Cemburu Itu Indah



……………..perasaan cemburu, tidak jarang malah bisa dijadikan motor penggerak semangat untuk tetap bertahan hidup. Dalam konteks lebih dalam lagi, perasaan cemburu, jika kita mampu menformat dengan bingkai aura positif, justru akan melahirkan karya adiluhung. Syaratnya, baik penyulut maupun format keluaran sebagai dampat dari perasaan cemburu itu merupakan sesuatu yang bernilai positif. …………….


Manusia pada dasarnya memiliki sifat pencemburu. Sebab, didalam jiwanya, Alloh telah memasukkan dua dari empat unsur nafsu. Yakni, amarah dan aluwamah. Rasa cemburu, muncul atas dorongan dari kedua nafsu ini. Perpaduan antara nafsu ingin berkuasa dan kengerian jika sesuatu yang telah dimiliki atau dikuasainya itu hilang dari genggaman tangan, menyulut timbulnya emosi dalam ujud perasaan dengki, iri, dan nafsu ingin menghancurkan orang-orang yang telah menyebabkan apa yang telah menjadi impiannya itu tanggal.

Namun di balik itu semua, rasa cemburu sesungguhnya indah, sekaligus juga menyakitkan. Rasa cemburu jadi indah jika kita bisa menguasai rasa itu sendiri. Sebaliknya, akan terasa menyakitkan apabila perasaan itu justru mengendalikan dan menguasai jiwa kita.

Dalam episode percintaan, sebagai misal, cemburu akan menunjukkan bentuk kemurniannya. Sebab cinta dan cemburu laksana matahari dan sinarnya. Laksana samudra dan gelombang airnya. Hayati, bagaimana kecamuk rasa yang ada dalam jiwa kita, jika orang yang kita cintai mendadak bercengkrama dengan orang lain. Rasa apa yang muncul seketika jika jiwa kita telah dikuasai perasaan cemburu dan konteks semacam ini. Jawabnya, ada dua, jika tidak nafsu amarah, ya nafsu aluwamah dalam medium paling fatal. Yakni, ingin memiliki sekaligus melenyapkan segala sesuatu yangmenghancurkan kekuasaan kita atas sesuatu itu.

Timbulnya kasus pertikaian, bahkan berkahir dengan pembunuhan antar sesama, acap kali tersulut perasaan cemburu. Kita lantas menyebut keliar nafsu ini sebagai cemburu buta. Atau rasa cemburu yang terformat dalam medium negatif.

Sebaliknya, perasaan cemburu, tidak jarang malah bisa dijadikan motor penggerak semangat untuk tetap bertahan hidup. Dalam konteks lebih dalam lagi, perasaan cemburu, jika kita mampu menformat dengan bingkai aura positif, justru akan melahirkan karya adiluhung. Syaratnya, baik penyulut maupun format keluaran sebagai dampat dari perasaan cemburu itu merupakan sesuatu yang bernilai positif.

Misalnya, cemburu atas keberhasilan seseorang, lantas kita menjadikan perasaan itu sebagai dampak dari perasaan cemburu itu sebagai pelecut semangat untuk berusaha keras agar keberhasilan itu juga menjadi milik kita. Dalam, konteks religiusitas, perasaan cemburu malah sangat-sangat dibutuhkan. Konkretnya, perasaan cemburu jangan-jangan Allah berpaling dari diri kita.

Kenapa? Sebab, Allah sangat mencintai orang yang berusaha mencintainya. Orang-orang yang dengan sepenuh jiwa raga, berusaha meningkatkan dan menjaga ketakwaannya.

Dan jika perasaan cemburu dalam konteks religiusitas ini sudah bisa kita rasakan, bertanyalah kepada diri kita sendiri, adakah perasaan lain yang bisa menyamai kadar perasaan ini? Adakah kenikmatan, keindahan, harapan serta keyakinan sekaligus kecemasan yang bisa kita rasakan jika perasaan cinta dan cemburu kita kepada Allah sudah tertanam dalam jiwa?

