Ke SH Terate Apa Yang Kamu Cari?

Kami keluar dari Keraton Solo (Surakarta Hadiningrat) sekitar pukul 02.30 WIB. Suasana kota legendaris itu sudah terlelap. Hanya ada satu dua kendaraan melintas, berlawanan arah. Sorot lampunya menyilaukan mata.

Mobil sengaja saya jalankan dengan kecepatan sedang. Rasa pegal di punggung masih mengganjal. Kang Mas KRH. H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, saya lihat beberapa kali ngleluk boyok. Memasuki kawasan Pasar Gede, mobil saya perlambat lagi, memberi keleluasaan Mas Madji, panggilan KRH.H Tarmadji Boediharsono, menikmati lampion . Bias cahaya kemerahan dari lampion menyajikan nuansa ritmis. Saya masih ingat mulai masuk ke Gerbang Keraton sekitar pukul 22.15 WIB. Dua jam perdana dipergunakan untuk diskusi. Dua jam berikutnya, kami tenggelam dalam doa, samadi bersama. Yakni Gusti Mung, Kanjeng Edi Wirabumi, Mas Madji, KRT Sinto dan saya (Andi Casiyem Sudin-Penulis).

Malam itu, kehadiran kami, diterima KRT. Sinto, punggawa Keraton. Kami kemudian dipersilakan menunggu di Pringgitan.Ada beberapa pangkon meja kursi yang ditempatkan di situ. Semua berbentuk kursi ukir cantik gaya italian, bermeja marmar bulat, kecuali sebuah kursi panjang berukir berlapis kain beludru keemasan, merupakan kursi utama yang diduduki Gusti Mung dan Kanjeng Wirabumi saat menerima kunjungan tamu dalam acara tidak resmi.

Kami memilih kursi yang menghadap ke Sitinggil. Hampir setiap berkunjung ke Keraton Solo, Mas Madji selalu memilih tempat duduk di situ. Alasanya, selain tempatnya lebih nyaman, kami bisa langsung menghadap ke ruang Sitinggil Keraton yang didirikan Sri Susuhunan Pakubuwana II sekitar 1743 – 1744. Cahaya ningrat, kejayaan, wibawa dan keluhuran Keraton, memberi sugesti pada jiwa, mendatangkan inspirasi nan ritmis.

KRT Sinto setelah berbasa basi, masuk ke dalam. Tak berapa lama dia sudah keluar lagi bersama Gusti Mung didampingi Kanjeng Wirabumi. Setelah saling menghormat dalam tatakrama Keraton, Mas Madji dan Gusti Mung serta Kanjeng Wirabumi gayeng terlibat dalam diskusi ringan yang cukup mengasyikkan. Sementara KRT Kunto dan saya lebih banyak mendengarkan . Sekali dua kali hanya menjawab pertanyaan mereka seperlunya.

Kiblat Papat

Setiap kali melihat Sitinggil Keraton Surakarta Hadiningrat, yang langsung terlintas dalam ingatan saya adalah Pendapa Padepokan Setia Hati Terate (selanjutnya ditulis Padepokan SH Terate). Mas Madji pernah dawuh, sebagaimana kontruksi Sitinggil Keraton yang sarat makna filosofis, Padepokan SH Terate yang berlokasi di Jl. Merak, Nambangan Kidul, Kota Madiun tersebut juga berdiri kokoh di atas nilai nilai filsafat kehidupan (panguripan).

Kepada penulis, Mas Madji dawuh, lanskap sketsa makro kontruksi Padepokan SH Terate, bernilai filosofi ajaran proses pembentukan jatidiri manusia berbudi luhur tahu benar dan salah, beriman dan bertakwa kepada Allah, Tuhan Yang Mahaesa. Proses tersebut diwujudkan dalam bentuk kontruksi bangunan, dari kontruksi pola dasar, sketsa makro, pintu, gelanggang, pendapa, hingga tamansari. Dasarnya, adalah Mukadimah SH Terate, alenea kedua, “... akan mengajak serta para warganya menyingkap tabir/tirai selubung hati nurani dimana “SANG MUTIARA HIDUP” bertahta.”

Untuk lebih jelasnya, kami turunkan teks lengkap Mukadimah SH Terate, alenea pertama dan kedua.”Bahwa sesungguhnya hakekat hidup itu berkembang menurut kodrat iramanya masing-masing menuju kesempurnaan, demikianpun kehidupan manusia sebagai makhluk Tuhan yang terutama, hendak menuju keabadian kembali kepada Causa Prima, titik tolak segala sesuatu yang ada, melalui tingkat ke tingkat. Namun tidak setiap insan menyadari bahwa apa yang dikejar-kejar itu telah tersimpan menyelinap di lubuk hati nuraninya. SETIA HATI sadar meyakini akan hakiki hayati itu dan akan mengajak serta para Warganya menyingkap tabir/tirai selubung hati nurani dimana "SANG MUTIARA HIDUP" bertahta.”

