Ngelmu Mangan Gak Enak

“Golek warung sing gak enak,nDik! (Cari warung makan yang tidak enak, nDik)” Permintaan itu hampir dipastikan akan disampaikan Kang Mas KRH.H. Termadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, setiap kali melakukan perjalanan berdua, bareng penulis, ke luar kota. “Awakmu kesel to? Luwe pisan. Golek warung sing gak enak. Nek ruh yo sing paling gak enak! (Kamu capek to? Lapar pula. Cari warung makan yang tidak enak. Kalau kamu tahu, warung yang paling tidak enak di kota ini!”

Awalnya, saya pribadi menganggap permintaan Mas Madji itu hanya guyonan (seloroh), untuk menghilangkan kepenatan setelah melakukan perjalanan cukup jauh. Namun, melihat kesungguhan kalimat beliau, saya pun akhinya yakin, permintaan tersebut serius.

Jika kota tersebut pernah kami singgahi, saya langsung melambatkan kendaraan dan berbelok ke arah lokasi daerah kumuh di kota setempat. Pasalnya, mencari warung dengan cita rasa khas alias tidak enak, paling gampang dijumpai di daerah kumuh pinggiran kota. Kalau tidak disitu, ya di pinggiran pasar tradisional. Namun di kota yang baru kami datangi, biasanya Mas Madji sendiri yang menentukan pilihan, setelah meminta saya melambatkan kendaraan dan beliau melihat-lihat ke luar dari cendela mobil.

Namun, tolong jangan buru-buru menuding Mas Madji kelewat pelit dan ngirit dengan kebiasannya itu. Karena, jujur saja, lintasan pemikiran itupun sempat nyantol di benak saya mula pertama mendampingi beliau. Tetapi, yang penulis dapatkan setelah lama bergaul dengan beliau, ternyata ada pelajaran cukup berharga di balik semua itu. Hikmah apa lagi itu? Nah ikuti dulu ceritanya, baru ambill hikmahnya.

Yang pasti, perilaku tersebut ternyata tidak ditujukkan Mas Madji manakala melakukan perjalanan luar kota berombongan dengan “Dulur Dulur SH Terate”. Jika tour berombongan, beliau lebih suka bersikap wajar dan condong mengikuti kemauan saudara-saudaranya. Makan di restauran eksklusif dengan menu khas kota setempat, nginap di hotel berkelas, istirahat di tempat yang nyaman dan menikmati fasilitas perjalanan laiknya warga berduit. Bukankah Mas Madji juga tajir? Beliau pengusaha Migas cukup sukses di Jatim, lho. Kecuali jika beliau ingin memberi pesan spiritual pada Dulur SH Terate yang jadi tuan rumah.

Contoh konkret saat Mas Madji hadir di SH Terate Cabang Pemalang, Jawa Tengah, dalam rangka membuka even Pencak Silat bertajuk Mas Madji Cup. Saat itu ketua Cabang setempat masih dipegang Dimas Taufik Rokhim.

Laiknya tuan rumah yang ingin menghargai tamu, terlebih tamunya adalah ketua umum SH Terate, Dimas Taufik pun mengajak Mas Madji makan malam. Kepada penulis, ketua cabang setempat mengatakan sudah mengagendakan makan malam beliau di rumah makan ternama dengan menu khas Pemali. Tak ingin mendahuli kerso, penulis hanya mempersilakan. Apalagi posisi penulis juga sama dengan beliau, sebagai tamu. Sekalipun Pemalang adalah tanah kelahiran penulis, tapi kehadiran saya ke cabang setempat bukan untuk mudik. Akan tetapi mendampingi beliau.

Saya pun hafal banget peta lokasi kuliner kota yang berbatasan Kabupaten Pekalongan dan Tegal itu. Begitu keluar dari hotel tempat menginap, saya mulai menduga-duga, jangan-jangan kebiasaan Mas Madji memberi pelajaran secara simbolis lewat perilaku, muncul ke permukaan. Dan, ternyata benar. Kepada Dimas Taufik Rokhim, beliau meminta dicarikan warung yang paling tidak enak di kota setempat. ”Kulo sampun pesen tempat Mas, (Saya sudah booking tempat, Mas) ” ungkap Dimas Taufik dengan raut wajah yang menandakan tidak percaya dengan apa yang barusan dikatakan Mas Madji.

