Menuju Keabadian Causa Prima

Menuju Keabadian Causa Prima

(Tafsir Mukadimah SH Terate -Bag 2)

Pada pembahasan lalu telah dipaparkan menafsiran terhadap kalimat pertama alenia pertama Mukadimah SH Terate “Bahwa sesungguhnya hakekat hidup itu berkembang menurut kodrat iramanya masing-masing menuju kesempurnaan," . Menyambung telaah atas tafsir alenia pertama tersebut, dalam bagian ini penulis mencoba memaparkan manafsiran terhadap kalimat kedua. Yakni " demikian pun kehdiupan manusia sebagai makhluk Tuhan."

(2) Alinea pertama kalimat kedua Mukadimah SH Terate berbunyi : (2) “demikianpun kehidupan manusia sebagai makhluk Tuhan”

Demikian pun kehidupan manusia sebagai makhluk Tuhan, yakni sesuatu yang diciptakan oleh Sang Pencipta (Kholik). Manusia merupakan makhluk holistik, yang tidak hanya memiliki fisik, tapi juga kompleks, seperti memiliki unsur psikologis, sosial dan juga spritual.

Sebagai makhluk psikologis, manusia punya unsur kejiwaan, seperti senang, sedih, bahagia dan lain sebagainya. Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki kemampuan dan kemauan berinteraksi dengan sesama. Sedangkan sebagai makhluk spiritual, manusia diberkahi suatu pemahaman untuk mengenal Tuhan, sebagai alat kontrol diri menghadapi krisis multidimensi.

Sebagai Maha Karya dari Tuhan, manusia menjadi lebih sempurna dengan anugerah akal padanya. Selain itu, manusia juga dilengkapi jiwa dan nafsu. Dengan prototipe jasad yang multifungsi, dilengkapi anugerah akal, jiwa dan nafsu, manusia menduduki rating tertinggi model ciptaan Tuhan di muka bumi dan langit.

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS: At Tin (95) – 4). Sedangkan tujuan penciptaan manusia, tertuang dalam (QS al-Ahzab [33]: 72). semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat dzalim dan sangat bodoh.” Amanat yang dimaksud adalah Kholifah fil Ardi, penguasa di bumi. Konsekuensinya, manusia dibebani tanggung jawab ”mamayu hayuning bawana” (menjaga keselamatan dan kelestarian bumi). Dengan amanat tersebut, manusia praktis tidak bisa berbuat semaunya sendiri. Ibnu Katsir dalam tafsirnya memaparkan, sebelum amanah Kholifah fil Ardi diberikan kepada manusia, Allah menawarkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi mereka tak bersedia. Alasan mereka, kekhawatiran tidak mampu melaksanakannya. Kemudian Allah menawarkan amanah itu kepada Adam a.s, “Wahai Adam, apakah engkau sanggup memikul amanah itu dan sanggup menjaganya dengan penjagaan yang sempurna?” tanya Allah Subhanuahu wa ta’ala. “Maka tidak ada pilihan lain bagiku kecuali sanggup menerima amanah itu.” Jawab Adam. Kemudian Allah pun berkata, “Jika engkau berbuat baik, menaati perintahku dan memelihara amanat itu maka disisiku adalah kemulian, keutamaan, balasan yang baik (surga/jannah) tetapi jika engkau berbuat maksiat, tidak engkau jaga amanat itu, dan justru engkau menodainya maka sesungguhnya Aku akan mengadzab dan menghukum kalian ke neraka.” Lalu Adam a.s menjawab, “Aku ridha dengan putusan itu.” Dialog ini terjadi sebelum penciptaan manusia, sebelum Adam dan Hawa diturunkan ke bumi.

“Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankan Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi.” Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan,” Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS: al-A’raf (7)-172).Ayat inilah yang dijadikan dasar pejalan sufi menyebutnya sebagai “Yaum Alastu” (hari perjanjian antara Ruh manusia dengan Allah, Sang Pencipta. Dalam firman lainnya Allah mempertegas tujuan penciptaan-Nya. “Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia , kecuali untuk menyembah-Ku. “(QS: Adz Dzariyat (51)-56)

Causa Prima

(1) Alinea pertama kalimat ketiga Mukadimah SH Terate berbunyi : (3) yang terutama hendak menuju keabadian kembali kepada Causa Prima, titik tolak segala sesuatu yang ada, melalui tingkat ke tingkat

Masalah Tuhan sebagai Causa Prima ini tidak semata mata hanya kepercayaan yang khusus, hanya dengan pembuktian bersifat kejiwaan saja dan yang tidak bisa dipaksakan bagi setiap orang, akan tetapi dapat difahamkan pula dengan alasan alasan pikiran dengan pembuktian yang bersifat kebendaan dan dapat diambil dalam abstractonya dan dalam realitanya.

Pembuktian yang bersifat kebendaan, demikian dalih yang dikedepankan Kang Mas Soetomo Mangkoedjojo dan Kang Mas Darsono: Sesuai abstractonya: (1) Penarikan kesimpulan dari adanya barang sesuatu tentu disebabkan oleh barang sesuatu yang lain; akhirnya tentu ada barang sesuatu (sebab pertama) yang tidak disebabkan oleh barang sesuatu yang lain.(2) Karena selalu ada perobahan pada tiap barang sesuatu, maka ada sebab pertama yang tidak berobah.(3) Berhubung dengan terbatasnya dan berakhirnya segala barang sesuatu tentu ada sebab pertama yang tidak terbatas dan tidak berakhir.(4) Karena tiap-tiap barang sesuatu pernah tidak ada dan kemudian tidak akan ada lagi, jadi tidak harus ada; maka ada sebab pertama yang harus ada.

Sesuai realitanya, antara lain yang biologis yang menyatakan bahwa berdasarkan atas adanya permulaan daripada hidup di dunia yang tidak bisa disangkal, maka ada sebab lain yang menimbulkan hidup ini.

Pembuktian yang bersifat kejiwaan: (1) Dapat dikemukaan bahwa pada tiap orang terdapat suatu hasrat kodrat untuk mencapai kebahagiaan yang sempurna yang didunia ini tidak dapat tercapai atau setidak tidaknya dengan menitikberatkan keadaan keduniawian ini tidak akan tercapai kebahagiaan yang sempurna.(2) Pada setiap orang terdapat sesuatu keinsyafan kodrat baik dan buruk dan kainsyafan kodrat akan adanya sanctie, maka pastilah ada pembikin peraturan dan menjatuhi sanctie tersebut.

Kunci keberhasilan menuju keabadian hidup itu , menurut Kang Mas KRH. H. Boedi Harsono Adinagoro,SE, sebenarnya hanya satu, yaitu kasih Allah SWT. Persoalan mendasar yang kita hadapi adalah, mampukan kita berjalan menuju kasih Allah, ketika di dalam jiwa kita masih bergelimang dosa, sok ngersulo (mengeluh), dan kikir dalam berterimakasih (kufur nikmat)?

(Dan ingatlah ketika Tuhanmu mempermaklumkan, “Sesungguhnya jka kamu bersyukur. Nicaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti adabKu sangat pedih – (QS:Ibrahim (14) – 7).

Di SH Terate tidak ada ajaran mengeluh. Tidak ada ajaran nggresulo, kata Mas Madji. Kita dididik untuk menjadi orang yang pantang menyerah. Orang Terate itu kalau bisa sing gedhe tirakate, harus banyak tirakat. Dalam hal apa saja. Gak kemrungsung (tidak galau). Tidak emosional, tidak gusar, tidak adigang adigung, adiguna. Jadi hari-hari orang-orang SH Terate itu dipenuhi tirakat, rialat dan selalu bersyukur menerima suratan Allah. Bagaimana cara orang SH Terate tirakat? (Tirakat Wong SH Terate dipaparkan dalam wawancara khusus dengan Mas Madji pada bab-bab sebelumnya).

Niatnya bagaimana? Tidak perlu macam-macam (pada kesempatan terpisah, beliau mengatakan, jika kita mau tirakat, niatnya lillah, tidak perlu bersusah payah menyiapkan apa pun yang tidak berdasarkan ilmu atau tuntunan syariah. Apalagi jika sampai mencari-cari ubarampe, sesaji dan semacamnya yang cenderung mengarah ke kesyirikan, menyebut-nyebut makhluk dari alam lain, minta bantuan pada jin dan lain sebagainya. Sedangkan penyiapan uba rampe selamatan dalam prosesi pengesahan, tujuannya untuk melestarikan tradisi, menghargai karya budaya bangsa. Tidak lebih dari itu). Niat tirakat yang paling utama itu untuk menjaring kasih Allah. Biar dikasihi Allah. Disayang Allah. Dengan begitu, kita akan merasa dekat dengan Allah. Sehingga hati ini merasa tenteram. Gelombang apapun yang dihadapi kita akan mesem gak akan gentar. Ini keniscayaan. Sebab sebesar apa pun rintangan dan tantangan yang menghadang, jika kita ikhlas menerimanya, akan bertajali dalam wujud hikmah dan hidayah. Kang Mas RM Imam Koesoepangat menyebutnya,”Sepira gedining sengsara yen tinampa amung dadi coba.

(Dalam kesempatan yang lain, Mas Madji juga mengingatkan untuk lebih berhati-hati jika kita mau melakukan tirakat. Jangan sampai niyat kita tirakat tapi malah tersesat ke jurang kesyirikan. Karena syirik adalah dosa besar yang tidak dapat diampuni. Kegiatan syirik juga sangat dekat dengan kehidupan manusia karena letaknya di dalam hati yang setiap manusia berpotensi untuk melakukanya).

Pada tataran ini, laku yang bisa dijalani adalah laku personal. Dasarnya, kembali pada konteks awal, bahwa kodrat dan irama hidup manusia itu berkembang sesuai dengan kodrat iramanya masing-masing. SH Terate, menyerahkan sepenuhnya pada keyakinan masing masing warga, sesuai dengan tuntunan syariat yang dianut.

Konsepsi ihsan, sepakatlah bisa diambil untuk mendukung pemahaman ke arah ini. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, ihsan mencakup kebaikan sesuatu secara substansi baik yang berkaitan dengan akidah, ibadah, maupun lainnya sebagaimana kebaikan seorang muslim terhadap orang lain.

Rasulullah bersabda mengenai ihsan, “Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.R. Muslim 102)

Posisi ikhsan penting sebagai perwujudan keimanan. Dasarnya, karena agama berdiri di atas pilar ihsan dan kemurahan hati. Jika keduanya tidak dipraktikkan, maka seseorang belum bisa dikatakan beragama secara kafah. “Orang beriman yang paling utama adalah mereka yang paling baik akhlaknya.” (HR Ibnu Majah dan At-Thabarani)

Imam Ghazali dalam Ihya-Umuluddin, memberikan tipe agar seorang salik (pejalan makrifat) bisa mencapai maqam kedekatan dengan Tuhan, antara lain dengan bersuci (thaharah). Menurutnya, terdapat empat tingkat thaharah. Pertama, membersihkan hadats dan najis yang bersifat lahiriah. Kedua, membersihkan anggota badan dari berbagai pelanggaran dan dosa. Ketiga, membersihkan hati dari akhlak yang tercela dan budi pekerti yang hina. Keempat, membersihkan hati nurani dari apa yang selain Allah. Dan yang keempat inilah thaharah pada Nabi dan Shiddiqin. Jika thaharah yang pertama dan kedua menurut Al-Ghazali masih menekankan bentuk lahiriah berupa hadats dan najis yang melekat di badan berupa pelanggaran dan dosa yang dilakukan oleh anggota tubuh, cara membersihkannya dibasuh dengan air. Sedangkan kotoran yang kasat mata, kotoran yang melekat di hati, cara membersihkannya yaitu dengan tobat, menahan dan menjauhkan diri dari pelanggaran dan dosa. Thaharah yang ketiga dan keempat juga tanpa menggunakan air. Tetapi dengan membersihkan hati dari budi jahat dan mengosongkan hati dari apa saja yang selain Allah.

Syikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Sirrur Asror wa Wamazhharul Anwar fima Yahtaju Ilaihi al-Abror, mengatakan, pencapaian maqam kedekatan manusia dengan Allah, sama sekali bukan seperti sampainya jisim pada bentuk wadag tubuh manusia, atau sampainya pengetahuan pada suatu yang diketahui, atau seperti sampainya akal pikiran pada sesuatu yang dipikirkan, dan tidak pula seperti dugaan pada sesuatu yang diduga. Pengertian pencapaian adalah sesuai dengan kadar keterputusan dari semua yang selain Dia; tanpa ukuran dekat, jauh arah, berhadapan, ketersambungan juga tanpa keterpisahan. (Andi Casiyem Sudin - bersambung)



Donasi Operasional Blog shteratecantrik.blogspot.com

Kirimkan donasi Anda ke

BNI Rek No 164 0744 137

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa dan Wasiat untuk Warga Baru SH Terate

Sekadar Syarat Bentuk Lahir

Menelaah Mukadimah SH Terate