Tahun Songo SH Terate Kembali Rukun
Sekadar ngleremke ati, agar nafas kita gangsar, sedikit penulis sampaikan prediksi Kang Mas KRH.H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, semasih hidup, ketika kemelut pedut menyelimuti Pedepokan SH Terate. Sepeninggal beliau, padepokan bakal dibawa kemana mana.” Saudara-saudara kita salah persepsi, dikira SH Terate bisa dibawa kemana-mana. SH Terate itu ada di mana-mana, tapi tidak akan kemana-mana. Ning ora suwe nDik. Ora suwe wis mbalik neh. Banyak saudara kita yang tercecer, bingung menentukan pilihan,’’ katanya.
Setelah diam agak lama, beliau melanjutkan, Persaudaraan Setia Hati Terate akan kembali menemukan kedamaiaan di tahun yang bilangan angkanya jika dijumlah ketemu angka sembilan.”Nek wis teko angka sanga, nDik. Angka tahun iku nek dijumlah sanga. SH Terate lerem,” katanya.
Prediksi ini disampaikan (alm) Kang Mas KRH.H. Tarmadji Boedi Harsono,SE, sekitar seratus hari sebelum beliau wafat.(andi casiyem sudin)
----------------
"Aja Seneng Gawe Ala Ing Liyan, Apa Alane Gawe Seneng Ing Liyan” (Jangan suka jahil terhadap orang lain, tidak ada jeleknya membahagiakan orang lain)
Nasihat berbahasa Jawa ngoko itu terpasang di salah satu dinding, di atas mimbar pasamuan Padepokan Setia Hati Terate, Jl. Merak Nambangan Kidul, Kota Madiun. Sebuah nasihat yang mudah dicerna ____karena kalimat itu sendiri memang disusun dengan kata-kata sederhana. Namun, satu hal yang patut dipertanyakan pada diri kita, bisakah dengan mudah kita melakukannya?
Kata-kata bijak tersebut diviralkan Kang Mas KRH. H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, sebagai “pangeling-eling”. Paling tidak untuk dijadikan bahan renungan Keluarga Besar Persaudaraan Setia Hati Terate, agar tidak sesat jalan. Mas Madji menengarai, degradasi kesantunan di ranah komunikasi antar warga, mulai tek terkendali. Pemicunya, kekhilafan meredam gejolak nafsu dari dalam diri kita sendiri. Gajolak yang menuntut pemenuhan-pemenuhan atas kemauan dan kehendak, sebagai dampak globalisasi, di tengah persaingan era milaneal. Persaingan yang memicu polemik, konflik, dilema, membuahkan risiko-risiko dan ketidakpastian. Tidak jarang, kerasnya persaingan itu, bahkan, berdampak pada pergeseran nilai. Dari nilai-nilai kesatunan pranatan ragawi, hingga menyentuh kisi-kisi kesentosaan rokhani.
Tingginya tingkat persaingan itu benar-benar terasa, bahkan telah merambah hampir ke setiap lini kehidupan. Dari lini ekonomi, sosial, politik , budaya, bahkan belakangan ini, persaingan yang memicu pergesekan nilai nilai normatif itu sudah menyentuh kisi martabat kemanusiaan, menyentuh ajaran yang semula dijaga dan dilestarikan, sebagai bagian dari kesepakatan antar individu yang telah meleburkan diri ke dalam sebuah konsepsi jalinan cinta kasih sejati, berlebel “persaudaraan”.
Kehadiran teknologi komunikasi berbasis “dioda”, di satu sisi sangat membantu mempercepat komunikasi dan mendekatkan jarak antar individu yang semula terpisahkan ruang waktu. Terpisahkan oleh jarak antar kota, provinsi, bahkan pulau dan benua. Hanya dengan memanfaatkan hand phone (HP), kita bisa berkomunikasi dengan kerabat, sahabat, mitra kerja, kolega, kapan pun, di mana pun, dan dalam tenggang waktu relatif singkat. Bumi laksana berada dalam genggaman tangan. Sementara itu, kehadiran media sosial (medsos), searah dengan perkembangan kecanggihan teknologi komunikasi, menjadikan mata rantai jalinan komunikasi itu, tidak hanya semakin cepat, praktis, ekonimis, akan tetapi juga semakin tak berbatas.
Generasi meleneal telah lahir, sebagai buah perkawinan inovasi teknologi telekomunikasi dan keniscayaan dunia maya. Dunia yang pada awalnya hanya sebagai mimpi dan angan-angan. Mereka telah mewujudkannya, bahkan melampaui batas ruang dan waktu. Sayangnya, kehadiran mereka tak dibarengi kesiapan mental untuk menerimanya, sehingga kita tampak begitu gagap. Buah inovasi teknologi itu, terbukti telah menggiring kita keluar dari batasan nilai nilai normatif keluhuran budi. Kebebasan meleneal yang terkemas dalam kosep kebebasan medsos, telah bertajali menjadi pedang bermata dua, dan salah satunya menusuk jiwa kita sendiri, melukai eksistensi ajaran budi luhur yang terformat dalam jalinan persaudaraan kekal abadi. Yakni, konsepsi persaudaraan yang tulus, lahir dari kesucian hati. Saling sayang menyayangi, cinta mencintai, hormat menghormati dan saling bertanggung jawab. Persaudaraan yang tidak lagi memandang siapa aku dan siapa kamu, tidak dibatasi hegomoni keduniawian, seperti derajat pangkat dan martabat. Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. “Jiniwit katut, mulya siji mulya kabeh (yaji yabeh), mati siji mati kabeh (tiji tibeh)”.
Fanomena jungkir balik kini terpampang di depan mata. Pranatan kesantunan dalam hubungan sosial tercerabut dari akar budaya dan komunitas. Larut dalam kebebasan komunikasi dan globalisasi yang cenderung kebablasan. Di medsos, sebagai contoh, banyak dijumpai ungkapan-ungkapan yang kerap kali menyinggung harkat dan martabat kemanusiaan. Netizen (istilah yang digunakan untuk menyebut pengguna medsos di dunia maya), banyak yang sudah tidak mempedulikan nilai kesantunan dan susila. Semua seakan hendak ikut bicara, sekalipun tanpa dasar (omong tanpa waton). Media sosial yang diharap menjadi ajang mempererat tali persaudaraan, justru menjadi bumerang, karena telah dijadikan ajang fitnah, saling menghujat, rebut bener. Bahkan, tidak jarang dijumpai, sumpah serapah. Cukup memprihatinkan, karena sumpah serapah itu dilontarkan oleh kawula muda kepada orang tua, yang mestinya harus dihargai dan dihormati.