Sebut sebagai misal, kontruksi pintu depan. Kontruksi pintu, yang kemudian diberi nama “Lawang Kembar” atau “Lawang Sakembaran” itu mengandung makna : bumi ini pada dasarnya dihuni/diisi mahluk ciptakan Allah, Tuhan Yang Mahaesa yang berpasangan dan saling berlawanan. Ada laki-laki ada perempuan, siang berpasangan dengan malam, gelap terang, lahir berpasangan batin, sedih dan bahagia dan lain sebagainya. Tujuan penciptaan tersebut, tidak ada lain kecuali untuk menunjukkan ke-Maha Besaran-Nya. (Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah. QS: (51)Adz Dzariyat – 59). Kemudian dalam surah al-Najm [53]: 45. Allah juga berfirman terkait dengan penciptaannya. (”Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan). Sedangkan hadis Rasulullah, soal penciptaan saling berpasangan dan berlawanan ini, anatara lain: Ruh-ruh itu diibaratkan seperti tentara yang saling berpasangan, yang saling mengenal sebelumnya akan menyatu dan yang saling mengingkari akan berselisih,” (HR Bukhari dan Muslim).

Nilai filosofi lain yang terwujud dalam kontruksi padepokan, adalah tataran/tahapan nilai-nilai ajaran. Secara global kontruksi Padepokan SH Terate, terbagi menjadi tiga pola dasar. Pertama pola dasar halaman atau pelataran (bagian depan). Kedua pola dasar gedung pendapa (tengah). Dan ketiga pola dasar taman sari (belakang). Tiga pola dasar kontruksi bangunan ini melambangkan tahapan ilmu yang wajib dipelajari oleh anggota atau warga SH Terate. Yaitu : pertama tataran ilmu kanuragan kasantikan satria, bagi anggota dan warga Tingkat I, kedua tataran ilmu kanuragan dan kebatinan (kerokhaniaan, Ke-SH-an) bagi warga Tingkat II, ketiga ilmu sejati bagi warga Tingkat III.

Inti kuntruksi bagunan pada bagian depan, sebagai pola d/asar halaman depan adalah arena tanding, (Palagan Krida Satria), diperuntukkan sebagai arena pertandingan pencak silat, khususnya bagi pendekar SH Terate. Di arena ini digelar “Adu Bebas SH Terate” memperebutkan Sabuk Emas Terate, ajang pertandingan pencak silat paling bergengsi di organisasi tercinta. Penjabaran nilai filosofi yang terkandung dalam pola dasar kontruksi pendapa bagian depan ini adalah, untuk menjadikan seseorang memiliki watak Kstaria, berbudi luhur tahu benar dan salah, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, hal yang pertama kali dibangun adalah pisik ( tubuh, jasad) anggota atau warga. Muaranya, agar badan menjadi sehat, kokoh, terampil, trengginas, sebagai persiapan pembangunan kesehatan mental (men sana in coorpore sano, dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang kuat).

Kedua, pola dasar kontruksi pendapa bagian tengah, berupa Gedung Saba Wiratama. Bagian kedua (tengah), melambangkan tataran ilmu kanuragan dan kebatinan yang wajib dipelajari, dihayati dan diamalkan warga Tingkat II, seperti yang telah penulis paparan di atas secara sekilas. Ketiga, pola dasar kotruksi pendapa bagian belakang (taman sari), adalah simbol tataran ilmu batiniyah yang wajib dipelajari, dihayati dan diamalkan warga Tingkat III, sehingga bisa masuk ke Tamansari, sebagai simbol keindahan, kebahagiaan dan keluhuran budi guna meraih kebahagiaan abadi lepas dari ruang dan suasana.

Itu dimensi ajaran tata lahir atau lahiriyah. Sedangkan dimensi ajaran tata batin atau batiniah terformat dalam kontruksi bangunan gedung berkontruksi joglo yang diberi nama Saba Wiratama. Kontruksi bangunan itu, disangga oleh Empat Saka Guru (tiang penyangga utama) dengan cungkup atau wuwungan berbentuk segitiga lancip dan berakhir pada satu titik akhir kulminasi. Tepat di tengah empat tiang tersebut (dipasang di lantai bawah) ada marmar hitam juga berbentuk segi empat. Titik pusat segi empat mamar hitam itu, jika ditarik garis tegak lurus ke atas akan berakhir pada titik puncak wuwungan. Nilai filosofis yang terkandung di balik kontruksi tersebut adalah nilai filsafat mandala atau disebut juga sebagai dunia waktu, “kiblat papat lima pancer”. Empat tiang bangunan pendapa itu bermakna kiblat papat, artinya kehidupan raga (bangunan) manusia akan ngadeg jejeg (kokoh) jika disangga kemampuan diri menyatukan dimensi ruang waktu yang terpola dalam dimensi penjuru arah mata angin (empat tiang penyangga), dilengkapi oleh nafsu yang telah berhasil dikendalikan (marmar hitam) dan sadar mengingat keberadaan diri (jagad cilik – mikrokosmos) mengarah ke atas wuwungan menuju satu titik kulminasi (pancer) untuk melepaskan diri dari belenggu jagad cilik lebur ke dalam dimensi jagad gedhe (makrokosmos). Pusat titik kulminasi itu diindentikkan sebagai hati atau kalbu di mana Sang Mutiara Hidup Bertahta

