Kesenangan di Bumi Hanya Rangka
Kesenangan di Bumi Hanya Rangka
(Telaah Mukadimah SH Terate - Bag 3)
Tulisan ini adalah lanjutan dari tafsir Mukadimah SH Terate alenia pertama. Sebelumnya telah kami coba paparkan menafsiran terhadap kalimat pertama, kedua dan ketiga dalam alenia pertama. Telaah tersbut kami turunkan dalam dua tulisan dan telah kami posting di Blog shteratecantrik.blogspot.com. Semoga tullisan ini pun bermanfaat bagi pembaca. (andi casiyem sudin)
4.Alinea pertama kalimat keempat Mukadimah SH Terate berbunyi : (4) Namun tidak setiap insan menyadari bahwa apa yang dikejar-kejar itu telah tersimpan menyelinap di lubuk hati nuraninya .
Sebelum masuk ke wilayah mukadimah, sekedar referensi dihadirkan disini devinisi hati. Hati berasal dari bahasa Arab qal-bun yang artinya jantung. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jantung adalah bagian tubuh yang menjadi pusat peredaran darah (letaknya di dalam rongga dada sebelah atas).
Menurut Imam Al-Ghazali, hati memiliki dua definisi, pertama hati fisik yaitu daging yang berbentuk seperti buah shanaubar (bentuk bundar memanjang) yang terletak di bagian kiri dada, di dalamnya terdapat rongga-rongga penyalur darah hitam dan berperanan sebagai sumber nyawa manusia. Definisi hati kedua dikonotasikan sebagai hati spiritual yaitu sesuatu yang bersifat halus (lathifah) dan bersifat ketuhanan (rabbaniyyah). Hati dalam definisi kedua ini menggambarkan hakikat diri manusia yang berfungsi untuk merasa, mengenali dan mengetahui sesuatu perkara atau ilmu. Menurutnya, hati fisik sangat berkait dengan hati spiritual.
Sedangkan akal berasal dari bahasa Arab al-‘aql yang yang artinya meningkat dan menawan. Kata al-‘aql juga sama dengan al-idrak (kesadaran), dan al-fikr (pikiran), al-hijr (penahan), al-imsak (penahanan), al-ribat (ikatan), al-man’u (pencegah), dan al-nahyu (larangan). Akal merupakan salah satu substansi imaterial yang menunjuk esensi manusia. Akal adalah sesuatu yang halus yang merupakan hakikat manusia, sama dengan al-qalb, al-nafs, dan al-ruh, yang berbeda hanya namanya saja, bahkan akal adalah entitas jiwa yang terlibat dengan inteligensia.
Akal maupun hati adalah satu entitas yang sama namun kedua istilah ini mempunyai karakteristik berbeda. Hati menerima kebenaran spiritual, sedangkan akal terbatas dalam urusan inteligensia. Akal hanya berurusan dalam persoalan rasional-empiris, hati lebih menekankan pada sisi rasional-emosional-spiritual. Selanjutnya, kemampuan hati dalam menjangkau alam metafisik selalu didukung oleh pengetahuan akal, namun pengetahuan ini tidaklah cukup menghindarkan hati dari kesalahan kecuali dengan menerima pengetahuan agama melalui ajaran para nabi.
Kelebihan hati atas akal adalah bahwa hati mampu melihat segala hakikat kebenaran tanpa batas. Akal hanya bisa menangkap pengetahuan secara terbatas, yaitu pengetahuan yang hanya bersifat rasional dan empiris melalui indra dan daya nalar. Kemampuan yang tidak terbatas itu diperoleh dengan intuisi. Namun kemampuan hati ini sering terhalang kotoran yang mengendap di hati, sehingga menghalanginya untuk menangkap realitas kebenaran.
Pada umumnya manusia tenggelam arus keduniawian, kesenangan, kebahagiaan, ketentraman yang dicari dan dikejar dengan bahtera kebendaan sebagai syarat mutlaknya, akhirnya ialah kesusahan, penderitaan dan kegelisahan yang didapat, sehingga makin jauh dari apa yang dituju, Karena sebenarnya kesenangan, kebahagiaan, ketentraman itu adalah rangka, dan suasana yang melingkunginya. Hanya hidup yang serasi dengan tempat, rangka dan suasanalah yang dapat menikmati hakekat hidup. Demikian Kang Mas Soetomo Mangkoedjojo dan Kang Mas Darsono memberi penjelasan pada kalimat ini.
