Tahta Sang Mutiara Hidup

Tahta Sang Mutiara Hidup

(Telaah Mukadimah SH Terate – Bag 4)

Pada pembahasan yang silam telah kami paparkan penafsiran Mukadimah SH Terate alenia pertama. Paparan itu kami sajikan secara bersambung dalam 4 (empat) kupasan. Tujuannya agar mudah dipahami. Dalam paparan kali ini penulisan mencoba menafsirkan Mukadimah SH Terate alenia kedua. Semoga bermanfaat.(andi casiyem sudin)

5. Alinea ke dua Mukadimah SH Terate berbunyi : (5) SETIA HATI sadar meyakini akan hakiki hayati itu dan akan mengajak serta para warganya menyingkap tabir/tirai selubung hati nurani dimana "SANG MUTIARA HIDUP" bertahta.

Di dalam hati nurani manusia bertahta Sang Mutiara Hidup atau disebut apa saja yang penting ialah pokok pengertian bahwa hikmat hidup itu ibarat percikan air samodra hidup atau ibarat percikan seberkas sinar dari matahari, yang menjadi sumber dari segala peri kehidupan.

Dijelaskan oleh Kang Mas Soetomo Mangkoedjjo dan Kang Mas Darsono, untuk memiliki ini tidak perlu bersusah payah mencarinya, karena sudah dibawa oleh diri manusia masing-masing (cedak datan senggolan, adoh datanpa wangenan), dekat bagi mereka yang telah sadar (dumunung), jauh bagi mereka yang tidak mau sadar.

Jadi cara mencari sang mutiara hidup yang berisi rasa senang, bahagia, tentram, puas dan nikmat itu manusia harus melihat ke dalam dan menyingkap tabir yang menghalang-halanginya. Adapun tabir yang menghalangi berupa martabat-martabat keduniawian. Tabir , khususnya dalam bentuk materi keduniawian, tidak harus dibuang semuanya, sebab selama kita hidup, dukungan materi dan ekonomi tetap diperlukan. Prinsip, tegas beliau, jangan sampai cinta terhadap dunia menutup pandangan batin kita.

Kang Mas KRH.H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro, SE mengatakan, didikan di SH Terate itu mendidik jiwa. Yang kita bangun adalah jiwa.Itu butuh waktu. Butuh kesabaran dan kesempatan. Tidak sehari dua hari jadi. Tidak seperti membalik telapak tangan.

Membangun fisik kuat bisa diformat dalam waktu sebulan dua bulan. Contohnya, melatih atlet. Tapi, membangun jiwa, memasukkan ajaran budi luhur, membutuhkan waktu panjang dan terus menerus. Nah, yang kita bangun itu kedua-duanya. Jiwa dan raga. Lahiriah dan batiniah. Kita diarahkan menjadi manusia berbudi luhur. Bagimana orang berbudi luhur itu ? Paling mudah orang berbudi luhur itu tidak dakwen salah open (mencampuri dan merampas hak hak orang lain serta salah menempatkan diri)

. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk membangun kesehatan jiwa, karena jiwa sendiri merupakan misteri ilahiyah, dan pengetahuan manusia belum sepenuhnya bisa menjangkau, kecuali hanya sedikit. Kedua, pengetahuan qolbu, jiwa jauh lebih luas daripada pengetahuan akal. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, akal maupun hati adalah satu entitas yang sama namun kedua istilah ini mempunyai karakteristik berbeda. Hati menerima kebenaran spiritual, sedangkan akal terbatas dalam urusan inteligensia. Akal hanya berurusan dalam persoalan rasional-empiris, hati lebih menekankan pada sisi rasional-emosional-spiritual.

Selanjutnya, kemampuan hati dalam menjangkau alam metafisik selalu didukung oleh pengetahuan akal, namun pengetahuan ini tidaklah cukup menghindarkan hati dari kesalahan kecuali dengan menerima pengetahuan agama melalui ajaran para nabi. Kelebihan hati atas akal adalah bahwa hati mampu melihat segala hakikat kebenaran tanpa batas. (Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.(QS: As Syam (91-8).

Akal hanya bisa menangkap pengetahuan secara terbatas, yaitu pengetahuan yang hanya bersifat rasional dan empiris melalui indra dan daya nalar. Kemampuan yang tidak terbatas itu diperoleh dengan intuisi. Namun kemampuan hati ini sering terhalang kotoran yang mengendap di hati, sehingga menghalanginya untuk menangkap realitas kebenaran. Sementara itu, keberadaan nafsu yang bersemayam dalam hati, menjadikan ketetapan hati mudah berubah-ubah. Ibaratnya pagi dele sore tempe. Pagi beriman sore berubah kafir.

