Hidup Abadi Lepas Rangka Suasana

Hidup Abadi Lepas Rangka Suasana

(Telaah Mukadimah SH Terate – Bag 9)

Tulisan ini adalah lanjutan telaah Mukadimah SH Terate yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya. Agar pembaca lebih gamblang dalam mencerna apa yang dipaparkan, silakan ikuti kembali paparan sebelumnya yang tersaji secara bersambung , klik : www.shteratecantrik.blogspot.com (andi casiyem sudin)

9. Alinea kelima Mukadimah SH Terate kalimat kesembilan berbunyi: (9) Maka SETIA HATI pada hakekatnya tanpa mengingkari segala martabat-martabat keduniawian , tidak kandas/tenggelam pada ajaran Pencak Silat sebagai pendidikan ketubuhan saja

Sejatinya, SH tidak mengingkari martabat-martabat keduniawian, bahkan menganjurkan untuk mencapai sejauh jauh martabat tersebut; kekayaan, kehormatan, kepandaian (semat, derajat, keramat/harta, wiryo, guno) tetapi jangan sampai tenggelam di lautan duniawian. Kang Mas Seotomo Mangkoedjojo dan Kang Mas Darsono, menggambarkan, kalau martabat-martabat keduniawian itu ibarat kuda yang dinaiki oleh orang jangan sampai orang tersebut tidak bisa menguasainya, hingga terperosok dibawa lari kuda.

Alasanya, cukup bisa diterima nalar sehat. Karena hidup tidak hanya butuh makan dan minum. Terlebih hidup di era transmultidimensi saat ini. Ibaratnya, moving sedikit saja butuh biaya.Apalagi jika takarannya adalah ruang dan waktu. Teknologi komunikasi, terbukti telah berhasil melampaui fenomena ruang waktu. Ruang, ibarat tak lagi berjarak. Dan waktu tak lagi berdetak. Hanya dengan sentuhan ujung jemari tangan di hand phone, seseorang kini sudah bisa menjelajah dunia dalam waktu relatif singkat. Sebuah keniscayaan tak terbantahkan. Sangat naif jika hidup di era kekinian tak butuh materi, sementara tantangan di depan laiknya peri. Riil, nyata, tapi terkesan absurd.

Alasan lain, kita tidak boleh mengingkari martabat keduniawian, adalah bahwa sejak bergabung di SH Terate kita sudah sepakat untuk berperikehidupan mandiri. Tidak bergantung belas kasih orang lain. Karena tangan yang di atas lebih mulia ketimbang tangan yang di bawah. Kemandirian adalah harga diri. Dan harga diri adalah dimensi teragung seorang ksatria. Terpenting, sekali lagi, seperti telah disebutkan di atas, jangan sampai martabat keduniawian menjadi tirai penghalang cahaya hati. Carilah bekal duniamu seakan-akan engkau akan hidup selama-lamanya. Dan carilah akhiratmu, seakan-akan engkau akan mati besok pagi(Hadist). Ngono ya ngono ning aja ngono, demikian Wong Jawa berkias.

Terkait dengan konteks ini, Kang Mas KRH. H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, mengatakan, jika bisa kita malah disarankan untuk menjadi seorang yang kaya. Kaya hati dan kaya materi. Asalkan, lanjut beliau, bagaimana kita mampu menjaga konsistensi kesadaran dan kearifan untuk rela berbagi, sehingga materi yang kita miliki berdaya sosial.Asalkan, bagaimana materi itu tidak menguasai kita, tidak menjadikan lupa diri. Sebab, sebanyak apa pun materi yang ada pada diri kita, semuanya hanya barang titipan, yang setiap saat bisa diambil Sang Pemilik, Allah Tuhan Yang Maha Kaya.

Suatu ketika Mas Madji bertanya pada penulis, dengan nada yang menurut penulis berkonotasi guyonan. "Awakmu isik urip nDik?" tanya Mas Madji. Spontan, penulis pun menjawab, "Taksik lho Mas (Masih lho Mas,)" jawab penulis. "Tenane to awakmu urip? (Apa benaer to jika dirimu hidup?)," ulang Mas Mas Madji. Penulis diam. Pasti ada sesuatu yang ingin disampaikan beliau dengan pertanyaannya itu.

"Tulisen yo nDik. Sejatine uripmu iku durung tenanan. Isik setengah setengah. Kamu boleh mengaku kalau kamu sudah benar benar hidup jika hidupmu bermanfaat bagi orang lain.Urip iku urup. Ora mung urip-uripan," jelasnya.

Mas Madji lebih lanjut beretorika, pernahkah dirimu berniat untuk berbagi dan membahagiakan orang lain begitu terjaga dari tidur? Pernah engkau menyesali perjalanan harimu saat engkau mau tidur, lantaran hari itu engkau tak mampu berbagi dan tidak memberikan manfaat pada orang lain? Takarannya, tegas beliau, jika engkau masih merasa gembira dan bahagia jika mendapat pemberian dari orang lain, itu berarti jiwamu masih harus diformat ulang agar lebih bahagia berbagi ketimbang menerima pemberian. Itu pula yang dijadikan dasar Mas Madji lebih memilih hidup kaya raya, sehingga bisa berbagi pada sesama.

