Hakikat Pencak Silat Ajaran
Hakikat Pencak Silat Ajaran
Telaah Mukadimah SH Terate Alinea ke Tiga - Bagian 6)
>
Tulisan ini merupakan sambungan Telaah Mukadimah SH Terate alinea ketiga. Penafsiran Mukadimah SH Terate alinea sebelumnya sudah kami paparkan dalam lima bagian tullisan terdahulu. Agar tidak terjadi kekeliruan pemahaman, silakan kembali baca paparan kami sebelumnya. Kopi paste link berikut : http://shteratecantrik.blogspot.com/2024/08/pencak-silat-tataran-raga-paling-dasar.html Semoga paparan ini bermanfaat. (andi casiyem sudin)
Sebagai ajaran, sejatinya pencak silat sendiri tidak bisa hanya dilihat secara tekstual. Kang Mas KRH.H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, menyarankan agar ajaran pencak silat juga dilihat dalam dimensi kontekstual. Kaduanya, menurut beliau harus terpadu. Maksudnya, gerakan jurus, pasangan, pola langkah, pukulan, tendangan maupun tangkisan yang terkandung di dalam pencak silat, tetap harus dikuasai, sejalan dengan pemahaman makna filosofi yang terkadung di balik gerakan tersebut.
Justru, tegas Mas Madji, sejalan dengan perkembangan hidup dan usia manusia, pada gilirannya nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam gerak pencak silat menjadi lebih mengedepan. Terutama, untuk menghadapi tantangan dan persaingan di tengah perikehidupan yang cukup komplek. Memahami pencak silat hanya sebatas makna tekstual, dalam praktiknya, lebih sering berbenturan dengan norma, kesantunan dan hukum. Contoh kongkret, hidup manusia pasti diwarnai dengan persaingan, gesekan dan kebersinggungan. Pertanyaannya, apakah kemudian kita akan menghadapi fenomea itu dengan adu fisik, bersilat lidah, berdebat dan adu jotos? Jika hal tersebut yang dilakukan, jelas jelas kita akan berhadapan dengan norma kesantunan hidup dan hukum.
Ini berbeda banget, jika ajaran pencak silat kita pandang dari dimensi kontekstual. Contoh, hampir semua gerakan dan pola langkah pada jurus yang diajarkan pada tingkat polos itu lurus. Gerak serangan, berupa pukulan, swing maupun tendangan juga lurus ke depan, gerak pertahanannya tangkisan (benturan), bukan elakan. Filosofi ajaran yang hendak disampaikan di tingkat ini, adalah kejujuran, keberanian dan kendel (percaya diri). Pada saatnya, ajaran ini akan bisa dijadikan bekal menghadapi persaingan, gesekan dan kebersinggungan ketika terjun ke masyarakat. Dengan kejujuran, kita akan lebih dicinta, dengan keberanian kita akan lebih disegani dan dengan percaya diri kita akan lebih dihormati. Bagaimana jika posisi kita terpojok? Strategi yang kita pakai tentunya bukan lagi kandungan filosofi jurus tingkat polos, tapi memakai jurus pada tingkat yang lebih tinggi lagi. Sebut misalnya kandungan jurus tujuh belas. Yakni, sementara waktu menghindar dan mundur beberapa langkah setelah melakukan serangan, untuk mempersiapkan strategi serangan berikutnya.
Sementara itu, menyadari bahwa kita tidak bisa hidup sendiri, dan karena kehidupan kita berada di tengah tengah masyarakat majemuk, maka strategi pencak silat ajaran pada tingkat yang lebih tinggi lagi musti diterapkan. Sebut misalnya, filosofi yang terkandung pada ajaran pencak silat mulai jurus 25 (dua puluh lima) hingga jurus yang diajarkan pada Tingkat II. Yakni dengan mendasari semua gerakan lantai atau gerakan bawah. Artinya harus bisa andap asor, santun dan menghargai keberadaan orang lain. Ojo rumangsa bisa tapi bisoa rumangsa (Jangan merasa diri paling benar).
Penghargaan nilai nilai keberadaan orang lain ini merupakan manefestasi dari satriatama, yang selalu mengedepankan rasa cinta kasih pada sesama (sih mring sasami) dalam proses mamayu hayuning bawana. Reverensi aqidah yang selalu dijadikan tuntunan adalah : "Cintai penduduk bumi, agar penduduk langit mencintaimu. - Hadist Qudsi).
