjalanan roda organisasi. Era perubahan gerak organisasi dari tradisional ke organisasi modern. Konsekuensi dari perubahan tersebut, salah satu diantaranya adalah dengan mengentalkan komitmen pengembangan organisasi agar semakin maju, berkembang dan berkualitas.

Kiprah Persaudaraan Setia Hati Terate dalam memvisualisasikan dirinya pada komitmen itu bisa dilihat melalui salah satu upaya saat berusaha mengembangkan sayapnya, merambah ke luar daerah. Dan masyarakat yang menjadi fokus pengembangannya pun cukup heterogen, mulai dari masyarakat papan atas sampai masyarakat di papan paling bawah. Tak heran, jika Persaudaraan Setia Hati Terate lantas mendapat sambutan cukup hangat dari segenap lapisan masyarakat.

Kesepakatan menjadikan daya gerak organisasi bertumpu pada “sistem persaudaraan itu selanjutnya dijadikan dasar pengembangan sayap organisasi. Dan kian dipertegas lagi dalam MUBES Persaudaraan Setia Hati Terate, tahun 1974 di Madiun. Hasil Mubes ini antara lain mengangkat RM. Imam Koesoepangat sebagai ketua dan Soetomo Mangkoedjojo sebagai dewan pusat. Musyawarah juga sepakat menjadikan kedaulatan tertinggi organisasi di tangan anggota dan selanjutnya dapat disuarakan lewat wakilnya dalam setiap Mubes.

Kedua tokoh ini kembali dikukuhkan sebagai pimpinan organisasi pada Mubes tahun 1977.

Selepas Soetomo melepas jabatan ketua, tampuk pimpinan organisasi diamanatkan kepada RM Imam Koesoepangat, hingga tahun 1977. Periode berikutnya (1977-1981) Badini terpilih menjadi Ketua Dewan Cabang, sementara Tarmadji Boedi Harsono, memegang jabatan Ketua I.

Persaudaraan SH Terate mulai memasuki masa keemasan pasca MUBES IV di Madiun tahun 1981. Hasil Mubes antara lain, mengukuhkan H. Tarmadji Boedi Harsono,SE sebagai Ketua Umum dan RM.Imam Koesoepangat sebagai Ketua Dewan Pusat.

Pada era ini, pola pengembangan PSHT dipilah menjadi dua jalur. Yakni, jalur idealisme dan jalur professional. Sesuai dengan kapasitas SDM, RM. Imam Koesoepangat diamanati sebagai penanggung jawab pengembangan di bidang idealisme. Bidang idealisme ini menyangkut penajaman ajaran kerokhanian dan peningkatan kualitas budi pekerti luhur pada warga.

Sementara bidang pengembangan sayap organisasi dan keorganisasian, diserahkan pada H.Tarmadji Boedi Harsono,SE. Sepanjang, SH Terate dipimpin kedua tokoh pada dua jalur ini, perkembangan organisasi tampak semakin mantap Terbukti perkembangan SH Terate tidak lagi hanya berkutat di Pulau Jawa, tapi merambah ke luar P. Jawa. Pada decade ini cabang SH Terate yang semula hanya 5 cabang berkembang menjadi 46 cabang.

Sepeninggal RM Imam Koesoepangat, tepatnya tanggal 16 November 1987, praktis beban dan tanggung jawab tongkat kepemimpinan PSHT beralih ke pundak Tarmadji. Ibaratnya dua tanggung jawab yang semula ditanggung berdua, mulai saat itu harus diemban sendiri. Meski begitu, ternyata Tarmadji mampu. Terbukti berkat solidnya sistem koordinasi antarjajaran penurus dan kadang tercinta, PSHT berhasil melesat ke kancah paradigma baru.

Selain memprioritaskan pengembangan sektor ideal, dia menggebrak lewat program pembangunan sarana dan prasarana fisik organisasi. Ditengah kesibukan memimpin banyak lembaga sosial kemasyarakatan —sebab, selain sebagai Ketua Umum PSHT KRH.H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro, SE, juga tercatat sebagai ketua Hiswana Migas, Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia Kota Madiun, Direktur Kelompok Bimbingan Ibadah haji Al-Mabrur, Ketua DPRD Kota Madiun, dan masih banyak lagi organisasi dan institusi yang dipimpin. Meski begitu, terbukti beliau mampu memperkokoh eksistensi PSHT, tidak saja di bidang pengembangan sarana dan prasarana phisik organisasi, tapi juga pengembangan cabang.

Melengkapi keberadaan PSHT, didirikan sebuah yayasan yang diberi nama Yayasan Setia Hati Terate. Dalam perkembangannya Yayasan Setia Hati Terate berhasil menelorkan kinarnya monumental berupa lembaga pendidikan formal berupa Sekolah Menengah Industri Pariwisata Kusuma Terate (SMIP) dengan akreditasi diakui, SMIP Kusuma Terate telah berhasil mencetak siswa-siswinya menjadi tenaga terampil dibidang akomodasi perhotelan.

Sementara untuk mendukung kesejahteraan anggotanya Yayasan Setia Hati Terate juga mendirikan lembaga perekonomian berupa Koperasi Terate Manunggal. Disamping telah memiliki aset monumental berupa dua padepokan. Pertama Padepokan Agung PSHT di Jl. Merak Nambangan Kidul Kota Madiun. Kedua, Padepokan Luhur yang berlokasi di Kelurahan Pilangbango, Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun.

SH Terate juga telah memiliki sejumlah asset lain, baik berupa aset bergerak maupun tak bergerak. Kesemuanya itu diharapkan bisa menjadi daya dukung organisasi agar mampu menyelaraskan diri dengan era globalisasi.

Data terakhir menyebutkan, Persaudaraan Setia Hati Terate kini telah memiliki 300-an cabang yang tersebar di Indonesia serta 67 komisariat Perguruan Tinggi dan 5 (lima) Komisariat Luar Negeri. Total jumlah anggota mencapai jutaan warga. Itu berarti selama dipegang Tarmadji, perkembangan cabang PSHT bertambah bertambah sebanyak 254 cabang. Dari jumlah itu cabang yang telah resmi mengantongi SK PSHT Pusat Madiun, sebanyak 200-an cabang. Sisanya diproses pada era kepemimpinan pasca Mas Madji.

Tulisan ini disusun dari hasil wawancara saya, Andi Cs Kisbandiyo alias Andi Casiyem Sudin dengan Ketua Umum SH Terate Pusat Madiun (Pereode 1981-2015) KRH.H.Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa dan Wasiat untuk Warga Baru SH Terate

Sekadar Syarat Bentuk Lahir

Menelaah Mukadimah SH Terate