“Sing arep mok jak mangan iku sapa? Aku to? Ya sakarepku. Terno aku ning warung sing gak enak nDik. Kowe apal daerahmu kan?” (Yang mau kamu ajak makan itu siapa? Aku to? Ya sesuka saya. Antar saya ke warung yang paling tidak enak, Ndik. Kamu hafal daerahmu, kan?), kata Mas Madji mengalihkan pembicaraan ke penulis. Spontan saya pun memberi isyarat pada Dimas Taufik untuk diam dan menuruti kemauan Mas Madji. Wajah Dimas Taufik memerah dan memucat, keheran-heranan. Al hasil, kamipun akhirnya menuju centra kuliner Khas Pemalang. Tapi tidak memilih stan warung yang berada di depan. Yang kami pilih justru warung yang berada di belakang, sebuah warung kumuh dengan penerangan remang remang.

Saya hanya tersenyum, saat melihat dulur-dulur yang mengantarkan Mas Madji, migrang-migring (terkesan sungkan) saat masuk ke dalam warung. Sementara beliau sendiri dengan santai langsung duduk di bangku panjang yang tersedia dan memesan menu yang tersaji di warung setempat. Tanpa sungkan beliau menikmati sajian makan malam di warung remang-remang dengan menu rakyat jelata dan cita rasa biasa-biasa saja, bahkan cenderung tidak enak itu.

Selepas makan malam di warung gak enak, Mas Madji baru ngajak menikmati keindahan malam di Kota Pemalang. “Nek awakmu pengin ngerti nyapa aku milih warung sing gak enak takono Andik, (Jika kamu ingin mengerti kenapa saya memilih makan di warung yang gak enak, tanya ke Andik, penulis)” ujar Mas Madji pada Dimas Taufik, saat kami kembali ke hotel.

Suatu ketika saya memberanikan diri bertanya pada Mas Madji soal kesukannya ngajak makan di warung gak enak. Menurut beliau, makan adalah apresiasi tertinggi citarasa seseorang, dan erat kaitannya dengan hasrat kejiwaaan. Karenanya, makan juga bisa dijadikan media instropeksi. Dengan memilih makan di warung gak enak, beliau mengaku bisa flash back ke masa lalu, saat beliau belum mencapai puncak kesuksesan ekonomi. Setidaknya, untuk mengingatkan, bahwa sesungguhnya sebelum berhasil mencapai posisi atas, beliau tak lebih dari manusia awam, manusia biasa yang tidak diperhitungkan. Sama seperti halnya orang orang yang makan bareng beliau di warung gak enak. Beliau menyebutnya sebagai “Pangeling-eling kareben ora lali marang kawitane.” (Media pengingat agar tidak lupa dengan awal kehidupannya). Atau kadangkala beliau menyebut “Ngelmu mangan gak enak”.

“Orang Terate itu kalau bisa sing gedhe tirakate, harus banyak tirakat. Dalam hal apa saja,” kata Mas Madji.” Gak kemrungsung (tidak galau). Tidak emosional, tidak gusar, tidak adigang adigung, adiguno.”

Contohnya, lanjut beliau, bagaimana kita bisa menikmati makanan yang menurut orang lain gak enak. Dengan laku ini, kita bisa selalu ingat bahwa masih banyak orang-orang di kanan kiri kita yang hanya bisa menikmati makanan seadanya. Pokok perut kenyang, bisa bekerja lagi dan bisa bertahan hidup. Jadi hari-hari orang-orang SH Terate itu dipenuhi tirakat. Rialat dan selalu bersyukur menerima suratan Allah.

Dengan laku tersebut, Mas Madji mengaku bisa menekan hasrat hewani yang cenderung suka makan, pamer kadigdayan dan sombong. Ingat, sombong adalah gerbang kehancuran. Laksana ujung belati, kesombongan jika tidak segera dimasukkan ke dalam sarung kearifan akan menusuk dan membunuh diri sendiri. Menghancurkan masa depan, martabat dan nilai ikhsani.

Hikmah lain yang bisa diambil dengan “ngelmu mangan gak enak”, bisa mengurangi hedonisme, suka mengejar kenikmatan. Padahal kenikmatan duniawi, tak ubahnya seperti pupuk penyubur kebangkitan nafsu. Terutama nafsu lawamah dan supiah yang berpotensi menumbuhkan kemalasan dan suka mengejar kenikmatan dan pujian.

Mas Madji mengatakan, didikan di SH Terate itu mendidik jiwa. “Yang kita bangun adalah jiwa.Itu butuh waktu. Butuh kesabaran dan kesempatan. Tidak sehari dua hari jadi. Tidak seperti membalik telapak tangan,” katanya.

