Kepuasan Hidup Abadi

Kepuasan Hidup Abadi

(Telaah Mukadimah SH Terate –Bag 10)

Pada bagian sebelumnya, telah dijelaskan bagaimana sikap SH Terate terhadap teminologi keduniawian. Yakni, tidak boleh mengingkarinya, sepanjang fasilitas keduniawian itu tidak menjerumuskan diri kita.Alasannya, fasilitas merupakan daya dukung kehidupan di bumi, sekalipun hanya bersifat sementara. Tanpa didukung kelimpahan fasilitas penenuhan kebutuhan hidup (drajat, martabat, banda, bandu, bahu) kita tidak bisa menjalankan peran dengan sempurna sebagai sosok ksatria yang berkewajiban mamayu hayuning bawana.

Telaah pada Bagian ke Sepuluh ini merupakan kelanjutan telaah tentang keberadaan pencak silat sebagai proses pembentukan jatidiri, bukan tujuan akhir dari proses pembelajaran. Atau dalam bahasa mukadimah, "Maka SETIA HATI pada hakekatnya tanpa mengingkari segala martabat-martabat keduniawian, tidak kandas/tenggelam pada ajaran Pencak Silat sebagai pendidikan ketubuhan saja", atau hanya menjadikan pencak silat sebagai dasar pendidikan ragawi untuk lebih bisa menyelam ke dalam lambang pendidikan kejiwaan.

(10).Alinea kelima Mukadimah SH Terate kalimat kesepuluh berbunyi: (10) melainkan lebih menyelami ke dalam lambang pendidikan kejiwaan untuk memiliki sejauh-jauh kepuasan hidup abadi lepas dari pengaruh rangka dan suasana.

Inilah sebenarnya maksud “Setia Hati” untuk memiliki sejauh jauh kepuasan hidup abadi dengan mencarinya ke dalam hati nuraninya sendiri sendiri, dengan jalan setia kepada suara bathinnya. Di dalam hati nurani manusia ada nyanyian yang disebut-sebut suara batin (insan kamil), suara mana akan memberikan kepuasan dan kenikmatan hidup bila kita turut. (Ingat jangan keliru nafsu). Demikian Kang Mas Soetomo Mangkoedjojo dan Kang Mas Darsono, menjabarkan alinea ini.

Hanya pada paparan beliau yang mengatakan, “di dalam hati nurani manusia ada nyanyian yang disebut-sebut suara batin (insan kamil), suara mana akan memberikan kepuasan dan kenikmatan hidup bila kita turut,” barangkali butuh penjelasan lebih detil, karena ranahnya sudah masuk pada domain laku spiritual, laku personal dengan bimbingan sesepuh yang sudah menguasai di bidangnya. Pada bagian akhir kalimat di alinea kelima Mukadimah SH Terate, terdapat kata kepuasan hidup abadi. Secara harfiah, abadi (kata sifat) atau keabadian (nomina aktif) adalah sebuah satuan waktu yang tidak ada batasnya, atau waktu yang tidak berhingga, contoh perdamaian abadi, istirahat yang abadi. Hidup abadi juga bermakna mengarungi kehidupan dalam satuan waktu tak terhingga, lestari, baka, kekal, immortal (bhs Latin immortalis: tanpa kematian, abadi).

Mencermati kalimat tersebut, sepakatlah arah yang akan dicapai bukan hanya kebahagiaan hidup di muka bumi, karena kehidupan di bumi hanya sementara, bersifat sementara, semu dan fana, akan tetapi yang dimaksud kepuasan hidup abadi, jauh melampaui ruang waktu. Yaitu, kehidupan kekal abadi di akhirat, di alam keabadian. Satu kebahagiaaan hidup yang tidak lagi terpengaruh dengan rangka dan suasana (ruang dan waktu). Immortal, kekal, baka, dan terlepas dari satuan waktu, terlepas dari pemetaan ruang. Kebahagiaan dan kenikmatan tak terhingga setelah kehidupan di bumi, terminolgi reliji sepakat mengatakan kenikmatan dan kebahagiaan abadi di surga atau jannah, setelah manusia meninggal dunia. Namun demikian, yakinlah, bayang bayang kebahagiaan dan kenikmatan surga tersebut juga bisa dirasakan ketika kita masih hidup di bumi. Ringkasnya, kenikmatan dan kebahagiaan lahir batin dunia akhirat dengan titik berat pada kebahagiaan akhirat.

"Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurauan, perhiasan dan saling berbanga di antara kamu dan saling berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan di dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu. (QS 57 :al-Hadid - 20)" "Berlomba-lombalah kamu untuk mendapatkan ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasulNya. Itulah kerunia Allah , yang diberikan kepada siapa yang dia kehendaki. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.(QS: 57 –al Hadid-21).

Persoalan mendasar, bagaimana cara kita menuju kesana? Jawabnya, dengan jalan lebih menyelami ke dalam lambang pendidikan kejiwaan. Menyelami, artinya lebih mendalami dan menghayati, dengan jalan intens mempelajarinya, menganilis persoalan penyerta yang mengedepan, mengambil solusi bijak untuk menentukan jawaban akhir terhadap fenomena yang muncul di awal kajian. Apa yang kita selami ? Lambang kejiwaan, yaitu : dari kajian harfiah makna jiwa, apa saja sifat yang tersembunyi di dalamnya, bagaimana proses penciptaan jiwa dan akan menuju kemana jiwa setelah diciptakan (sangkan paraning dumadi), terakhir amalan atau laku atau model tirakat apa dan bagaimana yang yang harus dilakukan agar jiwa selamat dan bisa mencapai kebahagiaan abadi.

Mengambil reverensi ajaran Mangkunegara IV, dalam bait-bait wedhatama yang hingga kini masih melegenda dan monumental, disebutkan, dalam diri manusia terdapat tiga buah alat batin yaitu, kalbu, jiwa/ruh dan inti jiwa/inti ruh (telenging kalbu atau wosing jiwangga) yang memperlihatkan susunan urutan kedalaman dan kehalusannya. Masing-masing memiliki laku manembah atau tata cara yang berbeda. Pertama, sembah raga, kedua sembah cipta (kalbu), ketiga sembah jiwa, dan keempat sembah rasa.

Namun demikian, Kanjeng Gusti Mangkunegara IV, tetap menyarankan kepada pejalan makrifat (salik) agar konsiten menjalankan keempat laku menembah tersebut.Alasannya, keempat laku manembah tersebut adalah entitas tunggal, yang satu sama lainnya saling berkaitan, dukung mendukung dan wajib berpegang dengan syariat yang haq dengan menjalankan serta melengkapi semua rukun yang sudah ditetapkan oleh hukum syariat.

Sembah Raga, sebagai misal, sembah raga ialah menyembah Tuhan dengan melibatkan aktivitas ragawi (lahiriah). Maknanya, syarat dan rukun dalam proses menyembah dalam tahapan ini wajib dipenuhi secara ragawi, berdasarkan pada hukum-hukum syariat. Misalnya, harus terbebas dari hadas dengan bersuci (berwudhu) sebelum menjalankan shalat. Cara bersucinya sama dengan sembah yang biasa diamalkan oleh muslim, yaitu dengan mempergunakan air (wudhu). Sembah yang demikian wajib dikerjakan lima kali sehari semalam, dengan rukun dan syariat yang haq dan terus menerus, sepanjang hidup, dan atau biasa disebut sebagai shalat lima waktu yang dijadikan kewajiban seorang muslim. “sembah raga puniku / pakartining wong amagang laku / sesucine asarana saking warih / kang wus lumrah limang wektu / wantu wataking wawaton.”. Laku manyembah (shalat) itu merupakan kewajiban seorang yang ingin mendekat ke Tuhan. (sembah raga puniku, pakartining wong amagang laku). Sembah ini didahului dengan bersuci yang menggunakan air wudlu (sesucine asarana saking warih). Yang wajib ditunaikan sehari semalam lima kali (kang wus lumrah limang wektu). Sembah lima waktu merupakan shalat fardlu yang wajib ditunaikan (setiap muslim) dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya (wantu wataking wawaton). Sembah raga yang demikian ini wajib ditunaikan terus-menerus tiada henti (wantu) seumur hidup. Dengan keharusan memenuhi segala ketentuan syarat dan rukun yang wajib dipedomani (wataking wawaton). Tanpa dasar syarat dan rukun yang haq, maka sembah itu tidak sah.

