Petua Ketua Umum SH Terate (6)
Kiat Sukses Hidup Bahagia
“Aja Sok Gawe Ala Ing Liyan
Apa Alane Gawe Seneng Ing Liyan”
(Jangan suka mencelakakan orang lain
Apa salahnya membuat senang orang lain)
Nasihat berbahasa Jawa Ngoko itu sengaja saya pasang di salah satu tembok, tepat diatas mimbar pasamuan Padepokan Setia Hati Terate, Jl. Merak Nambangan Kidul, Kota Madiun. Sebuah nasehat yang mudah dicerna-karena kalimat-kalimatnya sendiri memang disusun dengan kata-kata sederhana. Namun, satu hal yang patut disadari, bahwa tidak mudah kita melakukannya.
Alasan mendasar, di dalam jiwa kita, terdapat gejolak nafsu yang menuntut pemenuhan-pemenuhan atas kemauan dan kehendak. Atau ego. Apalagi, ketika mau dan tidak mau kita harus bersaing ditengah era globalisasi. Persaingan yang memicu polemik, konflik, dilema, membuahkan risiko-risiko dan ketidakpastian. Tidak jarang, kerasnya persaingan itu, bahkan, merambah pergeseran nilai. Dari nilai-nilai kesatuan pranatan ragawi, hingga menyentuh kisi-kisi kesentosaan rokhani.
Yang masih menjadikan saya tetap optimis adalah, sepanjang manusia masih hidup, berarti ia masih berada dalam lingkup proses untuk menjadi. Maknanya, tetap terbuka peluang untuk membentuk sekaligus merubah diri.
Pertanyaan paling arif yang perlu dimunculkan adalah, laku apa yang harus dikerjakan agar kita termasuk dalam kategori orang-orang yang mampu menempatkan diri ditengah kehidupan agung ini?
1. Jujur
Jujur itu luhur. Kejujuran juga indah, karena di dalamnya terdapat rasa kasih sayang. Dengan bersikap jujur kepada orang lain berarti kita telah mengasihinya. Sifat mengasihi sesama ini, sama artinya dengan mencintai Yang Maha Pengasih. Tuhan seru sekalian alam. Kata lain, jika kita berbuat jujur pada orang lain, jika kita dicintai dan mencintai orang lain, maka kita juga telah berjalan menuju sebuah medium untuk dicintai dan mencintai Tuhan.
Korelasinya, jika kita mau berbuat jujur, Tuhan juga akan mencintai kita. Jika Tuhan mencintai kita, berarti apapun permitaan kita akan dikabulkan (kang sinedya teka kang cinepta dadi). Ibaratnya, jangankan hanya sekedar minta pemenuhan kebutuhan hidup di dunia, memohon ampunan dan singgasana abadi (surga) di akhirat pun bakal dikabulkan.
Sebaliknya, jika kita berbohong pada orang lain, sama artinya kita menyakitinya. Memutuskan tali kasih dengannya. Makna lain, kalau berbohong pada orang lain, berarti kita telah memutus tali kasih terhadap Tuhan. Memutus mata rantai kasih dan rahmatNya.
Karenanya, jangan heran kalau manusia sangat mencintai kejujuran. Kejujuran dalam berbicara, bersikap, bertindak serta jujur dalam berpikir dan berkehendak. Logika spiritual proses pengabulan permintaan ini, barangkali bisa dicontohkan layaknya kedekatan kita dengan pemimpin. Siapapun yang dekat dengan pemimpin, minimal penghidupannya pasti terangkat, bisa menikmati kemudahan-kemudahan dan mendapatkan sejumlah prioritas layanan.
Sekalipun jelas ada perbedaan mendasar, kedekatan kita dengan Tuhan pun bisa tercipta seperti itu. Jika kita dekat dengan Tuhan, dicintai Tuhan, maka segala permintaan kita akan dikabulkan. Hidup kita akan tentram, damai dan sentosa.
2. Rajin
Setelah jujur, hal yang harus dilakukan adalah rajin. Rangkapnya rajin adalah tidak pernah menyepelekan dan meremehkan suatu pekerjaan. Rajin dalam konteks ini, mencakup segenap lini. Dari rajin mengasah diri, rajin membuat rencana-renacana kerja, rajin berinovasi agar hidupnya kian berarti, serta rajin melaksanakan perintah Tuhan.
Orang yang berjiwa rajin, tak akan perbah kelihatan menganggur atau berpangku tangan. Ia akan selalu berusaha mengerjakan apapun yang sanggup dikerjakan. Tak pandang dimana ia berada. Tentu, dengan kebiasaan ini, menjadikan jiwanya selalu terisi. Tidak kosong, tidak mengada-ada. Istilah Jawa ngaya wara.
3. Mau belajar
Sifat ketiga yang harus kita kedepankan adalah, mau belajar. Belajar dalam konteks pembicaraan kali ini, tidak hanya terjebak pada proses pembelajaran layaknya pendidikan formal. Proses belajar secara non formal, atau otodidak juga termasuk di dalamnya. Prinsip, karena kita belajar berarti harus ada murid (siswa) dan guru.
Guru juga berkonotasi makro. Bisa diartikan guru dalam arti ragawi, yakni seseorang yang menguasai bidang keilmuan dan atau guru dalam makna metafisik. Pengalaman dan alam juga merupakan guru yang baik. Kenapa, karena pengalaman telah menunjukkan catatan-catatan perjalanan yang didalamnya bisa kita ambil hikmahnya. Alam apalagi. Bahkan, saya pribadi menganggap alam sebagai Guru Sejati. Karena apa, alam tidak pernah berbohong pada manusia. Penjabaran tentang alam sebagai Guru Sejati ini akan saya kupas dalam buku perenungan tersendiri.
4. Tidak pernah menuntut
Setelah mengedepankan sikap rela berkorban, hal lain yang harus dilakukan warga Persaudaraan Setia Hati Terate adalah tidak pernah menuntut. Sebab dirinya sadar bahwa hak akan datang tanpa harus dituntut. Ibaratnya kalau sesuatu itu memang sudah menjadi hak kita jangankan hanya manusia, jika seluruh jagad dan isinya berusaha menghalangi pun, hak itu akan sampai pada kita. Sebaliknya, jika bukan hak kita, meski dunia mendukung sesuatu itu tetap tidak akan sampai. Kamlimat paling akrab yang sering kita lontarkan terkait dengan penyikapan ini adalah “ Jangan bertanya apa yang kau dapatkan dari Persaudaraan Setia Hati Terate. Akan tetapi bertanyakan pada dirimu, apa yang akan kau berikan pada Persaudaraan Setia Hati Terate”.
5. Tak Kenal Menyerah
Setelah kelima kunci hidup itu sudah kita pahami dan jalankan, satu hal lagi yang tidak boleh terlupakan lagi adalah, pengedepanan sikap tak kenal menyerah. Alasan mendasar, hidup ini tertata dalam proses keseimbangan. Tugas kita adalah memasuki kisaran proses dan menjaganya. Dan jalan menuju kearah itu, tak ada lain kecuali berusaha terus mencoba dan mencoba lagi. Tak pernah merasa putus asa jika menemui kegagalan dan tidak besar kepala kalau keberhasilan.
Tulisan ini diturunkan dari hasil wawancara saya, Andi Casiyem Sudin dengan Ketua Umum SH Terate Pusat Madiun H.Tarmadji Boedi Harsono,SE
Komentar
Posting Komentar