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu (QS. al-Baqarah: 168)

“Janganlah sekali-kali makan dan minum terlalu kenyang karena sesungguhnya hal tersebut dapat merusak tubuh dan dapat menyebabkan malas mengerjakan salat, dan sederhanakan kalian dalam kedua hal tersebut, karena sesungguhnya hal ini lebih baik bagi tubuh, dan menjauhkan diri dari sifat israf (berlebihan).” (H.R.Bukhari)

Dari Abu Hurairah, ia berkata,“Tidaklah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela suatu makanan sekali pun dan seandainya beliau menyukainya maka beliau memakannya dan bila tidak menyukainya beliau meninggalkannya (tidak memakannya).” (HR. Bukhari).


Satu lagi, hikmah yang bisa diambil, adalah menumbuhkan nilai sosial, terutama berbagi kebahagiaan dengan sesama. Warung dengan cita rasa menu makanan yang gak enak, biasanya jarang dikunjungi pembeli. Padahal, pemilik warung berharap, dagangannya laku dan bisa mendapatkan keuntungan. Setidaknya bisa kembali modal untuk belanja bahan kebutuhan warung makan di hari hari berikutnya. Untuk kembali melanjutkan perjuangan hidup dan kehidupannya. Membantu membiayai sekolah anak anak dan lain sebagainya. Dengan singgah di warung gak enak, paling tidak kita bisa membantu meringankan beban perjuangan pemilik warung mengembalikan modal usaha ___ yang biasanya cenderung pas-pasan.

Apalagi, lanjut Mas Madji, jika kita mau melebihkan pembayaran kita dan memberikan uang pengembalian itu pada pemilik warung, sebagaimana kebiasaan beliau. Buahnya, adalah rasa sukacita pemilik warung yang kemudian muncul ke permukaan dalam bentuk doa. “Matur nuwun njih, Pak. Matur nuwun. Kula dongaake rejeki sampean tambah, berkah njih Pak, berkah.” (Terimakasih, Pak, terimakasih. Saya doakan rejeki sampean tambah, berkah ya Pak, berkah).

Menurut Juliet Boghossian, seorang food expert, pengamat psikologi dan perilaku makan, menyebutkan karakter seseorang bisa diketahui dari pola makan yang dilakukan. Yakni :

1. Makan dengan Lambat : Seseorang yang makan dengan lambat biasanya mencerminkan sikap yang lebih memperhatikan kualitas daripada kecepatan. Pasalnya, orang yang makan dengan lambat biasanya menunjukkan bahwa ia menikmati setiap kualitas dari santapan tersebut.

2. Makan Cepat : Terbiasa makan dengan cepat adalah ciri dari seseorang yang biasanya bisa mengerjakan banyak hal sekaligus alias multitasking. Biasanya orang dengan kebiasaan makan seperti ini pintar dalam membagi waktu dan menyelesaikan setiap tugas tepat pada waktu yang sudah ditentukan. Sayangnya kebiasaan makan cepat sering pula diidentikkan dengan seseorang yang suka menyendiri.

3. Makan dengan Aktif : Aktif yang dimaksud adalah perasaan tak ragu untuk memilih jenis makanan apapun yang terhidang di meja. Orang yang memiliki kebiasaan makan seperti ini disebut memiliki hasrat yang tinggi untuk berpetualang. Mereka pun biasanya tidak mengenal rasa takut dalam menyampaikan pendapat serta berani mengambil risiko.

4. Pemilih : Suka berada di zona nyaman dan tidak berani menghadapi hal baru adalah ciri dari orang yang biasa memilih-milih makanan. Meski demikian, rasa ingin tahu yang tinggi adalah hal yang patut dibanggakan dari orang dengan gaya makan ini. Hal itu membentuk mereka lebih aktif bertanya dan memiliki pengetahuan yang luas.

5. Membagi Makanan di Piring : Pernah lihat orang yang punya kebiasaan memisahkan dan membagi tempat untuk makanan di piring mereka? Maksudnya memisahkan tempat antara nasi, sayuran dan lauk pauk karena tak suka jika makanan tersebut saling bercampur. Kebiasaan ini merupakan tanda orang yang cenderung berhati-hati dalam mengambil keputusan serta suka mengerjakan pekerjaan sesuai petunjuk.

6. Mencampur Makanan : Bagi pencinta kuliner, ada istilah “dicampur” atau “dipisah”. Hal ini merujuk pada cara penyajian dan menikmati makanan. Seperti makan bubur diaduk, atau makan soto dan nasi di dalam satu mangkuk yang sama. Orang-orang yang punya kebiasaan makan dicampur memiliki kepribadian yang ramah, mudah bergaul, santai serta bisa bertanggung jawab pada banyak masalah. (acs)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa dan Wasiat untuk Warga Baru SH Terate

Sekadar Syarat Bentuk Lahir

Menelaah Mukadimah SH Terate