Sejatinya inilah yang dimaksud dengan satu satunya seni dari hidup ialah menempatkan/menyesuaikan diri pribadi dengan tempat rangka dan suasana dimana dan kapan hidup itu berlangsung. Ibarat hidup itu suatu AS, harus bertempat tepat di tengah tengah roda di dalam roda bos, disana bos dan ruji sebagai rangkanya yang melunghubungkan kelingkaran luar pelk dan ban bagaikan suasana. Dalam keadaan yang harmonis demikian Sang Hidup (AS) dapat puas menikmati darmanya sebagai pusat dari segala energi hidup dengan segala kenikmatannya. Demikian wasiat dari Kang Mas Soetomo Mangkoedjaja.
Dalam buku berjudul "Menggapai Jiwa Terate" karya Andi Casiyem Sudin, Kang Mas Tarmadjie Boedi Harsono, menjabarkan terminologi pencak silat ajaran ini lebih detil dan gamblang. Buku tersebut sudah diterbitkan Yayasan Setia Hati Terate dan alhamdulillah telah di cetak beberapa kali dengan teras tembus lima belas ribu eksemplar lebih.
Sejalan dengan itu, jargon-jargon ke-jumawaan-pendekar tempo dulu, sudah harus ada keberanian untuk menyesuaikannya dengan era kekinian. Sebut misalnya, jargon "Loe jual gue beli", atau "Ciu tak ocak acik, mrica pala tak anggo dakon. Karepku mono tak gawe becik, dene tinampa ala monggo kemawon."
Atau juga, jargon kendel kandel, atot kawat balung wesi, seperti "Urip ora njaluk, mati ora daftaran".Bahkan jika kita mau mengkaji lebih dalam lagi, terutama jika jargon ini dikaitkan dengan konsepsi sangkan paraning dumadi, sepakatlah untuk mengatakan tidak sejalan. Dasarnya, asbabul nuzul turunnya ayat yang oleh komunitas sufi disebut sebut sebagai "Yaum Alastu" atau "Perjanjian Roh di alam azali". “Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankan Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi.” Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan,” Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS: al-A’raf (7)-172).Ayat inilah yang dijadikan dasar pejalan sufi menyebutnya sebagai “Yaum Alastu” (hari perjanjian antara Ruh manusia dengan Allah, Sang Pencipta
Ayat ini pulalah yang manjadi dasar keyakinan bahwa secara kodrati manusia di muka bumi ini pada hakikatnya beraqidah dan mengakui keberadaan Allah.Pergeseran nilai nilai aqidah pada diri manusia lebih dikarenakan munculnya hijab hati.Tirai selubung yang menjadikan cahaya hati terhalang. Seperti, kurangnya pemahaman soal nilai nilai eksistensi manusia, eksistensi makhluk dan al-Kholik, tingginya tingkat persaingan untuk mempertahankan kepentingan duniawi (ubudunya) dan lemahnya sentuhan pendidikan rokhani yang mengarah ke konsepsi aqidah ilahiyah.
Namun mohon maaf, penulis tidak akan masuk lebih dalam lagi ke ranah pembahasan konsepsi dasar tasawuf tersebut. Harapan kami, adalah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memberanikan diri melakukan penyesuaian dan menyelaraskan ajaran dengan tantangan yang kita hadapi saat ini. Sekali lagi, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memeberanikan diri melakukkan penyesuaian (bukan merubah) dan menyelaraskan ajaran agar bisa diterima generasi digitallisasi yang kini ada di depan mata.
Penghargaan nilai nilai keberadaan orang lain ini merupakan manefestasi dari satriatama, yang selalu mengedepankan rasa cinta kasih pada sesama (sih mring sasami) dalam proses mamayu hayuning bawana. Reverensi aqidah yang selalu dijadikan tuntunan adalah : "Cintai penduduk bumi, agar penduduk langit mencintaimu. - Hadist Qudsi).