Padahal, kesantunan dalam komunikasi masyarakat Indonesia, khususnya pranatan masyarakat Jawa (Wong Jawa), sejak dahulu kala telah tertata dan terformat dalam alur tradisi adidulung, mengedepankan norma kesantunan, susila dan keluhuran budi. Yang muda sangat menghargai orang tua. Sebaliknya, orang yang merasa tua juga memposisikan diri sebagai pengayom, tempat di mana orang muda bisa mencurahkan hati untuk mendapatkan embun penyejuk jiwa. Hingga, dampak dari komunikasi timbal balik itu dirasa cukup positif, karena di dalamnya terkandung nilai nilai penghargaan martabat kemanusiaan.
Sebut sebagai misal, nasihat yang menghimbau agar orang jangan ceplas ceplos, asal bicara, tapi bicaralah penuh arti dan berdasar (aja waton ngomong, ning ngomong kang nganggo waton). Pun sebuah himbauan agar orang lebih mengedepankan kerja dan karya daripada kepentingan pribadi (sepi ing pamrih, rame ing gawe), atau nasihat agar kita pandai memposisikan diri dan tidak merasa serba bisa (aja rumangsa bisa, nanging sing bisa rumangsa),, atau sindiran dalam pepatah berbahasa Indonesia, yang merujuk pada kedangkalan ilmu seseorang yang banyak bicara, seperti “tong kosong berbunyi nyaring” serta “air beriak tanda tak dalam”. Sampai kemudian, ajaran yang merujuk pada tahapan tenggang waktu kapan seseorang boleh bicara dan kapan seseorang harus banyak mendengar (belajar).
Tahapan-tahapan ini erat kaitannya dengan proses kehidupan manusia dari sejak ia dilahirkan, hingga ajal. Kajian sosio cultural, terdapat empat tahapan kehidupan manusia. Yaitu, bayi bajang (sejak ia dilahirkan hingga masa kanak kanak, usia 1 – 7 tahun), nayarana (masa muda, pemuda, masa pencarian jatidiri atau masa transisi, usia 8 – 16 tahun), satria (masa dewasa, usia 17 - 25 tahun), satria pinandita (masa dewasa yang diwarnai tingkat kesadaran dan dedikasi, usia 26 – 60 tahun), pinandita (masa tua, usia 61 – ajal).
Untuk menambah wawasan, penulis hadirkan disini beberapa istilah Jawa yang terkait dengan keberadaan kstaria. Satria Kinunjara Murwa Kuncara, artinya seorang pemimpin yang acap kali masuk penjara (kinunjara), namun kapasitas, kapabilitas, kepribadian serta pamornya terkenal ke seantero dunia (murwa kuncara).Satria Mukti Wibawa Kesandung Kesampar, yakni pemimpin yang berlimpah kemuliaan duniawi, kaya raya (mukti), amat dihormati dan bahkan ditakuti oleh rakyat (wibawa), tetapi sayangnya pada masa-masa akhir kekuasaannya menjadi obyek caci-maki dan kutukan, bahkan hingga hari tua dan setelah kematiannya (kesandung kesampar).Satria Jinumput Sumela Atur, pemimpin yang memegang kendali kekuasaan karena ‘dipungut’ (jinumput), atau katakanlah tidak disengaja, dan selain itu ia memerintah pada masa transisi, menyela-selai (sumela atur). Satria Lelana Tapa Ngrame. Maksud dari lelana, bahwa ia adalah pemimpin yang gemar bepergian . Satria Piningit Hamong Tuwuh. Kata piningit berarti muncul secara tiba-tiba tanpa diduga sebelumnya. Satria Boyong Pambukaning Gapura. Kata boyong mengandung arti pindah tempat (posisi), dan hal ini mungkin dimaknai pindah atau berganti karir politik.
Secara simbolik, tahapan kehidupan manusia itu juga dikemas ke dalam bahasa isyarat dan divisualisasikan lewat keindahan seni (gending dan lagu), sarat pitutur luhur (nasihat bijaksana). Misalnya, maskumambang (tahapan kehidupan di alam roh, ketika manusia masih berupa roh dan terapung apung – kumambang – di alam azali sebelum menjadi janin dalam kandungan), setelah itu masuk ke tahapan mijil inya keluar dari alam roh dan masuk ke kandungan ibunda menjadi sosok bayi), kemudian masuk ke tahap sinom (masa perkembangan). Tahapan kehidupan berikutnya adalah kinanti, masa transisi dan pencarian jatidiri, kemudian asmarandana (masa yang penuh dinamika diwarnai cinta kasih dan romantisme dalam pencarian untuk mendapat teman hidup), setelah itu masuk ke tahapan gambuh, yakni (penyatuan visi dan misi dalam penyatuan ikatan pernikahan yang suci). Tahap berikutnya adalah dandanggula ( tahapan masa yang penuh semangat untuk meraih kesuksesan hidup -- dandang, piranti untuk masak nasi berbahan baku tembaga, diiringi dengan pemenuhan kebutuhan rokhani yang diibaratkan dengan gula, rasa manis).
Dalam tahapan berikutnya, masa masa penuh dinamika, kreativitas dan penyatuan visi misi untuk mengejar pemenuhan kebutuhan ragawi itu, harus mulai ditinggal, berganti masuk pada tahapan durma (tahap dimana manusia mencapai puncak kesadaran hidup tertinggi dan dituntut untuk berdharma bhakti kepada sesama).
Sukses melewati tahapan durma, manusia masuk ke tahapan pangkur. Dalam tahapan ini manusia harus banyak menyepi (pangkur, artinya menghindar atau tapa brata, mulai meninggalkan hegomoni keduniawian), hingga menemukan makna hidup dan kehidupan, sebelum akhirnya harus menemui ajal (megatruh : megat, artinya pisah dengan ruh ), menyatu dengan Sang Pencipta diawali dengan proses menjadi mayat (pucung), untuk kemudian berakhir ke wirang rong, dikebumikan di liang lahat, alam kubur. Dalam konsepsi ajaran Jawa, yang kemudian banyak diadopsi menjadi ajaran Setia Hati, seseorang baru diperbolehkan bicara (mengajar, dalam hal ini mengajarkan ilmu batiniyah), jika sudah melewati tahapan satria dan masuk ke tahapan satria penandita. Atau jika mengacu pada nasihat simbolik yang dikemas oleh para leluhur, sudah masuk ke masa durma. Sebelum masuk ke tahap itu, sebaiknya ia harus banyak mendengar (belajar).
Mengambil referensi dari tahapan hidup manusia menurut filsafat Jawa ini, ketika duduk sebagai Katua Majelis Luhur, Mas Madji, mengadopsinya ke dalam jenjang pendidikan di SH Terate, dengan gelar atau sebutan. Yakni, siswa (seorang yang masih menjalani latihan), satria (warga yang baru disyahkan hingga usia pengesahan 5 tahun), satriatama (warga dengan usia pengesahan 6 tahun – 15 tahun), wiraanom (warga yang baru disyahkan menjadi Tingkat II – hingga 5 tahun), wirayuda (warga TK II dengan usia pengesahan TK II 6 – 10 tahun), wiratama (warga TK II dengan usia pengesahan TK II 11-15 tahun), dan terakhir adalah hajar (warga tingkat III).