Kiblat papat juga bermakna sedulur papat, ini identik dengan empat nafsu yang dimiliki manusia , yakni, sufiyah, lauamah, amarah, dan mutmainah. Dari keempat hawa nafsu ini hanya nafsu mutmainah yang memiliki unsur kebaikan dan kemuliaan. Sedangkan tiga nafsu lainnya, sufiah, lauamah dan amarah berpotensi melahirkan unsur negatif, kecuali jika dikendalikan hingga melahirkan keseimbangan atau harmoni. Dalam terminologi wujud empat penjuru arah mata angin, domain nafsu lauamah berada di penjuru Utara – merupakan simbol sifat Bumi/Tanah – digambarkan dengan warna Hitam. Domain nafsu Sufiah berada di penjuru Utara – simbolnya Angin – konotasi warnanya kuning. Arah Timur adalah domain nafsu Mutmainah – simbolnya Air – konotasi warnanya Putih. Terakhir, titik tengah adalah domain Pancer – warnanya Hijau – titik ini merupakan domain Hati yang telah mengalami katarsis, hati yang bertajali penuh cinta kasih, hati yang tidak pernah lalai akan keberadaan diri, selalu berdzikir dan berserah diri pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa hingga sifat yang dilahirkan adalah budi luhur. Menurut Mas Madji, Allah, Tuhan Yang Maha Esa telah memberi anugerah empat nafsu untuk mendukung kehidupan manusia di bumi. Wong Jawa mengatakannya sebagai sedulur papat. Kata sedulur (saudara) ini dipakai untuk menyebut keempat nafsu karena mereka berada di dalam jasad manusia. Berada dalam satu nafas, sebagaimana penjabaran dari kata “saudara”, yakni (sa) satu dan (udara) unsur pokok yang dibutuhkan untuk bernafas. Menyatu dengan hati atau kalbu. Namun dalam perkembangannya, nafsu bisa berpotensi menjadi daya dukung kehidupan pada satu sisi, dan di sisi lain juga bisa menjadi musuh terbesar umat manusia.

Nafsu akan bisa menjadi daya dukung secara positif bagi kehidupan manusia apabila ditempatkan sebagai penyangga bukan sebagai pengendali. Karena nafsu akan berpotensi maksimal jika dikendalikan. Pusat mengendali nafsu adalah hati yang suci. Hati yang di dalamnya terpancar cahaya cinta kasih. (BumiKu dan langitKu tak kuasa memuat cahayaKu, tapi hati hambaKu yang beriman Aku bersemayam – Ihya Ulummudin ). Namun tidak semua orang memiliki kemampuan mengendalikan nafsunya secara optimal. Alasan utama, daya tahan masing masing orang berbeda. Ini sesuai dengan kondrat irama hidupnya. Padahal, cahaya cinta kasih hanya bisa memancar dari hati seseorang, jika nafsu yang dimiliki menyelaraskan diri, menjadi sedulur sejati, kemudian serta merta menjadi daya dukung setiap aktivitas dalam kehidupan. Dan, jika yang terjadi demikian itu, maka langkah orang tersebut akan selalu dinaungi awan safaat, barokah dan hidayah. Rutinitas hariannya bernilai ibadah. Hidupnya dihiasi manfaat bagi sesama. Tak ada niatan untuk menyakiti orang lain dari tiap patah ucap, jejak kaki dan lambai tangannya. Jika terbersit kekhilapan tentang apa yang dikerjakan terbukti menyakiti orang lain, serta merta meminta maaf. Sebaliknya jika merasa tersakiti, dengan rela ia akan memaafkan orang yang menyakitinya (lembah manah, samodra pangaksama). Penduduk bumi mencintainya, penduduk langit, bahkan ikan-ikan di lautan luas berlomba memberi salam dan berdoa demi keselamatannya.