Sejatinya inilah yang dimaksud dengan satu satunya seni dari hidup ialah menempatkan/menyesuaikan diri pribadi dengan tempat rangka dan suasana dimana dan kapan hidup itu berlangsung. Ibarat hidup itu suatu AS, harus bertempat tepat di tengah tengah roda di dalam roda bos, disana bos dan ruji sebagai rangkanya yang mehubungkan kelingkaran luar pelk dan ban bagaikan suasana. Dalam keadaan yang harmonis demikian Sang Hidup (AS) dapat puas menikmati darmanya sebagai pusat dari segala energi hidup dengan segala kenikmatannya. Demikian wasiat dari Kang Mas Soetomo Mangkoedjaja.
Pencak silat merupakan senjata yang tidak tampak. Senjata, betapapun bentuknya pasti memiliki daya perusak (arsenal) cukup fital, disamping diyakini sebagai simbol harga diri dan martabat seorang ksatria. Karenanya, pemilik senjata tidak akan serta merta memakainya. Orang Jawa mengatakan sebagai "jimat" (siji kang dirumat-satu yang terus menerus dirawat). Karena langka dan dianggap piandel atau jimat, maka senjata lebih sering disimpan dan disembunyikan sang pemilik. Hanya sekali dua kali digunakan. Itu pun dalam situasi chaos dan demi mempertahankan kehormatan dan atau menjaga stabilitas nasional bagi seorang abdi negara.
Eksistensi senjata menemukan jatidirinya, jika ia sendiri berada ditangan kesatria. Sebilah Pasopati (Pasupatastra – senjata penguasa segala satwa) ditangan Sang Panengah Pandawa, Arjuna, maujud sebagai sosok senjata cukup disegani, dihormati bahkan jadi buah bibir para kesatria, di Bumi Pakeliran alias pawayangan. Sekalipun Arjuna sendiri jarang sekali memamerkannya. Dan diakui, senjata itu terbukti mampu menunjukkan kedigdayaannya dalam Perang Mahabarata.
Patut direnungkan, bagaimana jika Pasopati berada di tangan bromocorah? Apa yang akan terjadi? Ini pulalah yang menjadi alasan mendasar bagi seorang "Guru" untuk tidak memberikan senjata kepada sembarang siswanya. Sekali pun atas sikapnya itu, ia sering dianggap pilih kasih dan pelit. Apalagi jika yang jadi pilihan adalah "Pasopati".
Bahwa pencak silat sebagai senjata, benar, memiliki daya perusak mematikan. Untuk meredam daya perusak itu, diletakkan dasar-dasar pemahaman seni, kehalusan budi dan aqidah. Ketiganya merupakan maqam rohani atau qolbu. Karena itu, SH Terate menekankan pentingnya pelajaran kerokhanian yang dikmas dalam sebuah kurikulum berlebel ke-SH-an. Pelajaran ini diberikan kepada warga SH Terate sejak mereka masih berada di tingkat polos (siswa) dan terus berlanjut secara berjenjang melalui tingkat ke tingkat hingga sepanjang hayat. Bentuk pelajaran kerokhanian yang paling mendasar adalah pelajaran budi luhur, kemudian dilsafat dan masuk ke ranah tasawuf.
Namun mohon maaf, penulis tidak akan masuk lebih dalam lagi ke ranah pembahasan konsepsi dasar tasawuf tersebut. Harapan kami, adalah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memberanikan diri melakukan penyesuaian dan menyelaraskan ajaran dengan tantangan yang kita hadapi saat ini. Sekali lagi, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memeberanikan diri melakukkan penyesuaian (bukan merubah) dan menyelaraskan ajaran agar bisa diterima generasi digitallisasi yang kini ada di depan mata.