Bercermin pada sejarah kehidupan manusia di muka bumi, banyak tokoh-tokoh panutan umat itu kaya raya. Nabi Sulaiman, sebagai misal, beliau adalah orang terkaya pada zamannya. Namun demikian, dia tidak tenggelam dalam kelimpahan materi yang dimilikinya. Nabi Yusuf, juga tokoh panutan umat kaya raya. Ia tercatat sebagai bendahara kerajaan. Meski begitu, terbukti beliau memegang teguh amanah. Tidak menggunakan aji mumpung dengan jabatannya.

Dr Yusuf ibn Ahmad al Qasim, dalam riset perpustakaan sederhana untuk mencari tahu siapa saja para sahabat Rasulullah SAW yang memiliki kekayaan terbesar dan dirilis di dsnmui.or.id. Nilai kekayaan yang diungkap di sini adalah nilai aset tarikah yang ditinggalkan saat mereka wafat.

Lima sahabat terkaya tersebut yakni, Abdurrahman ibn ‘Auf, Zubair bin Awwam, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaydillah, dan Saad bin Abi Waqqash. Berikut rincian kekayaan 5 sahabat Nabi tersebut.

Kekayaan sahabat Abdurrahman ibn ‘Auf, benar-benar membuat geleng-geleng kepala. Beliau adalah orang kedelapan yang masuk Islam. Usianya 10 tahun lebih muda dari Nabi SAW

. Beliau mengikuti semua peperangan dalam sejarah perjuangan Islam di era Nabi SAW. Beliau terkenal sebagai pebisnis ulung. Saat tiba di Madinah (era hijrah), beliau datang dengan tangan kosong. Seperak pun tidak dimiliknya. Lalu Rasulullah SAW menjalinkan mu’akhah antara beliau dengan Sa’d ibn al Rabi’, salah satu orang kaya Madinah saat itu.

Sa’d menawarkan setengah dari harta miliknya untuk beliau, termasuk menceraikan salah satu dari dua orang istrinya untuk bisa dinikahi beliau. Namun beliau menolak halus dan penuh respek sambil berkata, “Semoga Allah memberikan keberkahan kepadamu dengan istri dan hartamu. Cukup tunjukkan aku di mana pasar.”

Total aset kekayaan saat beliau wafat seperti dikutip oleh Ibn Hajar- adalah 3.200.000 (dalam bentuk Dinar, menurut asumsi Ibn Hajar, al Fath, Juz 14, hal. 448). Nilai ini adalah hasil matematis dari informasi yang mengatakan bahwa saat wafatnya, masing-masing dari empat orang istrinya menerima sebesar 100.000 Dinar.

Dengan akuntasi Fara`idh, maka total tarikah (harta yang ditinggalkannya) adalah : 100.000 dinar x 4 (orang istri) x 8 (ashl al mas`alah) = 3.200.000 Dinar. Jika dirupiahkan, nilai tersebut setara dengan Rp6.212.688.000.000,- (enam triliun, dua ratus dua belas milyar, enam ratus delapan puluh delapan juta Rupiah).

Sementara itu, Ibn Katsir (al Bidayah wa an Nihayah, Juz 7, hal, 184) mengutip sumber lain menulis bahwa saat wafatnya, ‘Abdurrahman meninggalkan aset terdiri dari: 1.000 ekor unta, 100 ekor kuda, 3.000 ekor kambing (di Baqi’).

Seluruh istrinya yang berjumlah empat orang memperoleh (dari harga jual aset tersebut) sebesar 320.000 dinar. Nilai ini adalah 1/8 dari total harta diwaris sehingga masing-masing istri mendapatkan 80.000 dinar. Dengan data ini maka total aset peninggalannya adalah 80.000 x 4 (orang istri) x 8 = 2.560.000 dinar.

Jika dikonversi ke rupiah setara dengan Rp.4.970.150.400.000,- (empat triliun, sembilan ratus tujuh puluh milyar, seratus lima puluh juta, empat ratus ribu Rupiah) ditambah dengan seluruh jumlah 3 (tiga) jenis hewan-hewan peternakan yang disebutkan.

Sumber mana pun yang ingin dirujuk dari dua informasi di atas, Abdurrahman layak menempati posisi pertama sebagai sahabat Rasulullah SAW yang paling kaya.

Yang amat menarik untuk dijadikan teladan, saat hendak wafat beliau berwasiat memberikan 400 Dinar kepada para peserta perang Badr yang masih hidup yang jumlahnya saat itu sebanyak 100 orang.

Total nilai wasiat menjadi 400 Dinar x 100 = 40.000 Dinar atau setara 77.658.600.000 (Tujuh puluh Tujuh milyar, Enam ratus Lima puluh Delapan juta, Enam ratus ribu Rupiah). Sayyidina Ustman RA dan sayyidina Ali RA termasuk di antara yang menerimanya.