Padahal, lanjut beliau, satu satunya seni dari hidup ialah menempatkan/menyesuaikan diri pribadi dengan tempat rangka dan suasana dimana dan kapan hidup itu berlangsung. Ibarat hidup itu suatu AS, harus bertempat tepat di tengah tengah roda di dalam roda bos, disana bos dan ruji sebagai rangkanya yang melunghubungkan kelingkaran luar pelk dan ban bagaikan suasana. Dalam keadaan yang harmonis demikian Sang Hidup (AS) dapat puas menikmati darmanya sebagai pusat dari segala energi hidup dengan segala kenikmatannya.
Ini memang bukan pepatah gajah di pelupuk mata yang tidak tampak. Tapi lebih dari sekadar pepatah. Persaoalan mendasar, barangkali, karena yang mampu melihat fenomena ini adalah mata batin, bukan mata lahir. “Maka apakah mereka tidak berjalan di buka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena seungguhnya bukanlah mata lahiriyah yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada.(QS:al-Hajj (22)-46).
Mata hati yang di dalam dada, sesungguhnya mempunyai daya pandang yang jauh melebihi mata di kepala. Mata hati bisa melihat hal-hal yang ghaib, cahaya kebenaran, pemahaman dan kesadaran. Akan tetapi karena terhalang oleh hijab, kemampuan tersebut sirna. Yang terjadi kemudian adalah kegelapan dan kesuraman. Penyebab utamanya, karena mata hati atau mata batin kita telah dihinggapi penyakit hati. Antara lain, cinta dunia, sombong, dengki, iri, suka menggunjing, dan khianat baik berupa khianat mata, tangan, kaki maupun telinga. “Kedua mata dapat berzina dan kedua telinga dapat berzina (HR.Ahmad).”
Penyebab lain terhijabnya mata batin adalah, karena masuknya makanan dan minuman haram dan subhat (tidak jelas asal usulnya). Karena, menurut Sabda Rasulullah, hati itu dibina dengan apa yang kita makan. Hati tak lebih dari segumpal daging yang mengandung sel-sel darah merah dan zat besi.Sel-sel darah merah dan zat-zat tersebut terbentuk dari sari makanan yang kita komsumsi. Jika makanan yang masuk ke dalam perut dan diproses menjadi nutrisi dan energi serta zat zat lain yang dialirkan darah masuk ke hati itu sari makanan dan minuman yang bersih (halal menurut syariat), maka hati pun akan menjadi bersih. Sebaliknya, jika sari makanan yang masuk ke hati tercampur unsur haram dan subhat, maka hati akan menjadi suram bahkan kotor. Ibarat cermin kaca, hati yang bersih dengan mudah ia akan bisa menerima cahaya dan memantulkannya. Jika yang datang adalah cahaya hidayah dan cinta kasih, maka hati yang bersih akan dengan mudah memantulkan cahaya hidayah dan cinta kasih kepada sesama. Sebaliknya, hati yang suram dan kotor, akan sulit menerima cahaya dan memantulkannya. Jangankan memantulkan cahaya cinta kasih dan hidayah untuk orang lain, memantulkan cahaya kedamaian, kenteraman dan kebahagiaan pada diri sendiri saja tak mampu. Yang muncul kemudian adalah kegelisahan, rindu ketenaran dan mabuk pujian serta penyakit hati yang lain.
Tak kalah pentingnya adalah, pengaruh yang terekam di hati sebagai dampak dari pandangan dan pendengaran yang haram. Mata dan telinga adalah pintu masuk ruang hati. Apa saja yang tertangkap pandangan mata dan pendengaran telinga akan terekam tidak hanya pada memori otak di kepala, tapi juga terekam di hati. Sebab hati juga punya mata dan telinga. Jika mata sering melihat hal- hal yang keji dan haram, telinga sering mendengar caci maki dan sumpah serapah, maka memori di dalam hati kita pun menjadi gelap pekat. Praktis sama dengan tirai kegelapan yang ditimbulkan pengaruh makanan haram.Ia akan menjadi tabir penutup cahaya hati.
Sayangnya, hanya sedikit sekali manusia sadar menjaga kesucian hati. Mayoritas khilaf, bahwa sesungguhnya inti kebahagiaan itu ada dalam dada, ada di dalam dirinya sendiri. Dampaknya, begitu dihadapkan pada persoalan keduniawian, padahal cuma sedikit dan tidak begitu prinsip, kita sudah kalang kabut. Berlari dari realitas haq, mencari kebahagiaan semu di luar, mencari kambing hitam, lebih memprihatinkan lagi, dan ini kenyataan yang sedang kita hadapi dalam kekinian, dengan mudah kita mengumbar aib sendiri, mengekspose dalam sebuah status di media sosial (medsos). Wajah asli globalisasi telah menunjukkan taringnya. Sebagai kesatria penjaga hayuning bawana, kita telat bertriwikrama. Dampaknya, taring globalisasi mencabik cabik diri kita. (andicasiyem sudin - bersambung)
(Telaah Mukadimah SH Terate - Bag 3)
Tulisan ini adalah lanjutan dari tafsir Mukadimah SH Terate alenia pertama. Sebelumnya telah kami coba paparkan menafsiran terhadap kalimat pertama, kedua dan ketiga dalam alenia pertama. Telaah tersbut kami turunkan dalam dua tulisan dan telah kami posting di Blog shteratecantrik.blogspot.com. Semoga tullisan ini pun bermanfaat bagi pembaca. (andi casiyem sudin)
4.Alinea pertama kalimat keempat Mukadimah SH Terate berbunyi : (4) Namun tidak setiap insan menyadari bahwa apa yang dikejar-kejar itu telah tersimpan menyelinap di lubuk hati nuraninya .