Meskipun rukun sembah raga menekankan gerak lahiriyah, bukan berarti mengabaikan aspek rohaniah. Kanjeng Mangkunegara, dalam konteks ini menggunakan ungkapan pakartine wong magang laku. Ibarat seorang yang sedang dalam proses magang (apalagi magang pada Tuhan), maka dia harus hadir dalam totalitas eksistensi, hingga laku magangnya itu diterima dan kinerjanya dinilai baik (syah). Formatnya, untuk menduduki posisi yang tersedia secara berjenjang sebagaimana disebutkan di atas, yakni sembah raga, sembah cipta sembah jiwa hingga mencapai muara akhir, yaitu masuk ke tataran sembah rasa. Tataran laku sembah rasa ini merupakan tahapan pamungkas dalam ajaran laku manembah Mangkunegara IV, yang oleh beliau sendiri disebut sebut cukup berat dan gawat (iku luwih banget gawat neki), laiknya seorang berenang di lautan tak bertepi (sungapan ing lautan). Jika pada awal laku tidak didasari dengan kompas sebagai petunjuk arah yang jelas (hukum-hukum syariat), rawan tersesat.

Untuk lebih membuka wawasan batiniyah kita, dihadirkan di sini konsep hati, diri dan ruh, Robert Frager dalam bukunya yang sangat terkenal Heart, Self, & Soul. Frager adalah seorang ulama dan dikenal sebagai Seikh dan Mursid Tarikat Halveti -Jerrahi di Amerika Serikat. Tarekat ini didirikan Syekh Muhammad Pir Nurrudin al Jerrahi. Menurutnya, ada tiga unsur mendasar dalam diri manusia yakni hati, diri (nafsu), dan ruh. Berikut penjelasannya;

a. Hati

Hati yang dimaksud Robert Frager adalah hati spiritual. Orang yang tulus dan mempunyai niat baik dianggap sebagai seseorang yang ‘memiliki hati.’ Begitu pun sebaliknya, orang yang tidak mempunyai belas kasih adalah orang yang ‘tidak memiliki hati.” Menurut psikologi sufi sendiri, hati menyimpan kecerdasan dan kearifan yang terdalam. Salah satu dasar disiplin spiritual sufi adalah cinta, hati adalah domain dari cinta itu sendiri. Semakin kita belajar untuk lebih mencintai orang lain, maka semakin terbuka kemampuan dan hasrat mencintai dan dicintai Tuhan.

b. Diri

Robert Frager menyebutkan bahwa diri, jiwa, atau nafs (nafsu) merupakan sebuah aspek psikis pertama yang menjadi musuh terbesar dalam diri manusia. Tingkat terendahnya adalah nafs tirani – jiwa yang menyuruh kita kepada kejahatan. Alasannya karena kecenderungan yang negatif dapat mendominasi kehidupan manusia, layaknya seorang tiran yang memiliki kekuatan absolut. Nafs tirani ini adalah seluruh kekuatan dalam diri yang bisa menjauhkan manusia dari jalan spiritual. Kekuatan-kekuatan inilah yang menyebabkan rasa sakit dan penderitaan yang amat dahsyat. Tak hanya itu saja, nafs tirani juga bisa mendorong kita menyakiti orang-orang yang kita cintai. Di sisi lain, nafs yang suci dikenal sebagai tingkat nafs tertinggi. Di tingkat inilah kepribadian bagaikan kristal murni yang sempurna dan memantulkan cahaya ilahi, yang hampir tanpa cacat. Laku pengendalian diri (pengendalian nafsu), merupakan jalan lahirnya cinta kasih ilahiyah yang sempurna.

c. Ruh

Ruh dalam psikologi sufi mencakup jenis ruh manusia yang didasari oleh prinsip evolusi. Ruh ini memiliki tujuh aspek atau dimensi, yakni; mineral, nabati, hewani, pribadi, insani, dan rahasia serta maharahasia. Keseimbangan emosi dan hubungan yang sehat dan menyehatkan adalah sama pentingnya dengan kesehatan spiritual dan jasmani. Tujuannya adalah hidup sepenuhnya di dunia, namun tidak pernah merasa terikat kepadanya atau pun melupakan sifat dasar dan tujuan spiritual kita (hidup abadi lepas dari rangka dan suasana). Adapun fungsi psikis bersumber dari ruh pribadi kita yang terletak di otak, ruh pribadi ini menjadi tempat bernaungnya kecerdasan dan ego manusia.(andi casiyem sudin-bersambung)

Ikuti paparan Telaah Mujkadimah SH Terate yang dikemas secara bersambung di www.shteratecantrik.blogspot.com

Donasi Operasional Blog shteratecantrik.blogspot.com

Kirimkan donasi Anda ke

BNI Rek No 164 0744 137

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa dan Wasiat untuk Warga Baru SH Terate

Sekadar Syarat Bentuk Lahir

Menelaah Mukadimah SH Terate