Cedak Datan Senggolan

Sekalipun dia tampil dengan kostum sederhana, karena kesehariannya telah terpola sebagai sosok manusia bersahaja, namun tetap kelihatan elegan dan bermartabat (awor wong sugih datan katon mlarate, awor wong mlarat datan katon sugihe). Diamnya laksana emas, lisannya intan permata. Setiap patah kata yang keluar dari bibirnya, laiknya doa, penuh makna kebijakan dan melegakan setiap telinga yang mendengarnya (idu geni, sembure mandi, lisane ganda puspita). Dan, permohonan atau doa yang dipanjatkan terkabulkan (kang cinipta teka kang sinedya dadi). Orang yang berhasil menduduki maqam ini biasanya disebut wali atau sebutan serupa. Dalam terminologi Ngelmu Setia Hati, orang yang telah mencapai maqam (tempat, tataran, posisi) ini, adalah seorang yang telah mengetahui dirinya, setia pada hati nuraninya (SH-yer). Barang siapa mengetahui dirinya, maka ia akan mengetahui Tuhannya (“Manunggaling Kawula Gusti”). Tataran tertinggi yang dirindukan para pejalan makrifat, penghayat kebatinan, ahli tirakat dan tapabrata. Allah mencintainya, merindukannya dan selalu bersamanya. Dalam sufisme Jawa dikatakan cedak datan senggolan adoh datan wangenan (dekat tak bersentuhan, jauh tak berjarak). Kedekatan antara Gusti dan Kawula ini terjabarkan dalam Hadist Qudsi : Jika Aku (Allah) mencintai seorang hamba, maka Aku menjadi pendengaran, penglihatan, tangan dan lisan. Maka denganKu dia mendengar, denganKu melihat, denganKu dia menghamparkan, denganKu dia bicara, dan denganKu dia berjalan. Sosok manusia yang mampu menduduki maqam tersebut, adalah sosok manusia seutuhnya, insan kamil. Ini adalah ranah maqam tertinggi (maqomah mahmudah). Tidak banyak orang yang bisa menduduki maqam ini.Hanya orang orang yang mampu manjaga kesucian jiwa sajalah yang berhak mendudukinya. Galibnya, jika seseorang telah menduduki maqam tertinggi ini, ia justru punya kebiasaan nylamur (menyembunyikan diri), tidak gampang memamerkan kapandaiannya di depan orang lain, apalagi di depan masa. Lebih lagi jika hanya sekadar mendapatkan pujian, atau bayaran. Haram baginya, menjual ayat ayat Tuhan dengan harga murah. Haram baginya menjual ayat ayat Tuhan, sekadar mendapatkan amplop. Ia haqul yakin rizkinya telah ditanggung Allah. Karena itu, ia tidak akan mau menyentuh makanan dan minuman yang tidak jelas asal usulnya. Apalagi makanan dan minuman yang jelas haram. Sangat hati hati sekali ia dalam masalah ini. Sebab mengkomsusi makanan yang tidak jelas asal usulnya, bisa merusak kesucian hatinya. Setiap suap makanan dan teguk minuman yang masuk ke dalam perutnya akan berproses menjadi energi dan darah, terpompa jatung dan mengalir kedalam hati dan sekujur tubuhnya.Boleh dibuktikan, seorang yang sering mengkomsumsi makanan dan minuman haram, atau tidak jelas asal usulnya, dipastikan orang itu menjadi malas beribadah dan cenderung berbuat mungkar.Fakta lapangan menunjukkan, tindak kriminalitas lebih banyak dilakukan oleh orang orang atau anak anak dari keluarga yang kehidupannya ditopang perekonomian haram dan tidak jelas asal usulnya, seperti uang hasil perjudian, korupsi, memalak, membegal, mencuri, menipu, pungli, riba dan perbuatan serupa.

Ciri lain dari seseorang yang sudah menduduki maqam makrifat, ia lebih sering tampil dengan penampilan yang tidak mencolok agar tidak diperhitungkan orang lain. Jika menghadiri undangan acara, dia tidak akan memilih tempat duduk utama yang biasanya ditempatkan di depan, tapi lebih suka memilih tempat duduk yang disediakan untuk umum, berbaur dengan masyarakat biasa.

Menunjukkan karomah pantangan baginya. Sebab ia sadar, karomah lebih dekat pada fitnah dan kesombongan. Apalagi di era transdigitalisasi sekarang ini. Sedikit saja seseorang menunjukkan kebolehan, apalagi kebolehan ilmu ghaib, atau ilmu yang berhubungan dengan batiniyah, berhubungan dengan misteri dunia lain, dalam hitungan hari bahkan jam sudah viral, menjadi buah bibir di media sosial (medsos). Ia tidak perduli jika orang lain kemudian mengatakan, sesungguhnya ia benar tak mempunyai kemampuan apa pun hingga tak pernah menunjukkannya.Karena ia sadar, bahwa tujuan hidupnya bukan mencari ketenaran di bumi, akan tetapi lebih condong untuk beribadah kepada Tuhan, hingga menduduki posisi qurbah (kedekatan) dengan Sang Pencipta. Kebahagian dan kedamaian hidupnya maujud jika ia bisa intens mengingat Allah dalam setiap hela nafas dan detak jatungnya. Tak ada lagi rasa takut terhadap makhluk dan tak ada lagi kekhawatiran, apalagi bersedih hati. Ia lebih gemar menyendiri. Orang lain melihatnya diam, tapi sesungguhnya tidak diam. Kosong tapi berisi (mati sajroning urip, urip sajroning pati).Sebagaimana keyakinan yang sudah melekat dalam jiwanya (Matilah engkau sebelum datang kematianmu – Hadist Qudsi). Sekalipun berada di tengah keramaian, hatinya tidak akan larut di dalamnya. “Ketahuilah, ilmu batin adalah relung rahasiaKu, aku sematkan ilmu itu ke dalam hati hambaKu, dan takkan ada seorangpun yang dapat mengetahuinya kecuali Aku – Hadist Qudsi)”.