Menurut Mas Madji, ibarat bangunan pendapa padepokan, hati tetap harus disangga empat pilar (nafsu) agar bisa berdiri kokoh. Tapi keempat pilar itu musti berpondasi kuat, terjaga, terawat dan terformat dalam kendali dan bersejajar ke atas. Empat pilar yang telah bertajali dengan cinta kasih, hingga kemudian bisa menyatu ke atas pada satu titik kulminasi cungkup, untuk melepaskan diri menjaring cahaya bulan, bitang dan matahari, dalam keluasan alam nan indah dan ritmis. Jika salah satu dari tiang penyangga itu tak bersejajar, misalnya doyong ke samping, maka daya dukung kekuatan penyangga kontruksi yang mengarah ke cungkup juga tidak akan sempurna (segle:bhs Jawa). Tugas kita, jelas beliau, adalah bagaimana bersama sama menjaga, merawat, dan ikut andil memformat pilar penyangga agar tetap kokoh, hingga padepokan tercinta aman, sentosa, tidak hanya bisa menjaring cahaya bulan, bintang dan matahari untuk diri sediri, tapi juga bisa memercikkan cahaya itu kepada orang lain, sebagaimana badge yang kita pakai berlambangkan hati yangbersinar. (Baca lagi : Ke SH Terate, Apa Yang Kamu Cari? yang sudah dipaparkan pada bab bab sebelumnya).

Ungkapan beliau menjadi tugas bersama-sama untuk menjaga, merawat dan andil memformat tiang penyangga padepokan tercinta (mengendalikan nafsu agar hati terjaga dalam kesucian, menyingkap tabir/tirai selubung hati nurani), sudah semestinya dilihat dengan kearifan. Sebab, SH Terate sejak awal mula berdiri, sepakat untuk menjadikan persaudaraan sebagai ruh organisasi. Salah satu komponen penguat persaudaraan adalah, saling menghamat-hamati. Ini mengingat skala cakupan persaudaraan itu makro, menyangkut semua elemen yang terlibat di dalamnya. Dari pengurus teras, warga dan anggota, bahkan merambah pada masyarakat pendukung.”Ibaratnya, berat sama dijunjung, ringan sama dipikul,” ujar Mas Madji.

Al-Ghazali mengibaratkan nafs, hati atau jiwa laiknya suatu kerajaan. Anggota fisiknya ibarat menjadi cahaya, syahwat ibarat gubernur, memiliki sifat setia, tapi juga bisa menjadi pendusta, egois, dan sering mengacau, ghadab (amarah) ibarat oposan yang berfsifat buruk, selalu menginginkan perang dan suka mencekal. Kalbu ibarat raja, dan akal adalah perdana menterinya. Apabila seorang raja (kalbu) tidak mampu mengendalikan kerajaan maka akan diambil alih gubernur (syahwat) dan oposannya (ghadab) yang mengakibatkan kekacauan. Namun apabila sang raja istiqomah mengendalikan kerajaan, rajin bermusyawarah dengan perdana menterinya (akal) maka gubernur dan oposan mudah diatasi dan terkendali. Jika hal ini terjadi maka mereka saling bekerja sama demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, mendatangkan berkah, makrifat ilahiyah dan kebahagiaan abadi.

Dalam sebuah kesempatan, penulis pernah menanyakan laku tirakat apa yang harus dilakukan agar kehidupan penulis di bumi ini slamet, sehat, sugih. Mas Madji spontan menjawab, “Balapan resik resikan ati. Fastabiqul khairat. Ayo berlomba dalam kebaikan. Biar dicintai Allah. Wong nek ditresnani Allah. Apa kang sinedya teka kang cinipta dadi, permohonannya pasti dikabulkan,” katanya.(andi casiyem sudin – bersambung)

Baca penafsiran Mukadimah SH Terate alenia pertama yang kami turunkan dalam 4 tulisan.Semoga bermanfaat.

http://shteratecantrik.blogspot.com/2024/07/kesenangan-di-bumi-hanya-rangka.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa dan Wasiat untuk Warga Baru SH Terate

Sekadar Syarat Bentuk Lahir

Menelaah Mukadimah SH Terate