Pencak Silat Tataran Raga Paling Dasar
Pencak Silat Tataran Raga Paling Dasar
(Telaah Mukadimah SH Terate alinea ketiga – Bag 5)
Sebelum membaca kupasan telaah Mukadimah SH Terate alinea ketiga ini, kami sarankan pembaca kembali mengikuti alur telaah dari alinea pertama dan kedua yang telah kami turunkan dalam empat bagian sebelumnya. Untuk mempermudah penelusuran silakan kopi paste link berikut : http://shteratecantrik.blogspot.com/2024/08/tahta-sang-mutiara-hidup.html, atau masuk ke link http://shteratecantrik.blogspot.com. Semoga bermanfaat. (andi casiyem sudin)
6. Alinea ketiga Mukadimah SH Terate berbunyi : (6) Pencak Silat, salah satu ajaran SETIA HATI dalam tingkat pertama berintikan seni olah raga yang mengandung unsur pembelaan diri untuk mempertahankan kehormatan, keselamatan dan kebahagiaan dan kebenaran terhadap setiap penyerang.
Pencak silat mengandung dua pengertian. Pencak artinya bela diri yang mengandalkan ketangkasan olah gerak anggota tubuh dan dirangkum dalam peraturan. Adapun silat memiliki arti gerakan bela diri yang tidak hanya mengandalkan gerak tubuh tapi juga melibatkan rohani.
Setia Hati Terate menempatkan pencak silat sebagai salah satu ajaran ketubuhan (raga) dalam tataran paling dasar (tingkat) pertama. Setidaknya ada empat unsur ajaran yang terkandung dalam pencak silat, yaitu, olahraga, seni, beladiri dan kerokhanian (ke-SH-an). Tahapan pertama yang diperkenalkan SH Terate kepada anggota adalah pengenalan unsur olah raga yang terkandung dalam pencak silat. Tujuannya, membentuk sumber daya manusia sehat jasmani. Karena, jangkauan yag hendak dicapai, tidak berhenti pada ajaran ragawi, tapi jauh lebih dalam dari itu, yaitu pembentukan kesehatan rokhani, kesehatan jiwa, sebagaimana telah dipaparkan dalam telaah sebelumnya. Jargon yang digunakan, men sana ini coorpore sano (dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat).
Unsur bela diri yang terkandung dalam pencak silat sendiri diletakkan pada tataran ketiga, setelah memperkenalkan olah raga dan unsur seni. Maknanya, setelah membekali warganya dengan kesehatan raga, SH Terate meletakkan dasar – dasar kehalusan budi lewat keindahan seni. Ini dimaksudkan, agar kelak setelah dibekali pelajaran beladiri, yang bersangkutan bisa menempatkan pencak silat secara proporsional. Tidak terjebak pada kesombongan, karena “rumangsa bisa” pencak hingga bersikap adigang adigung adiguna.
Dijelaskan oleh Kang Mas Soetomo Mangkoedjojo dan Kang Mas Darsono, Pencak silat harus ditempatkan secara positif, hanya sebagai unsur pembelaan diri. Tujuannya, untuk mempertahankan kebenaran. Jadi kehormatan, keselamatan dan kebahagiaan yang cedera (cacat) tidak berdasarkan kebenaran, tidak layak dipertahankan, karena toh akhirnya akan menyerah kalah.
Apa yang benar, lanjut beliau, ialah apa yang sudah menurut norma-norma yang berlaku pada suatu tempat rangka dan suasana di mana persoalan tersebut terjadi, baik norma hukum, agama, moral dan etika yang berlaku. Pencak silat merupakan senjata yang tidak nampak; fungsi senjata memang untuk digunakan sewaktu-waktu bila diperlukan. Orang yang bersenjata tentu lain sikapnya dibanding orang yang tidak bersenjata. Kejayaan Angkatan Perang tiak lepas dari persenjataannya dengan tidak melupakan moral para prajurit yang tinggi.
Sebagai ajaran, sejatinya pencak silat sendiri tidak bisa hanya dilihat secara tekstual. Kang Mas KRH.H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, menyarankan agar ajaran pencak silat juga dilihat dalam dimensi kontekstual. Kaduanya, menurut beliau harus terpadu. Maksudnya, gerakan jurus, pasangan, pola langkah, pukulan, tendangan maupun tangkisan yang terkandung di dalam pencak silat, tetap harus dikuasai, sejalan dengan pemahaman makna filosofi yang terkadung di balik gerakan tersebut.