Mengambil teladan dari tokoh yang disebut di atas, bisa diambil pelajaran, untuk menjadi seorang yang berilmu dan bermanfaat, tidak harus meninggalkan materi, tidak harus hidup zuhud, misalnya meninggalkan kermaian dan hidup menyepi di tengah hutan atau di lereng gunung. Kekuatan akhlak dan mental kita justru diuji manakala bisa hidup di tengah masyarakat heterogen, akan tetapi tetap kokoh mempertahankan prinsip akidah dan syariah. Sekalipun raga kita berada di tengah-tengah keramaian kota, sekalipun kehidupan kita diamanati materi berlipat-lipat dan martabat duniawi berupa jabatan dan pangkat, akan tetapi jiwa dan hati kita tetap harus istiqomah dalam kekhusukan manembah kepada Dzat Kang Akarya Jagad (Tuhan seru sekalian alam).

Mas Madji sendiri telah memberikan teladan dalam konteks “tanpa mengingkari martabat keduniawian.” Beliau mengarungi kehidupannya di muka bumi ini dalam kemandirian. Malah boleh dibilang kaya raya. Bahkan hingga akhir hayat, beliau sukses menata kehidupan putra putrinya, meninggalkan harta warisan untuk istri dan anak, cukup berlimpah. Baik berupa uang tunai maupun harta warisan dalam bentuk aset tak bergerak dan usaha.

Pengamatan penulis, beliau sepertinya sudah mendapat firasat tentang waktu berpulang ke rakhmatullah. Jauh sebelum wafat, beliau sudah mengalihnamakan bidang usahanya atas nama istri dan anak anak tercinta. Hingga (dan ini yang patut lebih diteladani dalam soal membantu menata kehidupan putra putri tercinta), pasca beliau wafat, selisik pun tidak pernah terdengar istri dan putra-putri tercinta berbicara tentang pembagian warisan, karena semua hampir sudah ditata beliau sebelum wafat.

Meski demikian, belasan tahun lamanya penulis mendampingi Mas Madji, tidak pernah beliau bicara soal harta dan kekayaannya. Sikapnya pun tetap bersahaja, terkesan sederhana.Penulis berani mengatakan, beliau adalah simbol kearifan hidup Setia Hati. Setia pada dirinya, istiqomah memegang teguh prinsip yang diyakini.

Beliau telah memberikan teladan, carilah bekal duniamu seakan-akan engkau akan hidup selama-lamanya. Dan carilah bekal akhiratmu, seakan-akan engkau akan mati besok pagi. Kita punya tanah puluhan hektare, misalnya, pada akhirnya toh akan ditinggal mati dan yang kita butuhkan liang lahat, seluas satu kali dua meter. Punya rumah mewah, villa bahkan hotel berbintang, sama saja, ketika kita berpulang, yang dibutuhkan hanya lobang sedalam satu atau satu setengah kali dua meter. Koleksi mobil mewah dari keluaran kuna hingga mutakhir, setali tiga uang. Saat kita kembali ke kampung abadi, yang dipakai hanya ambulance pinjaman, jika bukan ambulance ya keranda beroda manusia (rodane rupa manungsa, diusung dengan keranda). Punya jabatan bintang lima, tetap tak berbeda. Pada akhirnya hanya diam tak bergerak, ketika kerabat dan penggali kubur menginjak-injakan kaki di atas jasad kita. Lebih tragis lagi, ahli waris tercinta, kebanggaan adipeni saat kita hidup, begitu kita mati, merekalah yang justru mengubur jasad kita ke dalam tanah. Punya pakaian dari disainer kelas dunia, bahkan dua atau tiga almari, jika mati, yang dipakai hanya kain mori (kain kafan).

Kang Mas Soetomo Mangkoedjojo dan Kang Mas Darsono melanjutkan, sikap serupa diambil SH terhadap pelajaran pencak silat. Melihat jangkauan muara akhir yang hendak dicapai, Setia Hati tidak menempatkannya ajaran pencak silat dalam skala prioritas, --- yang penting justru ajaran untuk memiliki sejauh-jauh kepuasan/kenikmatan hidup abadi lepas dari pengaruh tempat, rangka dan suasana. Hal ini bukan khayalan tetapi sebenarnya semua hidup yang menghendakinya, hanya cara mencapai itu yang menentukan hasil, yang kebanyakan hasilnya lain dari apa yang dikejar. Kalau kita menginginkan sesuatu berarti ingin menikmati sesuatu itu. Pula dalam kehidupan kita sedapat mungkin kita ingin menikmati hidup ini.(andi casiyem sudin – bersambung)

Ikuti telaah Mukadimah SH Terate melalui link : www.shteratecantrik.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa dan Wasiat untuk Warga Baru SH Terate

Sekadar Syarat Bentuk Lahir

Menelaah Mukadimah SH Terate