Pemberian gelar ini, selain bertujuan untuk memberi penghargaaan kepada warga, juga sebagai sarana mempertajam nilai tata krama dan unggah ungguh (hubungan komunikasi) dalam jalinan persaudaraan di SH Terate. Tata krama adalah istilah yang bersinonim dengan sopan santun, dan peradaban. Berasal dari bahasa Jawa, tata berarti aturan dan krama (kromo) berarti baik. Sebab, beliau melihat alur tata karma dan unggah ungguh dalam jalinan Persaudaraan SH Terate mulai mengikis, tergerus tingginya tingkat persaingan era globalisasi, di samping semakin banyaknya jumlah warga searah dengan perluasan dan perkembangan SH Terate. Proses pemberian sebutan atau gelar kepada warga diatur dalam juklak (petunjuk dan pelaksanaan) khusus.
Mas Madji merupakan siswa Kang Mas RM Imam Koesoepangat. Mas Imam (panggilan RM Imam Koesoepangat), seorang yang memegang teguh tata krama. Puluhan tahun Mas Madji dididik Mas Imam, dan selama itu pula beliau selalu menekankan tata krama dan unggah ungguh dalam pergaulan antar warga SH Terate. Contoh, tradisi berbicara antara orang yang lebih muda dengan orang tua, harus memakai krama inggil (bahasa yang halus), tidak boleh ngoko (bahasa kasar). Bahkan, Mas Imam menyarankan agar tidak mengkritik orang tua. Alasannya, selain untuk menjaga harmonisasi hubungan, dikhawatirkan kritik itu justru akan menyinggung perasaan orang yang lebih tua. Lalu siapa yang berhak mengkritik orang yang usianya lebih tua? Kata Mas Imam, biarlah orang yang usianya tua dikritik orang yang berusia lebih tua lagi, sesepuh atau guru. Terus, siapa yang bisa mengkritik sesepuh dan guru? Jawabnya, hati nurani mereka sendiri, atau biarlah Allah, Tuhan Yang Maha Esa yang memberi kritik atau peringatan kepada mereka. Beliau mendasari nasihatnya itu dengan telaah ajaran budi luhur. Yakni, wong tua iku mandi dongane, omongane wong tua iku padha karo donga (sesepuh itu doanya terkabul dan omongan sesepuh itu sama dengan doa). Sesepuh dalam konteks ini adalah orang sepuh dalam usia, dan sudah matang, baik psikologi maupun keilmuannya. Bukan sekadar sepuh dalam usia.
Kembali pada abrasi kesantunan dalam pergaulan yang terjadi dewasa ini, patut disepakati, fenomena ini bukan lagi harus dipertanyakan siapa yang salah dan siapa yang harus bertanggung jawab. Meski, masalah moralitas ini memang cukup menyita perhatian, waktu, tanaga dan fikiran. Tidak jarang cukup menyakitkan hati. Akan tetapi, kondisi ini merupakan fenomena yang harus dihadapi. Sebab, ajaran Setia Hati selalu menempatkan kendala, persoalan atau masalah sebagai sebuah tantangan yang harus dicarikan jalan keluar (solusi), bukan menjadikannya sebagai rintangan. Kita tidak boleh melarikan diri dari fenomena melenial ini. Tugas kita justru menghadapinya sambil memformat langkah antisipasi serta mencari solusi terbaik.
Masalah adalah kekasih manusia yang paling setia.Manusia berbudi luhur selalu menjadikan masalah sebagai tantangan yang harus dihadapi, bukan menjadikan masalah sebagai rintangan.Yang menjadikan kita tetap optimis adalah, sepanjang manusia masih hidup, berarti masih berada dalam lingkup proses untuk menjadi. Tetap terbuka peluang untuk membentuk sekaligus merubah diri kearah lebih baik. Terpenting adalah, keikhlasan niat untuk berdharma, hingga bermuara pada kinerja yang bermanfaat bagi sesama. Ilmu iku linambaran laku, lan laku bakal bisa tinemu yen to linambaran ilmu (Syarat mencari ilmu itu harus dengan laku atau bekal, dan laku akan terwujud jika didasari oleh ilmu). Pertanyaan paling arif yang perlu dimunculkan adalah, laku apa yang harus dilaksanakan agar kita termasuk dalam kategori orang-orang yang mampu menempatkan diri di tengah kehidupan yang kini tengah diwarnai fenomena multidimensi ini?
“Back to basic,” jawab Mas Madji saat penulis menanyakan perihal ini.Yakni, kembali ke konsep persaudaraan. Alasannya, ruh organisasi yang kita cintai ini adalah persaudaraan kekal abadi, persaudaraan yang lahir dari hati sanubari, tidak memandang siapa aku dan siapa kamu, tidak memandang asal suku, agama, ras dan antargolongan, terlepas hegemoni kedunawian, berdiri sama tinggi duduk sama rendah, persaudaraan yang didasari rasa ketulusan, kasih, saling sayang menyayangi, cinta mencintai, dan bertanggung jawab.
Persaudaraan itu pula yang dijadikan ruh SH Terate sejak berdiri tahun 1922, di era paguron yang langsung dipandegani sang pendiri, Ki Hadjar Hardjo Oetomo, lanjut ke era demokratisasi yang dimotori Kang Mas Soetomo Mangkoedjoyo dan Kang Mas Santoso, Kang Mas Darsono, era tahun 1948, lanjut lagi ke era Kang Mas Irsyad, Kang Mas Badini dan Kang Mas Imam Koesoepangat, hingga Kang Mas Tarmadji. Para tokoh yang berjasa besar dalam mendirikan dan mengembangkan Persaudaraan Setia Hati Terate itu, sepakat, menjadikan persaudaraan sebagai nafas organisasi. Bukan mengedepankan organisasi sebagai motor penggerak aktivitas antar anggota dan warga. Apalagi dijadikan tunggangan demi mencapai kepentingan duniawi.