Justru, tegas Mas Madji, sejalan dengan perkembangan hidup dan usia manusia, pada gilirannya nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam gerak pencak silat menjadi lebih mengedepan. Terutama, untuk menghadapi tantangan dan persaingan di tengah perikehidupan yang cukup komplek. Memahami pencak silat hanya sebatas makna tekstual, dalam praktiknya, lebih sering berbenturan dengan norma, kesantunan dan hukum. Contoh kongkret, hidup manusia pasti diwarnai dengan persaingan, gesekan dan kebersinggungan. Pertanyaannya, apakah kemudian kita akan menghadapi fenomea itu dengan adu fisik, bersilat lidah, berdebat dan adu jotos? Jika hal tersebut yang dilakukan, jelas jelas kita akan berhadapan dengan norma kesantunan hidup dan hukum.
Ini berbeda banget, jika ajaran pencak silat kita pandang dari dimensi kontekstual. Contoh, hampir semua gerakan dan pola langkah pada jurus yang diajarkan pada tingkat polos itu lurus. Gerak serangan, berupa pukulan, swing maupun tendangan juga lurus ke depan, gerak pertahanannya tangkisan (benturan), bukan elakan. Filosofi ajaran yang hendak disampaikan di tingkat ini, adalah kejujuran, keberanian dan kendel (percaya diri). Pada saatnya, ajaran ini akan bisa dijadikan bekal menghadapi persaingan, gesekan dan kebersinggungan ketika terjun ke masyarakat. Dengan kejujuran, kita akan lebih dicinta, dengan keberanian kita akan lebih disegani dan dengan percaya diri kita akan lebih dihormati. Bagaimana jika posisi kita terpojok? Strategi yang kita pakai tentunya bukan lagi kandungan filosofi jurus tingkat polos, tapi memakai jurus pada tingkat yang lebih tinggi lagi. Sebut misalnya kandungan jurus tujuh belas. Yakni, sementara waktu menghindar dan mundur bebarapa langkah setelah melakukan serangan, untuk mempersiapkan strategi serangan berikutnya.(andi casiyem sudin – bersambung)
Ikuti kupasan telaah Mukadimah SH Terate sebelumnya. Silakan kopi paster link berikut ini : http://shteratecantrik.blogspot.com/2024/08/tahta-sang-mutiara-hidup.html,
(Telaah Mukadimah SH Terate alinea ketiga – Bag 5)
Sebelum membaca kupasan telaah Mukadimah SH Terate alinea ketiga ini, kami sarankan pembaca kembali mengikuti alur telaah dari alinea pertama dan kedua yang telah kami turunkan dalam empat bagian sebelumnya. Untuk mempermudah penelusuran silakan kopi paste link berikut : http://shteratecantrik.blogspot.com/2024/08/tahta-sang-mutiara-hidup.html, atau masuk ke link http://shteratecantrik.blogspot.com. Semoga bermanfaat. (andi casiyem sudin)
6. Alinea ketiga Mukadimah SH Terate berbunyi : (6) Pencak Silat, salah satu ajaran SETIA HATI dalam tingkat pertama berintikan seni olah raga yang mengandung unsur pembelaan diri untuk mempertahankan kehormatan, keselamatan dan kebahagiaan dan kebenaran terhadap setiap penyerang.
Pencak silat mengandung dua pengertian. Pencak artinya bela diri yang mengandalkan ketangkasan olah gerak anggota tubuh dan dirangkum dalam peraturan. Adapun silat memiliki arti gerakan bela diri yang tidak hanya mengandalkan gerak tubuh tapi juga melibatkan rohani.
Setia Hati Terate menempatkan pencak silat sebagai salah satu ajaran ketubuhan (raga) dalam tataran paling dasar (tingkat) pertama. Setidaknya ada empat unsur ajaran yang terkandung dalam pencak silat, yaitu, olahraga, seni, beladiri dan kerokhanian (ke-SH-an). Tahapan pertama yang diperkenalkan SH Terate kepada anggota adalah pengenalan unsur olah raga yang terkandung dalam pencak silat. Tujuannya, membentuk sumber daya manusia sehat jasmani. Karena, jangkauan yag hendak dicapai, tidak berhenti pada ajaran ragawi, tapi jauh lebih dalam dari itu, yaitu pembentukan kesehatan rokhani, kesehatan jiwa, sebagaimana telah dipaparkan dalam telaah sebelumnya. Jargon yang digunakan, men sana ini coorpore sano (dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat).