Wajib Nyantrik

Sekalipun tidak semua ahli tirakat bisa sampai ke maqam tertinggi ini, namun bukan berarti tidak bisa diupayakan sama sekali. Sepanjang masih berada di muka bumi, masih terbuka peluang untuk mempelajari.Kuncinya adalah terus belajar dan berlatih (ngelmu iku kelakone kanti laku). Syarat utama yang wajib dipenuhi adalah harus dibimbing oleh Guru Mursid (Guru Suci). Harus belajar (nyantrik) pada Guru Mursid. Tidak boleh otodidak. Sebab maqam ini adalah maqam makrifat. Belajar ilmu makrifat tanpa Guru Mursid, sama halnya berguru dengan setan, menyesatkan. Syarat lain, waktu yang dipertaruhkan cukup lama. Sejumlah referensi yang berhasil penulis kumpulkan, para guru ilmu makrifat bisa mencapai tataran tinggi, rata rata setelah mereka belajar selama 10 hingga 20 tahun. Sejumlah mursid malah mengatakan, bahwa belajar ilmu makrifat itu tidak ada takaran waktunya, atau seumur hidup. Itu pun setelah mereka ditempa keras secara lahir dan batin. Bohong, jika ada seseorang yang mengaku sudah mengusai ilmu makrifat, padahal mereka baru belajar dalam waktu yang relatif pendek. Sunatullah adalah keniscayaan, dan manusia tidak akan mampu merubahnya. Sekalipun dalam sejumlah kasus, “kodrat bisa den irodati”, takdir diyakini bisa berubah dengan doa dan laku ikhtiyar, namun di lini maqom, mutlak kodratullah (ketetapan Allah yang tidak bisa diganggu gugat).

Sejatinya, ini pula yang mendasari Persaudaraan SH Terate menempatkan suka pamer kekuatan, kesaktian dan semacamnya di depan umum sebagai salah satu pantangan (pepacuh), di samping butir butir pepacuh lainnya. Antara lain, tidak boleh merusak pupus ijo, tidak boleh merusak pagar ayu, tidak boleh mangro tingal (berprinsip mendua), dan tidak boleh mengajarkan ilmu Setia Hati tanpa seizin pengurus yang berkopenten.

Sifat terpuji lain dari seseorang yang menduduki makomah mahmudah adalah, jika secara ekonomi dia berada di atas standardisasi marginal, dia tidak merasa kaya. Bahkan sebaliknya, kekayaan yang dimiliki dipandang sebagai amanah. Ada bagian orang lain, terutama fakir miskin, yang dititipkan padanya. Zakat, infaq dan sodakoh atau bentuk amalan lain adalah jalan dia untuk membersihkan diri. Kalau berada di garis kemiskinan, dia tidak meratapi kenestapaan dan menyalahkan takdir. Dia yakin, Allah, Tuhan Yang Maha Esa menempatkan dia di garis kemiskinan karena berkehendak melepaskan dia dari beban dan tanggung jawab yang berkaitan dengan amanah harta dan kekayaan. Bukankah dengan kemiskinannya itu dia justru tidak direpotkan ngurusi usaha, ngitung duwit, memanage waktu antara kerja dan ibadah serta mengurus banyak karyawan? Bukankah pokok kebahagiaan hidup tidak bertumpu pada emas dan perak dan tujuan utama hidup bukan berlomba mengumpulkan harta dan memperbanyak keturunan. Prinsip hidupnya, Allah, Tuhan Yang Maha Esa tidak memandang rupa dan hartamu, akan tetapi memandang hati dan amalanmu. “Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam tanamannya mengagumkan petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat kuning kemudian hancur. Dan di akhirat nanti ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaanNya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu. (QS : 57 – 20).”

Tujuan utama hidupnya, sekali lagi, adalah mencapai kebahagiaan abadi lepas dari ruang dan waktu. Bukan kesenangan semu yang bersifat sementara, sebagaimana kesenangan sementara yang ada di atas bumi ini. (Maka Setia Hati pada hakekatnya tanpa mengingkari segala martabat-martabat keduniawian, tidak kandas/tenggelam pada pelajaran pencak silat sebagai pendidikan ketubuhan saja, melainkan lebih menyelami kedalam lambang pendidikan kejiwaan untuk memiliki sejauh jauh kepuasan hidup abadi lepas dari rangka dan suasana - Mukadimah SH Terate).

Sebaliknya jika keempat nafsu itu tidak terkendali, justru akan menjadi musuh bagi manusia, karena lebih banyak membawa mudharat dan kerusakan. Dalam Mukadimah SH Terate dikatakan ,” Dalam pada itu Setia Hati sadar dan yakin bahwa sebab utama dari segala rintangan dan malapetakan serta lawan dari kebenaran hidup bukanlah insan, makhluk atau kekuatan di luar dirinya;” Amanat ini mengisyaratkan bahwa musuh terbesar umat manusia, musuh yang bisa mendatangkan malapetaka adalah dirinya sendiri. Musuh yang lahir dari potensi negatif hawa nafsu karena tidak terkendali. Tabiatnya sangat jahat bahkan lebih jahat dibanding orang yang kita pandang sebagai musuh. Sungguh, sejahat jahat musuhmu ialah nafsumu yang terletak di antara dua lambungmu (Hadist).