Karena dibentuknya organisasi Persaudaraan Setia Hati Terate, lanjut beliau, sejatinya hanya sekadar syarat bentuk lahir, yang berfungsi sebagai media silaturahmi antar saudara Setia Hati dan media pemancar citra dan cita.”Sekadar syarat bentuk lahir maka disusunlah Organisasi dalam rangka Persaudaran SH Terate sebagai ajang ikatan antara saudara Setia Hati (SH) dan lembaga yang bergawai sebagai pembawa dan pemancar cita - Mukadimah SH Terate). Organisasi sejatinya sekadar wadah. Bukan tujuan akhir. Ruhnya adalah, sekali lagi, persaudaraan. Baik dalam arti spesifik, eksklusif maupun luas. “Platform SH Terate dan tujuan serta misi SH Terate sejak didirikan, yakni, mengumandangkan persaudaraan. Langkahnya adalah mendidik, menciptakan manusia berbudi luhur. Ilmunya mengenal diri sendiri sebaik-baiknya.
Dasar persaudaraan di SH Terate saya ulang lagi, menekankan pada kita bahwa manusia hidup itu pada dasarnya sama. Berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Didikan di SH Terate juga begitu. Senamnya sama, jurusnya sama, pasangannya sama. Sambungnya ya sambung persaudaraan. Gak emosi. Tidak ngumbar nafsu.
Sejak didirikan SH Terate ini mengemban persaudaraan, yang berlatar pencak silat. Ilmunya mengenal diri sendiri. Pencaknya menganut aliran Setia Hati (SH). Organisasinya paseduluran dengan lambang bunga terate, “ujar Mas Madji.
Persaudaraan dalam arti spesifik, eksklusif terjalin antar anggota. Sedangkan dalam arti yang luas adalah persaudaraan yang terjalin antar sesama manusia di muka bumi ini.Tujuan akhirnya “mamayu hayuning bawana” (ikut aktif menjaga keamanan, keselamatan dan kedamaian demi kelestarian kehidupan dunia), untuk mencapai kebahagiaan abadi lepas dari ruang dan suasana. Bukan kebahagiaan sementara yang sesungguhnya semu dan penuh kepalsuan.”Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam tanamannya mengagumkan petani, kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridloanNya. Dan kehidupan di dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.(QS: 57 – 20).
Kang Mas Drs. H. Marwoto (alm), ketua Dewan Pusat Persaudaraan SH Terate di era kepemimpinan Mas Madji, pernah menjabarkan arti persaudaraan dalam kajian bahasa. Kepada penulis, ahli bahasa yang mengajar di UNS, Surakarta itu mengatakan, kata “persaudaraan” termasuk kata kerja aktif. Akar katanya, “sa” dan “udara”, mendapat awalan “per” dan akhiran “an”. Kata “saudara” merupakan kata sambung,"sa-udara”, luluh menjadi “saudara.”
Awalan “per”, bermakna sebuah pengharapan, aktivitas yang memiliki tujuan. Akhiran “an” dalam kata ini bisa diartikan absurd, abstrak atau tidak nyata dengan cakupan luas. Sedangkan akar kata “sa” berarti satu. Arti kata “udara” adalah sumber nafas, atau bisa diartikan pula sebagai kandungan, gua garba. Kadua kata sambung ini luluh menyatu jadi “saudara”, berarti rasanya luluh menyatu bersenyawa menjadi satu nafas atau satu kandungan.
Dari rincian tersebut, kata persaudaraan mengandung arti aktivitas pengharapan yang absurd, abstrak, tapi memiliki tujuan dengan cakupan luas, berasal dari satu nafas atau kandungan. Jika diperluas lagi, kata persaudaraan bisa artikan sebagai jalinan aktivitas pengharapan yang terjadi antar individu yang memiliki tujuan sama, sebagaimana jalinan rasa yang lahir dari satu nafas dan satu kandungan. Persaudaraan mempunyai nilai absurd, abstrak, karena bukan berupa materi, akan tetapi rasa, psikologi, jiwa. Sekalian pun abstrak, bukan berarti tidak bisa dijangkau dan diwujudkan. Persaudaraan bisa dijangkau dan dirasakan, karena berwujud aktivitas. Apalagi, bermuatan tujuan sama dan dilakukan oleh banyak orang secara bersama sama. Yaitu, orang orang dengan daya penguat satu rasa, sebagaimana rasa yang ditimbulkan oleh satu nafas dan kandungan.
Lebih ditekankan lagi oleh Kang Mas Tarmadji, karena jalinan rasa itu lahir dari satu nafas, maka harus serasa, sama rata sama rasa. Sebagaimana rasa persaudaraan antara saudara sekandung. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, nilai kualitas jalinan rasa tersebut bisa jauh di atasnya. Lebih jelasnya, sekalipun persaudaraan dalam Setia Hati Terate melibatkan banyak anggota dengan latar belakang heterogen, akan tetapi semuanya harus melepas baju dan atribut masing-masing, lebur ke dalam konsep jalinan persaudaraan dengan misi satu, yaitu persaudaraan penuh kasih, cinta mencintai, sayang menyayangi, dan terlepas dari ruang waktu, kekal abadi.
Jalinan persaudaraan akan lestari dan mengakar, jika masing-masing anggota sadar diri, hormat-menghormati, harga-menghargai, hamat-menghamati dan saling bertanggung jawab. Sebaliknya, jalinan persaudaraan akan menjadi ambyar jika masing masing anggota mengedepankan kepentingan pribadi maupun kelompok, menuruti nafsu, egois, ingin menang sendiri, mabuk kekuasaan, gila hormat dan pengakuan, berapologi tanpa didasari pertimbangan keilmuan dan kesetiaan, rebut bener dan berkhianat terhadap kesepakatan yang telah dibangun bersama-sama.
Nafas kita belakangan ini gelagepan. Jalinan persaudaraan yang dibangun dengan pertaruhan darah, keringat air mata, ambyar dan melukai diri kita sendiri. Tak perlu mencari apa dan siapa penyebabnya, karena hal itu justru akan menambah luka di hati semakin parah. Sebagai manusia yang memegang teguh keyakinan kodrat dan irodat, bahwa hari ini dan masa depan sesungguhnya pusaran kodrat dan irodatullah, pilihan kita hanya satu, jalani kodrat-Nya dengan penuh kesyukuran. Memanfaatkan potensi yang diberikan Allah secara maksimal, untuk digunakan sebagai bekal beribadah kepadaNya. Kembali ke basic persaudaraan jika tidak ingin semakin ambyar.
Sekadar ngleremke ati, agar nafas kita gangsar, sedikit penulis sampaikan prediksi Kang Mas KRH.H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, semasih hidup, ketika kemelut pedut menyelimuti Pedepokan SH Terate. Sepeninggal beliau, padepokan bakal dibawa kemana mana.” Saudara-saudara kita salah persepsi, dikira SH Terate bisa dibawa kemana-mana. SH Terate itu ada di mana-mana, tapi tidak akan kemana-mana. Ning ora suwe nDik. Ora suwe wis mbalik neh. Banyak saudara kita yang tercecer, bingung menentukan pilihan,’’ katanya.