Unsur bela diri yang terkandung dalam pencak silat sendiri diletakkan pada tataran ketiga, setelah memperkenalkan olah raga dan unsur seni. Maknanya, setelah membekali warganya dengan kesehatan raga, SH Terate meletakkan dasar – dasar kehalusan budi lewat keindahan seni. Ini dimaksudkan, agar kelak setelah dibekali pelajaran beladiri, yang bersangkutan bisa menempatkan pencak silat secara proporsional. Tidak terjebak pada kesombongan, karena “rumangsa bisa” pencak hingga bersikap adigang adigung adiguna.
Dijelaskan oleh Kang Mas Soetomo Mangkoedjojo dan Kang Mas Darsono, Pencak silat harus ditempatkan secara positif, hanya sebagai unsur pembelaan diri. Tujuannya, untuk mempertahankan kebenaran. Jadi kehormatan, keselamatan dan kebahagiaan yang cedera (cacat) tidak berdasarkan kebenaran, tidak layak dipertahankan, karena toh akhirnya akan menyerah kalah.
Apa yang benar, lanjut beliau, ialah apa yang sudah menurut norma-norma yang berlaku pada suatu tempat rangka dan suasana di mana persoalan tersebut terjadi, baik norma hukum, agama, moral dan etika yang berlaku. Pencak silat merupakan senjata yang tidak nampak; fungsi senjata memang untuk digunakan sewaktu-waktu bila diperlukan. Orang yang bersenjata tentu lain sikapnya dibanding orang yang tidak bersenjata. Kejayaan Angkatan Perang tiak lepas dari persenjataannya dengan tidak melupakan moral para prajurit yang tinggi.
Sebagai ajaran, sejatinya pencak silat sendiri tidak bisa hanya dilihat secara tekstual. Kang Mas KRH.H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, menyarankan agar ajaran pencak silat juga dilihat dalam dimensi kontekstual. Kaduanya, menurut beliau harus terpadu. Maksudnya, gerakan jurus, pasangan, pola langkah, pukulan, tendangan maupun tangkisan yang terkandung di dalam pencak silat, tetap harus dikuasai, sejalan dengan pemahaman makna filosofi yang terkadung di balik gerakan tersebut.
Justru, tegas Mas Madji, sejalan dengan perkembangan hidup dan usia manusia, pada gilirannya nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam gerak pencak silat menjadi lebih mengedepan. Terutama, untuk menghadapi tantangan dan persaingan di tengah perikehidupan yang cukup komplek. Memahami pencak silat hanya sebatas makna tekstual, dalam praktiknya, lebih sering berbenturan dengan norma, kesantunan dan hukum. Contoh kongkret, hidup manusia pasti diwarnai dengan persaingan, gesekan dan kebersinggungan. Pertanyaannya, apakah kemudian kita akan menghadapi fenomea itu dengan adu fisik, bersilat lidah, berdebat dan adu jotos? Jika hal tersebut yang dilakukan, jelas jelas kita akan berhadapan dengan norma kesantunan hidup dan hukum.
Ini berbeda banget, jika ajaran pencak silat kita pandang dari dimensi kontekstual. Contoh, hampir semua gerakan dan pola langkah pada jurus yang diajarkan pada tingkat polos itu lurus. Gerak serangan, berupa pukulan, swing maupun tendangan juga lurus ke depan, gerak pertahanannya tangkisan (benturan), bukan elakan. Filosofi ajaran yang hendak disampaikan di tingkat ini, adalah kejujuran, keberanian dan kendel (percaya diri). Pada saatnya, ajaran ini akan bisa dijadikan bekal menghadapi persaingan, gesekan dan kebersinggungan ketika terjun ke masyarakat. Dengan kejujuran, kita akan lebih dicinta, dengan keberanian kita akan lebih disegani dan dengan percaya diri kita akan lebih dihormati. Bagaimana jika posisi kita terpojok? Strategi yang kita pakai tentunya bukan lagi kandungan filosofi jurus tingkat polos, tapi memakai jurus pada tingkat yang lebih tinggi lagi. Sebut misalnya kandungan jurus tujuh belas. Yakni, sementara waktu menghindar dan mundur bebarapa langkah setelah melakukan serangan, untuk mempersiapkan strategi serangan berikutnya.(andi casiyem sudin – bersambung)
Ikuti kupasan telaah Mukadimah SH Terate sebelumnya. Silakan kopi paster link berikut ini : http://shteratecantrik.blogspot.com/2024/08/tahta-sang-mutiara-hidup.html,
Komentar
Posting Komentar