Hakikatnya, nafsu adalah pintu masuk penyakit hati, seperti iri, dengki, sombong, bakhil, berbangga diri, dan gila ketenaran. Penyakit ini jika mulai masuk ke dalam hati akan menjadi titik hitam, semakin lama membesar hitam legam, hingga hati terhijab dari cahaya kebenaran dan hidayah. Lama kelamaan hati itu akan “.... menjadi keras seperti batu bahkan lebih keras lagi. Padahal dari batu batu itu pasti ada celah yang mengalir di antaranya sungai sungai, ada pula yang terbelah lalu memancar mata air dari dalamnya, ada pula yang meluncur jatuh karena takut kebesaran Allah “ (QS: 2-74).

Sebut sebagai misal, seseorang yang dikuasai nafsu amarah, dia akan berubah menjadi egois, emosional, serakah, hilang akal sehat dan khilap kesadaran diri. Nilai kemanusiaannya jatuh ke titik terendah. Nafsu ini jika tidak segera dikendalikan akan berubah menjadi sifat angkara murka. Adigang adigung adiguna. Buas, tak beradab dan tak bermoral. Apa pun dan siapapun yang menghalangi kemauannya, dianggap sebagai musuh yang musti disingkirkan. Dia bersikap dan berperilaku sebagaimana binatang. Ia bergerak mengandalkan insting, kekuatan pisik dan kemauan untuk mempertahankan kekuasaan, merusak, membunuh dengan tujuan hanya sekadar memenuhi kebutuhan gejolak nafsunya. Masa depannya adalah hari ini, detik ini, dan untuk dirinya sendiri. Lebih parah lagi, amarah bisa merusak iman seseorang sebagaimana cuka merusak madu-Hadist).

Seekor singa tidak akan segan membunuh anak sapi, bahkan induk sapi, hanya sekadar mengenyangkan perut lapar. Padahal setelah sapi itu berhasil dibunuh, dikoyak koyak dengan taringnya, singa itu tidak akan bisa menghabiskan dagingnya dalam sekali makan. Ia hanya akan memakan bagian bagian empuk yang disukainya. Sisanya ditinggal begitu saja, menjadi rebutan serigala, kucing hutan, gagak dan membusuk dirubung semut.

Fenomena Rebut Bener

Harus diyakini, hancurnya keseimbangan alam akibat eksploitasi yang tidak dilandasi amanah analisis pengendalian dampak kerusakan alam dan lingkungan, sejatinya, tidak disebabkan oleh orang banyak atau sekelompok manusia, tapi lebih disebabkan oleh gejolak nafsu sesosok manusia. Terjadinya perpecahan dan porak porandanya martabat serta derajat organisasi, yakinlah, pada awalnya hanya disulut oleh jiwa yang tak bisa mengendalikan dan menyelaraskan nafsunya. Fanomena “rebut bener” di kalangan pengurus teras, kerap menjadi penyebab utama, tanpa memperhitungkan dampak negatif terjadinya perpecahan di akar rumput. Khilap sangat, padahal pada awal perintisannya, organisasi tersebut diperjuangkan bersama-sama. Kehancuran peradaban bumi dan duriah umat manusia sebagai dampak perang, baik perang saudara maupun perang dunia, bukan disulut oleh kepentingan antar kelompok secara makro, tapi penyebab utamanya adalah nafsu yang menguasai diri pribadi. Manusia yang dikuasai nafsunya tidak segan segan mengusung sedulur, membawa bendera kelompok, bahkan bendera bangsanya untuk mencapai tujuan. Kricikan dadi grojogan, demikian istilah yang sering dipakai Wong Jawa, untuk menengarai fenomena ini. Jer lahir tumusing batin (gerak raga lahir dari geliat nafsu di hati).

“Dalam jasad manusia ada segumpal daging. Jika ia baik maka baiklah sekujur tubuh, jika dia rusak maka rusak pula semua jasad. Ketahuilah, ia adalah hati (al-Hadist).Jika hati kita rusak, secara otomatis jasad kita juga menjadi rusak. Buta mata, tuli telinga, gelap gulita mata hati. Kondisi ini akan berdampak pada perilaku keseharian dan berefek negatif pada pranatan kehidupan di lingkungan tempat tinggalnya, lingkungan pergaulan, bahkan masyarakat luas. “Dan barang siapa yang di dunia ini buta, maka di akhiratpun akan buta dan jalanya lebih sesat “(QS: 17 – 72).

Yang dimaksud buta dalam hal ini adalah buta mata hati. Yang dimaksud tuli juga tuli mata hati. “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata lahiriyah yang buta, tapi yang buta adalah hati yang di dalam dada” (QS:22 – 46). Perilaku tersebut, jika benar terjadi, apalagi dilakukan oleh warga Persaudaraan SH Terate, maka yang bersangkutan jelas jelas telah melanggar janji setia pada dirinya sendiri. Karena perilaku tersebut bertentangan dengan sifat yang harus dimiliki warga Persaudaraan Setia Hati Terate. Yakni bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, pemberani tidak takut mati, soal kecil mengalah dan bersikap serta bertindak jika menghadapi persoalan besar dan prinsip, sederhana, mamayu hayuning bawana. Kelima, sifat tersebut dalam kontruksi Padepokan S H Terate, tersembunyi di balik sketsa makro segi lima yang membentuk disain eksterior pendapa.

Mohon maaf, barangkali untuk sementara kupasan tentang makna filosofi padepokan tercinta dicukupkan sekelumit ini agar tidak mengembang dan keluar dari tema. Penulis berserah diri pada Allah dan memohon ridloNya, semoga pada lain kesempatan bisa menyajikan tulisan yang lebih rinci tentang Makna Filosofis Pendapa Saba Wiratama, Persaudaraan Setia Hati Terate. Amin.

_______ Sekitar pukul 24.15 WIB, Kanjeng Wirobumi mempersilakan Mas Madji menuju pelataran Sitinggil. “ Awakmu melok wae nDik (Kamu ikut saja nDik-pen),” ujar Mas Madji. “ Njih, Mas Andi nderek mawon mboten napa napa (Iya, Mas Andi ikut saja, tidak apa-apa-pen)” sambung Kanjeng Wirobumi. Panggilan Mas yang disampaikan Kanjeng Wirobumi pada saya lebih bersifat penghargaan pranatan pergaulan di lingkup Persaudaraan Setia Hati Terate. Kanjeng Edi Wirobumi, sudah lama tercatat sebagai warga Persaudaraan Setia Hati Terate. Kebetulan tahun pengesahan dia lebih muda dari saya, sehingga mengambil tatakrama dengan memanggil Mas pada saya. Malam itu, Mas Madji dan penguasa Keraton Solo tampaknya sudah janjian untuk melakukan doa bersama (bersamadi).

Saya pribadi lebih suka mengambil sikap tidak banyak bertanya (tidak kepo) jika diajak keluar untuk mendampingi Mas Madji. Sikap tidak banyak bertanya kapada saudara tua ini juga salah satu ajaran tata krama pergaulan yang diajarkan Mas Madji pada diri saya.Kecuali jika saya berhadapan dengan masalah prinsip yang mau tidak mau saya harus mengambil keputusan.

Mas Madji pernah dawuh, seseorang yang banyak bertanya itu menunjukkan tingkat kebodohannya. Bahkan jawaban atas pertanyaan tersebut bisa menjadi bumerang dan memberatkan diri penanya sendiri.Alasan kedua, sikap kepo atau suka ingin tahu urusan orang lain, tidak jarang justru bisa menyulut emosi orang yang ditanya. Karena boleh jadi, jawaban atas pertanyaan tersebut sudah masuk ke domain privasi. Ajaran jangan suka ingin tahu urusan orang lain, banyak bicara, banyak bertanya, merupakan salah satu cabang ajaran pranatan pergaulan di lingkup Keluarga Besar Persaudaraan Setia Hati Terate. Bahkan Mas Madji sudah mengekalkan ajaran tersebut ke dalam jargon kaligrafi yang dipasang di dinding Gedung Graha Wiratama (Ojo Waton Ngomong, nanging Ngomong Sing Nganggo Waton). Benar, bahwa malu bertanya sesat di jalan. Tapi pelajaran yang terkandung dalam pepatah ini, semestinya ditempatkan kondisional dan proporsional. “Golek susu segar nDik (Cari warung yang jual susu sapi segar-pen),” ujar Mas Madji memecah keheningan. Beliau suka banget minum susu segar hasil perahan langsung dari peternak sapi. Di samping citarasanya khas, efek langsung yang bisa dirasa adalah menghilangkan capai-capai dan kantuk. Di pinggiran jalan Kota Solo, banyak kaki lima yang menjual jenis minuman ini. Tapi Mas Madji lebih suka memilih kedai susu segar di sekitaran UNS Solo.

Keluar dari kedai susu segar, kami meluncur ke arah Madiun. Pulang. Malam semakin mengkristal. Jalanan sepi. Satu dua bus antarkota melesat mendahului kami dengan kecepatan tinggi. “Mengko mampir POM Bensin sik, nDik,” pinta Mas Madji. Yang dimaksud adalah mampir ke SPBU milik beliau sendiri, yang terletak di perbatasan Jawa Tengah – Jawa Timur, tepatnya di wilayah Mantingan, Kabupaten Ngawi. Tak seberapa lama, terdengar suara nafas beliau tertidur.

Mas Madji terjaga sebelum masuk wilayah perbatasan. “Awakmu ngebut to? Cepet meng wis tekan kene,” katannya, setengah bergumam. Saya hanya tersenyum. Batin saya, kenapa beliau seperti sudah terformat dalam ketepatan ruang dan waktu? Lepas dari UNS, Solo, beliau jelas jelas tertidur lelap. Tapi begitu mau sampai tujuan yang dikehendaki, terbangun sendiri. Sejauh saya mendampingi beliau, jarang sekali saya membangunkan tidur beliau. Sebaliknya, justru beliau yang sering membangunkan saya. Jujur saya ingin belajar soal ini dan sempat mengutarakanya. Jawab beliau,” Latihan, sering latihan, suwe suwe jiwamu kan reflek iso tangi tepat waktu,” jawabnya. Ruang dan waktu itu mahluk, sebagaimana manusia. Mereka akan bersahabat, jika diri kita mau bersahabat dengannya.Bagaimana bisa lepas dari ruang waktu ketika jiwa kita masih dikuasai mereka?