Jawabnya, tidak ada sesuatupun yang menyamai perasaan itu. Ini, jika perasaan itu sudah tertanam dalam jiwa, sama artinya kita sudah berada dalam pranatan keseimbangan.

Pemahaman atas makna keseimbangan dan penerapan hukum itu dalam kehidupan insan Persaudaraan setia hati Terate, wajib hukumnya untuk digaris bawahi. Terdapat empat prasarat agar konsep keharmonisan hidup itu bisa dirasakan. Keempat prasyarat itu adalah: Ora kagetan (tidak gampang terkejut) serta ora gumunan (tidak mudah terkesima, tergelincir), yakin lan wani nglakoni(yakin dan berani menghadapi tantangan).

Ora kagetan, artinya siap menerima segala tantangan hidup dan berusaha sedapat mungkin mengantisipasi tantangan itu dengan keteguhan dan ketabahan jiwa. Sementara itu jika sewaktu-waktu menghadapi cobaan, berusaha untuk menerimanya dengan lapang dada, tidak mudah menyerah atau putus asa (Lila lamun kelangan ora gegetun: sabdatama).

Dalam bahasa yang lebih mudah dicerna, bermental baja dilandasi tingkat kepasrahan utuh kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena apa, kita sudah yakin bahwa segala tantangan dan cobaan itu tidak lebih hanya merupakan ujian bagi manusia. Artinya, barang siapa yang bisa lulus, akan mendapatkan berkah dan kesuksesan. Sebaliknya, bagi yang tidak tahan uji, akan terjerumus kejurang kenistaan.

Ora gumunan, artinya tidak gampang tergelincir rayuan duniawi dan memandang segala bentuk kemolekan; kepiawaian; keperkasaan dan kegemerlapan harta benda, pangkat, derajat, bobot, bibit, bebet (trah) di dunia ini pada hakikatnya merupakan jebakan bagi orang yang lemah kadar keimanannya.

Dengan kedua konsep di atas itu, Persaudaraan Setia Hati Terate ingin mengajak para warganya untuk menghayati kehidupan ini dengan penuh rasa tawakal dan sedapat mungkin mendudukan manusia pada kedudukan yang sama sesuai dengan harkat dan martabatnya. Persaudaraan Setia Hati Terate ingin mengajak para warganya menjadi seseorang yang arif dengan kadar keimanan dan kepasrahan yang penuh, tidak setengah-tengah apalagi munafik.

Jika kedua konsep hidup itu sudah kita laksanakan, maka kita telah mendekati pada tataran warga yang “SH-yer”. Sebab, esensi konsep tersebut merupakan konsep hidup dari seseorang yang berbudi luhur tahu benar dan salah, seperti amanat dan tujuan serta arah yang hendak dicapai oleh organisasi Persaudaraan Setia Hati Terate. Dari situ timbul kemudian secara kodrati suatu hakekat yang bisa mengarahkan seseorang pada pengertian”unggah ungguhing ngaurip” atau “jejering urip, lungguhing urip”(kesadaran akan makna hayati) sekaligus “jumbuhing pati” (kesadaran akan hari akhir). Dan munculnya kesadaran akan makna hayati dan makna akhiri itulah yang akan mengarahkan diri kita untuk makfum, mampu dan sedapat mungkin bisa menempatkan diri dalam diri kita sendiri. (ngerti sangkan paraning kepribaden ) maupun ditengah-tengah lingkungan persaudaraan yang selama ini kita agung-agungkan, serta ditengah peradaban manusia (ngerti darmaning ngaurip).

Tulisan ini diturunkan dari hasil wawancara saya, andi Casiyem Sudin dengan Ketua Umum SH Terate Pusat Madiun, H.Tarmadji Boedi Harsono,SE

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa dan Wasiat untuk Warga Baru SH Terate

Sekadar Syarat Bentuk Lahir

Menelaah Mukadimah SH Terate