Dalam buku berjudul "Menggapai Jiwa Terate" karya Andi Casiyem Sudin, Kang Mas Tarmadji Boedi Harsono, menjabarkan terminologi pencak silat ajaran ini lebih detil dan gamblang. Buku tersebut sudah diterbitkan Yayasan Setia Hati Terate dan alhamdulillah telah di cetak beberapa kali dengan teras tembus lima belas ribu eksemplar lebih.(andi casiyem sudin-bersambung)
Ikuti telaah Mukadimah SH Terate dengan kopi paste link berikut ini : http://shteratecantrik.blogspot.com/2024/08/pencak-silat-tataran-raga-paling-dasar.html Atau masuk ke link http://shteratecantrik.blogspot.com
Telaah Mukadimah SH Terate Alinea ke Tiga - Bagian 6)
>
Tulisan ini merupakan sambungan Telaah Mukadimah SH Terate alinea ketiga. Penafsiran Mukadimah SH Terate alinea sebelumnya sudah kami paparkan dalam lima bagian tullisan terdahulu. Agar tidak terjadi kekeliruan pemahaman, silakan kembali baca paparan kami sebelumnya. Kopi paste link berikut : http://shteratecantrik.blogspot.com/2024/08/pencak-silat-tataran-raga-paling-dasar.html Semoga paparan ini bermanfaat. (andi casiyem sudin)
Sebagai ajaran, sejatinya pencak silat sendiri tidak bisa hanya dilihat secara tekstual. Kang Mas KRH.H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, menyarankan agar ajaran pencak silat juga dilihat dalam dimensi kontekstual. Kaduanya, menurut beliau harus terpadu. Maksudnya, gerakan jurus, pasangan, pola langkah, pukulan, tendangan maupun tangkisan yang terkandung di dalam pencak silat, tetap harus dikuasai, sejalan dengan pemahaman makna filosofi yang terkadung di balik gerakan tersebut.
Justru, tegas Mas Madji, sejalan dengan perkembangan hidup dan usia manusia, pada gilirannya nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam gerak pencak silat menjadi lebih mengedepan. Terutama, untuk menghadapi tantangan dan persaingan di tengah perikehidupan yang cukup komplek. Memahami pencak silat hanya sebatas makna tekstual, dalam praktiknya, lebih sering berbenturan dengan norma, kesantunan dan hukum. Contoh kongkret, hidup manusia pasti diwarnai dengan persaingan, gesekan dan kebersinggungan. Pertanyaannya, apakah kemudian kita akan menghadapi fenomea itu dengan adu fisik, bersilat lidah, berdebat dan adu jotos? Jika hal tersebut yang dilakukan, jelas jelas kita akan berhadapan dengan norma kesantunan hidup dan hukum.
Ini berbeda banget, jika ajaran pencak silat kita pandang dari dimensi kontekstual. Contoh, hampir semua gerakan dan pola langkah pada jurus yang diajarkan pada tingkat polos itu lurus. Gerak serangan, berupa pukulan, swing maupun tendangan juga lurus ke depan, gerak pertahanannya tangkisan (benturan), bukan elakan. Filosofi ajaran yang hendak disampaikan di tingkat ini, adalah kejujuran, keberanian dan kendel (percaya diri). Pada saatnya, ajaran ini akan bisa dijadikan bekal menghadapi persaingan, gesekan dan kebersinggungan ketika terjun ke masyarakat. Dengan kejujuran, kita akan lebih dicinta, dengan keberanian kita akan lebih disegani dan dengan percaya diri kita akan lebih dihormati. Bagaimana jika posisi kita terpojok? Strategi yang kita pakai tentunya bukan lagi kandungan filosofi jurus tingkat polos, tapi memakai jurus pada tingkat yang lebih tinggi lagi. Sebut misalnya kandungan jurus tujuh belas. Yakni, sementara waktu menghindar dan mundur beberapa langkah setelah melakukan serangan, untuk mempersiapkan strategi serangan berikutnya.
Sementara itu, menyadari bahwa kita tidak bisa hidup sendiri, dan karena kehidupan kita berada di tengah tengah masyarakat majemuk, maka strategi pencak silat ajaran pada tingkat yang lebih tinggi lagi musti diterapkan. Sebut misalnya, filosofi yang terkandung pada ajaran pencak silat mulai jurus 25 (dua puluh lima) hingga jurus yang diajarkan pada Tingkat II. Yakni dengan mendasari semua gerakan lantai atau gerakan bawah. Artinya harus bisa andap asor, santun dan menghargai keberadaan orang lain. Ojo rumangsa bisa tapi bisoa rumangsa (Jangan merasa diri paling benar).
Penghargaan nilai nilai keberadaan orang lain ini merupakan manefestasi dari satriatama, yang selalu mengedepankan rasa cinta kasih pada sesama (sih mring sasami) dalam proses mamayu hayuning bawana. Reverensi aqidah yang selalu dijadikan tuntunan adalah : "Cintai penduduk bumi, agar penduduk langit mencintaimu. - Hadist Qudsi).