Sebelum masuk ke wilayah mukadimah, sekedar referensi dihadirkan disini devinisi hati. Hati berasal dari bahasa Arab qal-bun yang artinya jantung. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jantung adalah bagian tubuh yang menjadi pusat peredaran darah (letaknya di dalam rongga dada sebelah atas).
Menurut Imam Al-Ghazali, hati memiliki dua definisi, pertama hati fisik yaitu daging yang berbentuk seperti buah shanaubar (bentuk bundar memanjang) yang terletak di bagian kiri dada, di dalamnya terdapat rongga-rongga penyalur darah hitam dan berperanan sebagai sumber nyawa manusia. Definisi hati kedua dikonotasikan sebagai hati spiritual yaitu sesuatu yang bersifat halus (lathifah) dan bersifat ketuhanan (rabbaniyyah). Hati dalam definisi kedua ini menggambarkan hakikat diri manusia yang berfungsi untuk merasa, mengenali dan mengetahui sesuatu perkara atau ilmu. Menurutnya, hati fisik sangat berkait dengan hati spiritual.
Sedangkan akal berasal dari bahasa Arab al-‘aql yang yang artinya meningkat dan menawan. Kata al-‘aql juga sama dengan al-idrak (kesadaran), dan al-fikr (pikiran), al-hijr (penahan), al-imsak (penahanan), al-ribat (ikatan), al-man’u (pencegah), dan al-nahyu (larangan). Akal merupakan salah satu substansi imaterial yang menunjuk esensi manusia. Akal adalah sesuatu yang halus yang merupakan hakikat manusia, sama dengan al-qalb, al-nafs, dan al-ruh, yang berbeda hanya namanya saja, bahkan akal adalah entitas jiwa yang terlibat dengan inteligensia.
Akal maupun hati adalah satu entitas yang sama namun kedua istilah ini mempunyai karakteristik berbeda. Hati menerima kebenaran spiritual, sedangkan akal terbatas dalam urusan inteligensia. Akal hanya berurusan dalam persoalan rasional-empiris, hati lebih menekankan pada sisi rasional-emosional-spiritual. Selanjutnya, kemampuan hati dalam menjangkau alam metafisik selalu didukung oleh pengetahuan akal, namun pengetahuan ini tidaklah cukup menghindarkan hati dari kesalahan kecuali dengan menerima pengetahuan agama melalui ajaran para nabi.
Kelebihan hati atas akal adalah bahwa hati mampu melihat segala hakikat kebenaran tanpa batas. Akal hanya bisa menangkap pengetahuan secara terbatas, yaitu pengetahuan yang hanya bersifat rasional dan empiris melalui indra dan daya nalar. Kemampuan yang tidak terbatas itu diperoleh dengan intuisi. Namun kemampuan hati ini sering terhalang kotoran yang mengendap di hati, sehingga menghalanginya untuk menangkap realitas kebenaran.
Pada umumnya manusia tenggelam arus keduniawian, kesenangan, kebahagiaan, ketentraman yang dicari dan dikejar dengan bahtera kebendaan sebagai syarat mutlaknya, akhirnya ialah kesusahan, penderitaan dan kegelisahan yang didapat, sehingga makin jauh dari apa yang dituju, Karena sebenarnya kesenangan, kebahagiaan, ketentraman itu adalah rangka, dan suasana yang melingkunginya. Hanya hidup yang serasi dengan tempat, rangka dan suasanalah yang dapat menikmati hakekat hidup. Demikian Kang Mas Soetomo Mangkoedjojo dan Kang Mas Darsono memberi penjelasan pada kalimat ini.
Padahal, lanjut beliau, satu satunya seni dari hidup ialah menempatkan/menyesuaikan diri pribadi dengan tempat rangka dan suasana dimana dan kapan hidup itu berlangsung. Ibarat hidup itu suatu AS, harus bertempat tepat di tengah tengah roda di dalam roda bos, disana bos dan ruji sebagai rangkanya yang melunghubungkan kelingkaran luar pelk dan ban bagaikan suasana. Dalam keadaan yang harmonis demikian Sang Hidup (AS) dapat puas menikmati darmanya sebagai pusat dari segala energi hidup dengan segala kenikmatannya.