Setelah diam agak lama, beliau melanjutkan, Persaudaraan Setia Hati Terate akan kembali menemukan kedamaiaan di tahun yang bilangan angkanya jika dijumlah ketemu angka sembilan.”Nek wis teko angka sanga, nDik. Angka tahun iku nek dijumlah sanga. SH Terate lerem,” katanya.(andi casiyem sudin)
--------------------------------------
Setelah diam agak lama, beliau melanjutkan, Persaudaraan Setia Hati Terate akan kembali menemukan kedamaiaan di tahun yang bilangan angkanya jika dijumlah ketemu angka sembilan.”Nek wis teko angka sanga, nDik. Angka tahun iku nek dijumlah sanga. SH Terate lerem,” katanya.
Prediksi ini disampaikan (alm) Kang Mas KRH.H. Tarmadji Boedi Harsono,SE, sekitar seratus hari sebelum beliau wafat.(andi casiyem sudin)
----------------
"Aja Seneng Gawe Ala Ing Liyan, Apa Alane Gawe Seneng Ing Liyan” (Jangan suka jahil terhadap orang lain, tidak ada jeleknya membahagiakan orang lain)
Nasihat berbahasa Jawa ngoko itu terpasang di salah satu dinding, di atas mimbar pasamuan Padepokan Setia Hati Terate, Jl. Merak Nambangan Kidul, Kota Madiun. Sebuah nasihat yang mudah dicerna ____karena kalimat itu sendiri memang disusun dengan kata-kata sederhana. Namun, satu hal yang patut dipertanyakan pada diri kita, bisakah dengan mudah kita melakukannya?
Kata-kata bijak tersebut diviralkan Kang Mas KRH. H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, sebagai “pangeling-eling”. Paling tidak untuk dijadikan bahan renungan Keluarga Besar Persaudaraan Setia Hati Terate, agar tidak sesat jalan. Mas Madji menengarai, degradasi kesantunan di ranah komunikasi antar warga, mulai tek terkendali. Pemicunya, kekhilafan meredam gejolak nafsu dari dalam diri kita sendiri. Gajolak yang menuntut pemenuhan-pemenuhan atas kemauan dan kehendak, sebagai dampak globalisasi, di tengah persaingan era milaneal. Persaingan yang memicu polemik, konflik, dilema, membuahkan risiko-risiko dan ketidakpastian. Tidak jarang, kerasnya persaingan itu, bahkan, berdampak pada pergeseran nilai. Dari nilai-nilai kesatunan pranatan ragawi, hingga menyentuh kisi-kisi kesentosaan rokhani.
Tingginya tingkat persaingan itu benar-benar terasa, bahkan telah merambah hampir ke setiap lini kehidupan. Dari lini ekonomi, sosial, politik , budaya, bahkan belakangan ini, persaingan yang memicu pergesekan nilai nilai normatif itu sudah menyentuh kisi martabat kemanusiaan, menyentuh ajaran yang semula dijaga dan dilestarikan, sebagai bagian dari kesepakatan antar individu yang telah meleburkan diri ke dalam sebuah konsepsi jalinan cinta kasih sejati, berlebel “persaudaraan”.
Kehadiran teknologi komunikasi berbasis “dioda”, di satu sisi sangat membantu mempercepat komunikasi dan mendekatkan jarak antar individu yang semula terpisahkan ruang waktu. Terpisahkan oleh jarak antar kota, provinsi, bahkan pulau dan benua. Hanya dengan memanfaatkan hand phone (HP), kita bisa berkomunikasi dengan kerabat, sahabat, mitra kerja, kolega, kapan pun, di mana pun, dan dalam tenggang waktu relatif singkat. Bumi laksana berada dalam genggaman tangan. Sementara itu, kehadiran media sosial (medsos), searah dengan perkembangan kecanggihan teknologi komunikasi, menjadikan mata rantai jalinan komunikasi itu, tidak hanya semakin cepat, praktis, ekonimis, akan tetapi juga semakin tak berbatas.
Generasi meleneal telah lahir, sebagai buah perkawinan inovasi teknologi telekomunikasi dan keniscayaan dunia maya. Dunia yang pada awalnya hanya sebagai mimpi dan angan-angan. Mereka telah mewujudkannya, bahkan melampaui batas ruang dan waktu. Sayangnya, kehadiran mereka tak dibarengi kesiapan mental untuk menerimanya, sehingga kita tampak begitu gagap. Buah inovasi teknologi itu, terbukti telah menggiring kita keluar dari batasan nilai nilai normatif keluhuran budi. Kebebasan meleneal yang terkemas dalam kosep kebebasan medsos, telah bertajali menjadi pedang bermata dua, dan salah satunya menusuk jiwa kita sendiri, melukai eksistensi ajaran budi luhur yang terformat dalam jalinan persaudaraan kekal abadi. Yakni, konsepsi persaudaraan yang tulus, lahir dari kesucian hati. Saling sayang menyayangi, cinta mencintai, hormat menghormati dan saling bertanggung jawab. Persaudaraan yang tidak lagi memandang siapa aku dan siapa kamu, tidak dibatasi hegomoni keduniawian, seperti derajat pangkat dan martabat. Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. “Jiniwit katut, mulya siji mulya kabeh (yaji yabeh), mati siji mati kabeh (tiji tibeh)”.
Fanomena jungkir balik kini terpampang di depan mata. Pranatan kesantunan dalam hubungan sosial tercerabut dari akar budaya dan komunitas. Larut dalam kebebasan komunikasi dan globalisasi yang cenderung kebablasan. Di medsos, sebagai contoh, banyak dijumpai ungkapan-ungkapan yang kerap kali menyinggung harkat dan martabat kemanusiaan. Netizen (istilah yang digunakan untuk menyebut pengguna medsos di dunia maya), banyak yang sudah tidak mempedulikan nilai kesantunan dan susila. Semua seakan hendak ikut bicara, sekalipun tanpa dasar (omong tanpa waton). Media sosial yang diharap menjadi ajang mempererat tali persaudaraan, justru menjadi bumerang, karena telah dijadikan ajang fitnah, saling menghujat, rebut bener. Bahkan, tidak jarang dijumpai, sumpah serapah. Cukup memprihatinkan, karena sumpah serapah itu dilontarkan oleh kawula muda kepada orang tua, yang mestinya harus dihargai dan dihormati.
Padahal, kesantunan dalam komunikasi masyarakat Indonesia, khususnya pranatan masyarakat Jawa (Wong Jawa), sejak dahulu kala telah tertata dan terformat dalam alur tradisi adidulung, mengedepankan norma kesantunan, susila dan keluhuran budi. Yang muda sangat menghargai orang tua. Sebaliknya, orang yang merasa tua juga memposisikan diri sebagai pengayom, tempat di mana orang muda bisa mencurahkan hati untuk mendapatkan embun penyejuk jiwa. Hingga, dampak dari komunikasi timbal balik itu dirasa cukup positif, karena di dalamnya terkandung nilai nilai penghargaan martabat kemanusiaan.