Saya langsung berjalan menuju warung yang ada di sekitar SPBU Mantingan untuk memesan secangkir kopi. Mas Madji saya lihat berjalan ke dalam ruangan, setelah menghampiri dan menyalami beberapa karyawan yang giliran kerja malam itu. Ada beberapa truk muatan berat yang parkir di lokasi parkir. Kantuk mulai menyerang dan secangkir kopi merupakan senjata ampuh untuk mengusirnya. Jarum jam yang dipasang di dinding warung kopi merambat ke arah angka empat. Jika pejalanan selanjutnya lancar, kami bisa sampai Madiun waktu Subuh, hingga saya masih bisa istirahat, sebelum berangkat kerja.

Mas Madji ternyata sudah menghampiri saya sebelum secangkir kopi yang terhidang di depan saya habis.”Selak kawanan nDik, ayo jalan,” ujarnya. Tanpa menunggu beliau mengulang permintaannya, saya segera beranjak, membayar kapi yang saya pesan, mengambil mobil dan meluncur ke jalan, setelah Mas Madji naik. “Mulai rame nDik, ra sah ngebut!” katanya.

Sejak keluar dari SPBU Mantingan, situasi jalan raya yang tadinya lengang, mulai menggeliat. Ketika memasuki kawan Pondok Pesantren Modern Putri Gontor, Mantingan, saya melambatkan laju kendaraan. Beberapa orang tua santri terlihat berjalan menyeberang dari arah warung makan yang terdapat di seberang jalan ke arah gerbang pondok. Di tangan mereka tertenteng tas kresek hitam penuh makanan. Beberapa orang lagi berjalan dari arah gerbang pondok ke masjid yang berlokasi di lokasi setempat. Selalu, setiap lewat di depan kawasan itu, pandangan mata saya tertuju pada tulisan yang dipasang di atas pintu gerbang pondok. Ke Gontor Apa Yang Kamu Cari?

“Saya kagum dengan managemen Kyai Gontor, “ ujar Mas Madji suatu ketika. “Beliau berprinsip, 90 Km itu milik Gontor. Saya merenung. Kok begitu. Mulailah saya mencari jawaban, ternyata apa pun di lingkungan Gontor, harus menjadi Gontor. Paling tidak mengerti Gontor, baik sector ekonomi, bidang dakwahnya, bidang agamanya. Kalau punya prinsip begitu, berarti Gontornya sendiri harus baik. Ternyata betul. Gontor bisa diterima masyarakat karena memang baik. Sekarang melebar ke mana-mana, ajaran kebaikan itu disebarluaskan tamatan Gontor.”

“Ke SH Terate, apa yang kamu cari?” kata Mas Madji agak keras, membuyarkan konsentrasi saya.”Ke SH Terate, apa yang kamu cari, Andi?” Mas Madji mengulang kata-katanya.

Saya tahu dari mana Mas Madji mengadopsi kata kata itu. Saya akrab betul dengan kalimat sederhana, tapi cukup mengusik eksistensi pembacanya.”Suk jawabane mok tulis yo,nDik. Kowe kan pinter nulis,” lanjut beliau meminta saya untuk menulis jawaban atas pertanyaan tersebut.

Seting narasi dalam tulisan ini terjadi sekitar tiga bulan, sebelum Kang Mas KRH.Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro, SE, wafat. Sebenarnya sudah lama saya ingin menulisnya. Tapi baru sekarang ini terselesaikan, dan berada di depan pembaca, setelah beberapa tahun tertunda. Saya baru sadar dan mengerti sakarang, ternyata kata kata Mas Madji itu wasiat pada diri saya.Saya merasa berhutang janji pada beliau. Dan hutang, wajib dibayar. Paparan di atas, merupakan kilas jawaban atas pertanyaan tersebut. Masih banyak yang belum terungkap. Tapi yang sedikit ini, semoga bermanfaat. Mohon kepada pembaca untuk membaca Al Fatihah khususon untuk arwah beliau. Harapan saya, dengan kiriman hadiah pahala Ummul Kitab yang pembaca baca dan jawaban atas pertanyaan beliau dalam tulisan ini, bisa menambah kedamaian dan bahagiaan beliau di dalam limpahan safaat Kanjeng Nabi Muhammad saw dan rakhmat Allah, Tuhan Yang Mahaesa. Kepada ahli waris yang ditinggalkan, khususnya dan Keluarga Besar Setia Hati Terate, semoga tetap diberi hidayah, kesabaran, ketabahan, keberkahan serta semangat bertawakal mikul dhuwur mendhem jero.(andi casiyem sudin)

Juni 2015/Juni, 19, 2023.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa dan Wasiat untuk Warga Baru SH Terate

Sekadar Syarat Bentuk Lahir

Menelaah Mukadimah SH Terate