Ini memang bukan pepatah gajah di pelupuk mata yang tidak tampak. Tapi lebih dari sekadar pepatah. Persaoalan mendasar, barangkali, karena yang mampu melihat fenomena ini adalah mata batin, bukan mata lahir. “Maka apakah mereka tidak berjalan di buka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena seungguhnya bukanlah mata lahiriyah yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada.(QS:al-Hajj (22)-46).
Mata hati yang di dalam dada, sesungguhnya mempunyai daya pandang yang jauh melebihi mata di kepala. Mata hati bisa melihat hal-hal yang ghaib, cahaya kebenaran, pemahaman dan kesadaran. Akan tetapi karena terhalang oleh hijab, kemampuan tersebut sirna. Yang terjadi kemudian adalah kegelapan dan kesuraman. Penyebab utamanya, karena mata hati atau mata batin kita telah dihinggapi penyakit hati. Antara lain, cinta dunia, sombong, dengki, iri, suka menggunjing, dan khianat baik berupa khianat mata, tangan, kaki maupun telinga. “Kedua mata dapat berzina dan kedua telinga dapat berzina (HR.Ahmad).”
Penyebab lain terhijabnya mata batin adalah, karena masuknya makanan dan minuman haram dan subhat (tidak jelas asal usulnya). Karena, menurut Sabda Rasulullah, hati itu dibina dengan apa yang kita makan. Hati tak lebih dari segumpal daging yang mengandung sel-sel darah merah dan zat besi.Sel-sel darah merah dan zat-zat tersebut terbentuk dari sari makanan yang kita komsumsi. Jika makanan yang masuk ke dalam perut dan diproses menjadi nutrisi dan energi serta zat zat lain yang dialirkan darah masuk ke hati itu sari makanan dan minuman yang bersih (halal menurut syariat), maka hati pun akan menjadi bersih. Sebaliknya, jika sari makanan yang masuk ke hati tercampur unsur haram dan subhat, maka hati akan menjadi suram bahkan kotor. Ibarat cermin kaca, hati yang bersih dengan mudah ia akan bisa menerima cahaya dan memantulkannya. Jika yang datang adalah cahaya hidayah dan cinta kasih, maka hati yang bersih akan dengan mudah memantulkan cahaya hidayah dan cinta kasih kepada sesama. Sebaliknya, hati yang suram dan kotor, akan sulit menerima cahaya dan memantulkannya. Jangankan memantulkan cahaya cinta kasih dan hidayah untuk orang lain, memantulkan cahaya kedamaian, kenteraman dan kebahagiaan pada diri sendiri saja tak mampu. Yang muncul kemudian adalah kegelisahan, rindu ketenaran dan mabuk pujian serta penyakit hati yang lain.
Tak kalah pentingnya adalah, pengaruh yang terekam di hati sebagai dampak dari pandangan dan pendengaran yang haram. Mata dan telinga adalah pintu masuk ruang hati. Apa saja yang tertangkap pandangan mata dan pendengaran telinga akan terekam tidak hanya pada memori otak di kepala, tapi juga terekam di hati. Sebab hati juga punya mata dan telinga. Jika mata sering melihat hal- hal yang keji dan haram, telinga sering mendengar caci maki dan sumpah serapah, maka memori di dalam hati kita pun menjadi gelap pekat. Praktis sama dengan tirai kegelapan yang ditimbulkan pengaruh makanan haram.Ia akan menjadi tabir penutup cahaya hati.
Sayangnya, hanya sedikit sekali manusia sadar menjaga kesucian hati. Mayoritas khilaf, bahwa sesungguhnya inti kebahagiaan itu ada dalam dada, ada di dalam dirinya sendiri. Dampaknya, begitu dihadapkan pada persoalan keduniawian, padahal cuma sedikit dan tidak begitu prinsip, kita sudah kalang kabut. Berlari dari realitas haq, mencari kebahagiaan semu di luar, mencari kambing hitam, lebih memprihatinkan lagi, dan ini kenyataan yang sedang kita hadapi dalam kekinian, dengan mudah kita mengumbar aib sendiri, mengekspose dalam sebuah status di media sosial (medsos). Wajah asli globalisasi telah menunjukkan taringnya. Sebagai kesatria penjaga hayuning bawana, kita telat bertriwikrama. Dampaknya, taring globalisasi mencabik cabik diri kita. (andicasiyem sudin - bersambung)
Komentar
Posting Komentar