Sebut sebagai misal, nasihat yang menghimbau agar orang jangan ceplas ceplos, asal bicara, tapi bicaralah penuh arti dan berdasar (aja waton ngomong, ning ngomong kang nganggo waton). Pun sebuah himbauan agar orang lebih mengedepankan kerja dan karya daripada kepentingan pribadi (sepi ing pamrih, rame ing gawe), atau nasihat agar kita pandai memposisikan diri dan tidak merasa serba bisa (aja rumangsa bisa, nanging sing bisa rumangsa),, atau sindiran dalam pepatah berbahasa Indonesia, yang merujuk pada kedangkalan ilmu seseorang yang banyak bicara, seperti “tong kosong berbunyi nyaring” serta “air beriak tanda tak dalam”. Sampai kemudian, ajaran yang merujuk pada tahapan tenggang waktu kapan seseorang boleh bicara dan kapan seseorang harus banyak mendengar (belajar).
Tahapan-tahapan ini erat kaitannya dengan proses kehidupan manusia dari sejak ia dilahirkan, hingga ajal. Kajian sosio cultural, terdapat empat tahapan kehidupan manusia. Yaitu, bayi bajang (sejak ia dilahirkan hingga masa kanak kanak, usia 1 – 7 tahun), nayarana (masa muda, pemuda, masa pencarian jatidiri atau masa transisi, usia 8 – 16 tahun), satria (masa dewasa, usia 17 - 25 tahun), satria pinandita (masa dewasa yang diwarnai tingkat kesadaran dan dedikasi, usia 26 – 60 tahun), pinandita (masa tua, usia 61 – ajal).
Untuk menambah wawasan, penulis hadirkan disini beberapa istilah Jawa yang terkait dengan keberadaan kstaria. Satria Kinunjara Murwa Kuncara, artinya seorang pemimpin yang acap kali masuk penjara (kinunjara), namun kapasitas, kapabilitas, kepribadian serta pamornya terkenal ke seantero dunia (murwa kuncara).Satria Mukti Wibawa Kesandung Kesampar, yakni pemimpin yang berlimpah kemuliaan duniawi, kaya raya (mukti), amat dihormati dan bahkan ditakuti oleh rakyat (wibawa), tetapi sayangnya pada masa-masa akhir kekuasaannya menjadi obyek caci-maki dan kutukan, bahkan hingga hari tua dan setelah kematiannya (kesandung kesampar).Satria Jinumput Sumela Atur, pemimpin yang memegang kendali kekuasaan karena ‘dipungut’ (jinumput), atau katakanlah tidak disengaja, dan selain itu ia memerintah pada masa transisi, menyela-selai (sumela atur). Satria Lelana Tapa Ngrame. Maksud dari lelana, bahwa ia adalah pemimpin yang gemar bepergian . Satria Piningit Hamong Tuwuh. Kata piningit berarti muncul secara tiba-tiba tanpa diduga sebelumnya. Satria Boyong Pambukaning Gapura. Kata boyong mengandung arti pindah tempat (posisi), dan hal ini mungkin dimaknai pindah atau berganti karir politik.
Secara simbolik, tahapan kehidupan manusia itu juga dikemas ke dalam bahasa isyarat dan divisualisasikan lewat keindahan seni (gending dan lagu), sarat pitutur luhur (nasihat bijaksana). Misalnya, maskumambang (tahapan kehidupan di alam roh, ketika manusia masih berupa roh dan terapung apung – kumambang – di alam azali sebelum menjadi janin dalam kandungan), setelah itu masuk ke tahapan mijil inya keluar dari alam roh dan masuk ke kandungan ibunda menjadi sosok bayi), kemudian masuk ke tahap sinom (masa perkembangan). Tahapan kehidupan berikutnya adalah kinanti, masa transisi dan pencarian jatidiri, kemudian asmarandana (masa yang penuh dinamika diwarnai cinta kasih dan romantisme dalam pencarian untuk mendapat teman hidup), setelah itu masuk ke tahapan gambuh, yakni (penyatuan visi dan misi dalam penyatuan ikatan pernikahan yang suci). Tahap berikutnya adalah dandanggula ( tahapan masa yang penuh semangat untuk meraih kesuksesan hidup -- dandang, piranti untuk masak nasi berbahan baku tembaga, diiringi dengan pemenuhan kebutuhan rokhani yang diibaratkan dengan gula, rasa manis).
Dalam tahapan berikutnya, masa masa penuh dinamika, kreativitas dan penyatuan visi misi untuk mengejar pemenuhan kebutuhan ragawi itu, harus mulai ditinggal, berganti masuk pada tahapan durma (tahap dimana manusia mencapai puncak kesadaran hidup tertinggi dan dituntut untuk berdharma bhakti kepada sesama).
Sukses melewati tahapan durma, manusia masuk ke tahapan pangkur. Dalam tahapan ini manusia harus banyak menyepi (pangkur, artinya menghindar atau tapa brata, mulai meninggalkan hegomoni keduniawian), hingga menemukan makna hidup dan kehidupan, sebelum akhirnya harus menemui ajal (megatruh : megat, artinya pisah dengan ruh ), menyatu dengan Sang Pencipta diawali dengan proses menjadi mayat (pucung), untuk kemudian berakhir ke wirang rong, dikebumikan di liang lahat, alam kubur. Dalam konsepsi ajaran Jawa, yang kemudian banyak diadopsi menjadi ajaran Setia Hati, seseorang baru diperbolehkan bicara (mengajar, dalam hal ini mengajarkan ilmu batiniyah), jika sudah melewati tahapan satria dan masuk ke tahapan satria penandita. Atau jika mengacu pada nasihat simbolik yang dikemas oleh para leluhur, sudah masuk ke masa durma. Sebelum masuk ke tahap itu, sebaiknya ia harus banyak mendengar (belajar).
Mengambil referensi dari tahapan hidup manusia menurut filsafat Jawa ini, ketika duduk sebagai Katua Majelis Luhur, Mas Madji, mengadopsinya ke dalam jenjang pendidikan di SH Terate, dengan gelar atau sebutan. Yakni, siswa (seorang yang masih menjalani latihan), satria (warga yang baru disyahkan hingga usia pengesahan 5 tahun), satriatama (warga dengan usia pengesahan 6 tahun – 15 tahun), wiraanom (warga yang baru disyahkan menjadi Tingkat II – hingga 5 tahun), wirayuda (warga TK II dengan usia pengesahan TK II 6 – 10 tahun), wiratama (warga TK II dengan usia pengesahan TK II 11-15 tahun), dan terakhir adalah hajar (warga tingkat III).
Pemberian gelar ini, selain bertujuan untuk memberi penghargaaan kepada warga, juga sebagai sarana mempertajam nilai tata krama dan unggah ungguh (hubungan komunikasi) dalam jalinan persaudaraan di SH Terate. Tata krama adalah istilah yang bersinonim dengan sopan santun, dan peradaban. Berasal dari bahasa Jawa, tata berarti aturan dan krama (kromo) berarti baik. Sebab, beliau melihat alur tata karma dan unggah ungguh dalam jalinan Persaudaraan SH Terate mulai mengikis, tergerus tingginya tingkat persaingan era globalisasi, di samping semakin banyaknya jumlah warga searah dengan perluasan dan perkembangan SH Terate. Proses pemberian sebutan atau gelar kepada warga diatur dalam juklak (petunjuk dan pelaksanaan) khusus.
Mas Madji merupakan siswa Kang Mas RM Imam Koesoepangat. Mas Imam (panggilan RM Imam Koesoepangat), seorang yang memegang teguh tata krama. Puluhan tahun Mas Madji dididik Mas Imam, dan selama itu pula beliau selalu menekankan tata krama dan unggah ungguh dalam pergaulan antar warga SH Terate. Contoh, tradisi berbicara antara orang yang lebih muda dengan orang tua, harus memakai krama inggil (bahasa yang halus), tidak boleh ngoko (bahasa kasar). Bahkan, Mas Imam menyarankan agar tidak mengkritik orang tua. Alasannya, selain untuk menjaga harmonisasi hubungan, dikhawatirkan kritik itu justru akan menyinggung perasaan orang yang lebih tua. Lalu siapa yang berhak mengkritik orang yang usianya lebih tua? Kata Mas Imam, biarlah orang yang usianya tua dikritik orang yang berusia lebih tua lagi, sesepuh atau guru. Terus, siapa yang bisa mengkritik sesepuh dan guru? Jawabnya, hati nurani mereka sendiri, atau biarlah Allah, Tuhan Yang Maha Esa yang memberi kritik atau peringatan kepada mereka. Beliau mendasari nasihatnya itu dengan telaah ajaran budi luhur. Yakni, wong tua iku mandi dongane, omongane wong tua iku padha karo donga (sesepuh itu doanya terkabul dan omongan sesepuh itu sama dengan doa). Sesepuh dalam konteks ini adalah orang sepuh dalam usia, dan sudah matang, baik psikologi maupun keilmuannya. Bukan sekadar sepuh dalam usia.
Kembali pada abrasi kesantunan dalam pergaulan yang terjadi dewasa ini, patut disepakati, fenomena ini bukan lagi harus dipertanyakan siapa yang salah dan siapa yang harus bertanggung jawab. Meski, masalah moralitas ini memang cukup menyita perhatian, waktu, tanaga dan fikiran. Tidak jarang cukup menyakitkan hati. Akan tetapi, kondisi ini merupakan fenomena yang harus dihadapi. Sebab, ajaran Setia Hati selalu menempatkan kendala, persoalan atau masalah sebagai sebuah tantangan yang harus dicarikan jalan keluar (solusi), bukan menjadikannya sebagai rintangan. Kita tidak boleh melarikan diri dari fenomena melenial ini. Tugas kita justru menghadapinya sambil memformat langkah antisipasi serta mencari solusi terbaik.
Masalah adalah kekasih manusia yang paling setia.Manusia berbudi luhur selalu menjadikan masalah sebagai tantangan yang harus dihadapi, bukan menjadikan masalah sebagai rintangan.Yang menjadikan kita tetap optimis adalah, sepanjang manusia masih hidup, berarti masih berada dalam lingkup proses untuk menjadi. Tetap terbuka peluang untuk membentuk sekaligus merubah diri kearah lebih baik. Terpenting adalah, keikhlasan niat untuk berdharma, hingga bermuara pada kinerja yang bermanfaat bagi sesama. Ilmu iku linambaran laku, lan laku bakal bisa tinemu yen to linambaran ilmu (Syarat mencari ilmu itu harus dengan laku atau bekal, dan laku akan terwujud jika didasari oleh ilmu). Pertanyaan paling arif yang perlu dimunculkan adalah, laku apa yang harus dilaksanakan agar kita termasuk dalam kategori orang-orang yang mampu menempatkan diri di tengah kehidupan yang kini tengah diwarnai fenomena multidimensi ini?
“Back to basic,” jawab Mas Madji saat penulis menanyakan perihal ini.Yakni, kembali ke konsep persaudaraan. Alasannya, ruh organisasi yang kita cintai ini adalah persaudaraan kekal abadi, persaudaraan yang lahir dari hati sanubari, tidak memandang siapa aku dan siapa kamu, tidak memandang asal suku, agama, ras dan antargolongan, terlepas hegemoni kedunawian, berdiri sama tinggi duduk sama rendah, persaudaraan yang didasari rasa ketulusan, kasih, saling sayang menyayangi, cinta mencintai, dan bertanggung jawab.
Persaudaraan itu pula yang dijadikan ruh SH Terate sejak berdiri tahun 1922, di era paguron yang langsung dipandegani sang pendiri, Ki Hadjar Hardjo Oetomo, lanjut ke era demokratisasi yang dimotori Kang Mas Soetomo Mangkoedjoyo dan Kang Mas Santoso, Kang Mas Darsono, era tahun 1948, lanjut lagi ke era Kang Mas Irsyad, Kang Mas Badini dan Kang Mas Imam Koesoepangat, hingga Kang Mas Tarmadji. Para tokoh yang berjasa besar dalam mendirikan dan mengembangkan Persaudaraan Setia Hati Terate itu, sepakat, menjadikan persaudaraan sebagai nafas organisasi. Bukan mengedepankan organisasi sebagai motor penggerak aktivitas antar anggota dan warga. Apalagi dijadikan tunggangan demi mencapai kepentingan duniawi.
Karena dibentuknya organisasi Persaudaraan Setia Hati Terate, lanjut beliau, sejatinya hanya sekadar syarat bentuk lahir, yang berfungsi sebagai media silaturahmi antar saudara Setia Hati dan media pemancar citra dan cita.”Sekadar syarat bentuk lahir maka disusunlah Organisasi dalam rangka Persaudaran SH Terate sebagai ajang ikatan antara saudara Setia Hati (SH) dan lembaga yang bergawai sebagai pembawa dan pemancar cita - Mukadimah SH Terate). Organisasi sejatinya sekadar wadah. Bukan tujuan akhir. Ruhnya adalah, sekali lagi, persaudaraan. Baik dalam arti spesifik, eksklusif maupun luas. “Platform SH Terate dan tujuan serta misi SH Terate sejak didirikan, yakni, mengumandangkan persaudaraan. Langkahnya adalah mendidik, menciptakan manusia berbudi luhur. Ilmunya mengenal diri sendiri sebaik-baiknya.
Dasar persaudaraan di SH Terate saya ulang lagi, menekankan pada kita bahwa manusia hidup itu pada dasarnya sama. Berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Didikan di SH Terate juga begitu. Senamnya sama, jurusnya sama, pasangannya sama. Sambungnya ya sambung persaudaraan. Gak emosi. Tidak ngumbar nafsu.
Sejak didirikan SH Terate ini mengemban persaudaraan, yang berlatar pencak silat. Ilmunya mengenal diri sendiri. Pencaknya menganut aliran Setia Hati (SH). Organisasinya paseduluran dengan lambang bunga terate, “ujar Mas Madji.
Persaudaraan dalam arti spesifik, eksklusif terjalin antar anggota. Sedangkan dalam arti yang luas adalah persaudaraan yang terjalin antar sesama manusia di muka bumi ini.Tujuan akhirnya “mamayu hayuning bawana” (ikut aktif menjaga keamanan, keselamatan dan kedamaian demi kelestarian kehidupan dunia), untuk mencapai kebahagiaan abadi lepas dari ruang dan suasana. Bukan kebahagiaan sementara yang sesungguhnya semu dan penuh kepalsuan.”Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam tanamannya mengagumkan petani, kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridloanNya. Dan kehidupan di dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.(QS: 57 – 20).
Kang Mas Drs. H. Marwoto (alm), ketua Dewan Pusat Persaudaraan SH Terate di era kepemimpinan Mas Madji, pernah menjabarkan arti persaudaraan dalam kajian bahasa. Kepada penulis, ahli bahasa yang mengajar di UNS, Surakarta itu mengatakan, kata “persaudaraan” termasuk kata kerja aktif. Akar katanya, “sa” dan “udara”, mendapat awalan “per” dan akhiran “an”. Kata “saudara” merupakan kata sambung,"sa-udara”, luluh menjadi “saudara.”
Awalan “per”, bermakna sebuah pengharapan, aktivitas yang memiliki tujuan. Akhiran “an” dalam kata ini bisa diartikan absurd, abstrak atau tidak nyata dengan cakupan luas. Sedangkan akar kata “sa” berarti satu. Arti kata “udara” adalah sumber nafas, atau bisa diartikan pula sebagai kandungan, gua garba. Kadua kata sambung ini luluh menyatu jadi “saudara”, berarti rasanya luluh menyatu bersenyawa menjadi satu nafas atau satu kandungan.
Dari rincian tersebut, kata persaudaraan mengandung arti aktivitas pengharapan yang absurd, abstrak, tapi memiliki tujuan dengan cakupan luas, berasal dari satu nafas atau kandungan. Jika diperluas lagi, kata persaudaraan bisa artikan sebagai jalinan aktivitas pengharapan yang terjadi antar individu yang memiliki tujuan sama, sebagaimana jalinan rasa yang lahir dari satu nafas dan satu kandungan. Persaudaraan mempunyai nilai absurd, abstrak, karena bukan berupa materi, akan tetapi rasa, psikologi, jiwa. Sekalian pun abstrak, bukan berarti tidak bisa dijangkau dan diwujudkan. Persaudaraan bisa dijangkau dan dirasakan, karena berwujud aktivitas. Apalagi, bermuatan tujuan sama dan dilakukan oleh banyak orang secara bersama sama. Yaitu, orang orang dengan daya penguat satu rasa, sebagaimana rasa yang ditimbulkan oleh satu nafas dan kandungan.
Lebih ditekankan lagi oleh Kang Mas Tarmadji, karena jalinan rasa itu lahir dari satu nafas, maka harus serasa, sama rata sama rasa. Sebagaimana rasa persaudaraan antara saudara sekandung. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, nilai kualitas jalinan rasa tersebut bisa jauh di atasnya. Lebih jelasnya, sekalipun persaudaraan dalam Setia Hati Terate melibatkan banyak anggota dengan latar belakang heterogen, akan tetapi semuanya harus melepas baju dan atribut masing-masing, lebur ke dalam konsep jalinan persaudaraan dengan misi satu, yaitu persaudaraan penuh kasih, cinta mencintai, sayang menyayangi, dan terlepas dari ruang waktu, kekal abadi.
Jalinan persaudaraan akan lestari dan mengakar, jika masing-masing anggota sadar diri, hormat-menghormati, harga-menghargai, hamat-menghamati dan saling bertanggung jawab. Sebaliknya, jalinan persaudaraan akan menjadi ambyar jika masing masing anggota mengedepankan kepentingan pribadi maupun kelompok, menuruti nafsu, egois, ingin menang sendiri, mabuk kekuasaan, gila hormat dan pengakuan, berapologi tanpa didasari pertimbangan keilmuan dan kesetiaan, rebut bener dan berkhianat terhadap kesepakatan yang telah dibangun bersama-sama.
Nafas kita belakangan ini gelagepan. Jalinan persaudaraan yang dibangun dengan pertaruhan darah, keringat air mata, ambyar dan melukai diri kita sendiri. Tak perlu mencari apa dan siapa penyebabnya, karena hal itu justru akan menambah luka di hati semakin parah. Sebagai manusia yang memegang teguh keyakinan kodrat dan irodat, bahwa hari ini dan masa depan sesungguhnya pusaran kodrat dan irodatullah, pilihan kita hanya satu, jalani kodrat-Nya dengan penuh kesyukuran. Memanfaatkan potensi yang diberikan Allah secara maksimal, untuk digunakan sebagai bekal beribadah kepadaNya. Kembali ke basic persaudaraan jika tidak ingin semakin ambyar.
Sekadar ngleremke ati, agar nafas kita gangsar, sedikit penulis sampaikan prediksi Kang Mas KRH.H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, semasih hidup, ketika kemelut pedut menyelimuti Pedepokan SH Terate. Sepeninggal beliau, padepokan bakal dibawa kemana mana.” Saudara-saudara kita salah persepsi, dikira SH Terate bisa dibawa kemana-mana. SH Terate itu ada di mana-mana, tapi tidak akan kemana-mana. Ning ora suwe nDik. Ora suwe wis mbalik neh. Banyak saudara kita yang tercecer, bingung menentukan pilihan,’’ katanya.
Setelah diam agak lama, beliau melanjutkan, Persaudaraan Setia Hati Terate akan kembali menemukan kedamaiaan di tahun yang bilangan angkanya jika dijumlah ketemu angka sembilan.”Nek wis teko angka sanga, nDik. Angka tahun iku nek dijumlah sanga. SH Terate lerem,” katanya.(andi casiyem sudin)
--------------------------------------
Komentar
Posting Komentar