Sejatinya inilah yang dimaksud dengan satu satunya seni dari hidup ialah menempatkan/menyesuaikan diri pribadi dengan tempat rangka dan suasana dimana dan kapan hidup itu berlangsung. Ibarat hidup itu suatu AS, harus bertempat tepat di tengah tengah roda di dalam roda bos, disana bos dan ruji sebagai rangkanya yang melunghubungkan kelingkaran luar pelk dan ban bagaikan suasana. Dalam keadaan yang harmonis demikian Sang Hidup (AS) dapat puas menikmati darmanya sebagai pusat dari segala energi hidup dengan segala kenikmatannya. Demikian wasiat dari Kang Mas Soetomo Mangkoedjaja.
Dalam buku berjudul "Menggapai Jiwa Terate" karya Andi Casiyem Sudin, Kang Mas Tarmadjie Boedi Harsono, menjabarkan terminologi pencak silat ajaran ini lebih detil dan gamblang. Buku tersebut sudah diterbitkan Yayasan Setia Hati Terate dan alhamdulillah telah di cetak beberapa kali dengan teras tembus lima belas ribu eksemplar lebih.
Sejalan dengan itu, jargon-jargon ke-jumawaan-pendekar tempo dulu, sudah harus ada keberanian untuk menyesuaikannya dengan era kekinian. Sebut misalnya, jargon "Loe jual gue beli", atau "Ciu tak ocak acik, mrica pala tak anggo dakon. Karepku mono tak gawe becik, dene tinampa ala monggo kemawon."
Atau juga, jargon kendel kandel, atot kawat balung wesi, seperti "Urip ora njaluk, mati ora daftaran".Bahkan jika kita mau mengkaji lebih dalam lagi, terutama jika jargon ini dikaitkan dengan konsepsi sangkan paraning dumadi, sepakatlah untuk mengatakan tidak sejalan. Dasarnya, asbabul nuzul turunnya ayat yang oleh komunitas sufi disebut sebut sebagai "Yaum Alastu" atau "Perjanjian Roh di alam azali". “Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankan Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi.” Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan,” Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS: al-A’raf (7)-172).Ayat inilah yang dijadikan dasar pejalan sufi menyebutnya sebagai “Yaum Alastu” (hari perjanjian antara Ruh manusia dengan Allah, Sang Pencipta
Ayat ini pulalah yang manjadi dasar keyakinan bahwa secara kodrati manusia di muka bumi ini pada hakikatnya beraqidah dan mengakui keberadaan Allah.Pergeseran nilai nilai aqidah pada diri manusia lebih dikarenakan munculnya hijab hati.Tirai selubung yang menjadikan cahaya hati terhalang. Seperti, kurangnya pemahaman soal nilai nilai eksistensi manusia, eksistensi makhluk dan al-Kholik, tingginya tingkat persaingan untuk mempertahankan kepentingan duniawi (ubudunya) dan lemahnya sentuhan pendidikan rokhani yang mengarah ke konsepsi aqidah ilahiyah.
Namun mohon maaf, penulis tidak akan masuk lebih dalam lagi ke ranah pembahasan konsepsi dasar tasawuf tersebut. Harapan kami, adalah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memberanikan diri melakukan penyesuaian dan menyelaraskan ajaran dengan tantangan yang kita hadapi saat ini. Sekali lagi, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memeberanikan diri melakukkan penyesuaian (bukan merubah) dan menyelaraskan ajaran agar bisa diterima generasi digitallisasi yang kini ada di depan mata.
Penghargaan nilai nilai keberadaan orang lain ini merupakan manefestasi dari satriatama, yang selalu mengedepankan rasa cinta kasih pada sesama (sih mring sasami) dalam proses mamayu hayuning bawana. Reverensi aqidah yang selalu dijadikan tuntunan adalah : "Cintai penduduk bumi, agar penduduk langit mencintaimu. - Hadist Qudsi).
Sejatinya inilah yang dimaksud dengan satu satunya seni dari hidup ialah menempatkan/menyesuaikan diri pribadi dengan tempat rangka dan suasana dimana dan kapan hidup itu berlangsung. Ibarat hidup itu suatu AS, harus bertempat tepat di tengah tengah roda di dalam roda bos, disana bos dan ruji sebagai rangkanya yang mehubungkan kelingkaran luar pelk dan ban bagaikan suasana. Dalam keadaan yang harmonis demikian Sang Hidup (AS) dapat puas menikmati darmanya sebagai pusat dari segala energi hidup dengan segala kenikmatannya. Demikian wasiat dari Kang Mas Soetomo Mangkoedjaja.
Pencak silat merupakan senjata yang tidak tampak. Senjata, betapapun bentuknya pasti memiliki daya perusak (arsenal) cukup fital, disamping diyakini sebagai simbol harga diri dan martabat seorang ksatria. Karenanya, pemilik senjata tidak akan serta merta memakainya. Orang Jawa mengatakan sebagai "jimat" (siji kang dirumat-satu yang terus menerus dirawat). Karena langka dan dianggap piandel atau jimat, maka senjata lebih sering disimpan dan disembunyikan sang pemilik. Hanya sekali dua kali digunakan. Itu pun dalam situasi chaos dan demi mempertahankan kehormatan dan atau menjaga stabilitas nasional bagi seorang abdi negara.
Eksistensi senjata menemukan jatidirinya, jika ia sendiri berada ditangan kesatria. Sebilah Pasopati (Pasupatastra – senjata penguasa segala satwa) ditangan Sang Panengah Pandawa, Arjuna, maujud sebagai sosok senjata cukup disegani, dihormati bahkan jadi buah bibir para kesatria, di Bumi Pakeliran alias pawayangan. Sekalipun Arjuna sendiri jarang sekali memamerkannya. Dan diakui, senjata itu terbukti mampu menunjukkan kedigdayaannya dalam Perang Mahabarata.
Patut direnungkan, bagaimana jika Pasopati berada di tangan bromocorah? Apa yang akan terjadi? Ini pulalah yang menjadi alasan mendasar bagi seorang "Guru" untuk tidak memberikan senjata kepada sembarang siswanya. Sekali pun atas sikapnya itu, ia sering dianggap pilih kasih dan pelit. Apalagi jika yang jadi pilihan adalah "Pasopati".
Bahwa pencak silat sebagai senjata, benar, memiliki daya perusak mematikan. Untuk meredam daya perusak itu, diletakkan dasar-dasar pemahaman seni, kehalusan budi dan aqidah. Ketiganya merupakan maqam rohani atau qolbu. Karena itu, SH Terate menekankan pentingnya pelajaran kerokhanian yang dikmas dalam sebuah kurikulum berlebel ke-SH-an. Pelajaran ini diberikan kepada warga SH Terate sejak mereka masih berada di tingkat polos (siswa) dan terus berlanjut secara berjenjang melalui tingkat ke tingkat hingga sepanjang hayat. Bentuk pelajaran kerokhanian yang paling mendasar adalah pelajaran budi luhur, kemudian dilsafat dan masuk ke ranah tasawuf.
Namun mohon maaf, penulis tidak akan masuk lebih dalam lagi ke ranah pembahasan konsepsi dasar tasawuf tersebut. Harapan kami, adalah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memberanikan diri melakukan penyesuaian dan menyelaraskan ajaran dengan tantangan yang kita hadapi saat ini. Sekali lagi, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memeberanikan diri melakukkan penyesuaian (bukan merubah) dan menyelaraskan ajaran agar bisa diterima generasi digitallisasi yang kini ada di depan mata.
Dalam buku berjudul "Menggapai Jiwa Terate" karya Andi Casiyem Sudin, Kang Mas Tarmadji Boedi Harsono, menjabarkan terminologi pencak silat ajaran ini lebih detil dan gamblang. Buku tersebut sudah diterbitkan Yayasan Setia Hati Terate dan alhamdulillah telah di cetak beberapa kali dengan teras tembus lima belas ribu eksemplar lebih.(andi casiyem sudin-bersambung)
Ikuti telaah Mukadimah SH Terate dengan kopi paste link berikut ini : http://shteratecantrik.blogspot.com/2024/08/pencak-silat-tataran-raga-paling-dasar.html Atau masuk ke link http://shteratecantrik.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar