Sejarah SH Terate

Pengantar :

Sejarah perkembangan Persaudaraan Setia Hati Terate (selanjutnya hanya ditulis SH Terate) ini merupakan hasil investigasi dan olah data yang dilakukan oleh Andi Casiyem Sudin. Dia tercatat sebagai cantrik setia Kang Mas KRH.H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, ketua umum SH Terate, pereode 1981-2014). Penulis juga tercatat sebagai mantan Pengurus SH Terate Pusat Madiun, di Departemen Humas, dalam beberapa pereode.

Saat menyusun catatan sejarah ini, penulis masih aktif sebagai Redaktur Pelaksana dan Koordinator Liputan Jawa Pos, Radar Madiun. Sebelumnya dia tercatat sebagai wartawan Suara Karya,GM merangkap Pimred Lawu Pos dan sempat pula menjadi koresponden Majalah berbahasa Jawa, Panjebar Semangat.Mengawali kariernya sebagai penulis fiksi, Andi Casiyem Sudin akhirnya memilih berkarier sebagai wartawan setelah berkeluarga.Berapa karyanya sempat mewarnai khasanah sastra di Tanah Air, baik karya berbahasa Indonesia maupun Jawa.

Catatan sejarah ini sudah dibukukan bertajuk "Sejarah SH Terate dan Persaudaraan Sejati", diterbitkan oleh Yayasan Setia Hati Terate. Alhamdulillah buku tersebut dijadikan referensi untuk menyusun skripsi maupun tesis oleh kalangan akademisi serta referensi menulis artikel oleh penulis lepas.Data mutakhir, terutama yang tersaji di bagian alenia-alenia akhir tulisan ini, penulis kutip dari situs resmi yang diterbitkan SH Terate.

Latar belakang profesi penulis kental mewarnai gaya investigasi dan diksi dalam alur kepenulisan sejarah ini. Yang pasti, masih banyak data tercecer dan belum terangkum dalam tulisan ini, dan terbuka peluang untuk melakukan kajian lebih dalam untuk mendapatkan sebuah karya alur sejarah yang jauh mendekati kemurniannya.

Penulis berharap masukan dari pembaca, terutama temuan data akurat seputar perkembangan SH Terate, untuk melengkapi tulisan ini. Bagi pembaca yang berniat mengirimkan data sejarah perkembangan SH Terate bisa dikirim ke Email penulis : andicasiyem@gmail.com. Laiknya menabur benih, yakinlah, ia akan tumbuh jadi tanaman, bercabang-cabang dan buahnya tak akan dipanen kecuali oleh penabur benih itu sendiri.

Catatan ringkas Perkembangan Persaudaraan SH Terate ini, belum dan/atau bukan tulisan final, penulis akan terus melakukan koreksi dan update data secara berkala. Semoga bermanfaat. _____________

CATATAN RINGKAS PERKEMBANGAN PERSAUDARAAN SETIA HATI TERATE

MASA PERINTISAN (Tahun 1922 – Tahun 1952 )

Tahun 1922

Persaudaraan Setia Hati Terate (selanjutnya hanya ditulis SH Terate) pada awal perintisannya merupakan perguruan seni bela diri tradisional pencak silat yang didirikan oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo, warga Desa Pilangbango, Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun, pada tahun 1922. Beliau merupakan murid dari Ki Ngabehi Soerodiwirjo, pendiri aliran pencak silat Setia Hati (SH – lebih dikenal dengan nama SH Winongo), yang berpusat di Desa Winongo, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun.

Desa Pilangbango pada era pemerintahan Kolonial Belanda merupakan sebuah desa yang berada di wilayah Kecamatan Wungu, Madiun (sekarang Desa Pilangbango berubah status menjadi kelurahan, masuk wilayah Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun).

Hasil penelusuran dan olah data yang dilakukan Andi Casiyem Sudin, menunjukkan, di awal perintisan, perguruan Pencak Silat ini merupakan tempat berkumpul dan diskusi sejumlah pemuda dan teman seperjuangan Hardjo Oetomo. Di sela-sela diskusi, mereka diajari pencak silat Djojo Gendilo Ciptomuljo, ciptaan Ki Ngabehi Soerodiwirjo. Ilmu pencak silat tersebut dikuasai Ki Hadjar setelah beliau bertahun tahun berguru pada Ki Ngabehi di SH Winongo.(Artikel seputar makna Djojo Gendilo Ciptamuljo dan perjalanan Ki Ngabehi Soerodiwirjo menuntut ilmu pencak silat: insya Allah akan penulis sajikan dalam tulisan terpisah).

Berdasarkan dokumen yang dimiliki KRH.H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, Ketua Umum S H Terate Pusat Madiun (pereode 1981-2014), menyebutkan, latihan pencak yang digelar Hardjo Oetomo saat itu, secara implisit diformat sebagai ajang pembekalan (basis) pemuda untuk melawan penjajahan Belanda. Jiwa patriotisme beliau tidak rela tanah air tercinta dijajah bangsa lain. Demi memenuhi dharma bhakti kepada bumi pertiwi, setelah membuka tempat latihan di Pilangbango, sebagai basis pelatihan pemuda pejuang di desa setempat, beliau juga membuka tempat latihan pencak silat di daerah lain, seperti Loceret-Nganjuk, Pare-Kediri dan beberapa kota lain di Jatim.

Kajian data hasil penelusuran yang besumber dari catatan pribadi (buku harian) yang ditulis sendiri oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo, menyebutkan, beliau membuka latihan pencak silat dengan niat mulia. Yakni, mengembangkan ilmu pencak SH ke masyarakat kecil (rakyat jelata) dan para pejuang perintis kemerdekaan. Sebelumnya, ada kecenderungan ilmu pencak SH diajarkan kepada kaum bangsawan. Sebut misalnya, kerabat Bupati, Wedana, Mantri Polisi dan masyarakat bedarah biru atau kaum bangsawan. Dalam stratafikasi sosial masyarakat Jawa, komunitas kaum bangsawan ini biasanya memakai gelar Raden (R) di depan namanya. Misalnya, Raden Mas (RM), Raden Ajeng (RA), Raden Bagus (RB), atau juga Kanjeng Raden Arya Tumenggung (KRAT). Kanjeng Raden Haryo (KRH) atau gelar lain yang serupa.

Sejumlah dokumen menyebutkan, terdapat beberapa alasan mendasar yang memantik niat Ki Hadjar membuka latihan dan mendirikan perguruan pencak silat “baru”. Yakni, terjadi silang pendapat cukup prinsip antara beliau dengan Ki Ngabehi Soerodiwirjo.

Selain alasan tersebut di atas, Ki Hadjar tidak sependapat jika ilmu SH diajarkan kepada anak anak Belanda. Sebab hal itu bertentangan dengan prinsip beliau, yang ingin menjadikan pencak silat, sebagai basis pelatihan pemuda dalam rangka menyusun kekuatan melawan penjajah.

Ditengarai, lantaran keberanian Ki Hadjar Hardjo Oetomo membuka tempat latihan baru ini, beliau dan siswanya sempat diolok-olok oleh sebagian siswa Ki Ngabehi Soerodiwirjo, sebagai kelompok “SH Murtad”. Artinya tidak setia terhadap SH Winongo di bawah kepemimpinan Ki Ngabehi.

Ki Hadjar Hardjo Oetomo baru memberi nama latihan pencak silat yang didirikan itu pada tahun 1924, dengan nama Setia Hati Pemuda Sport Club. Nama itu disingkat oleh beliau sendiri dengan singkatan SH PSC. Itu setelah beliau bertemu dan berdiskusi dengan Amin Kuseri, seorang guru SR (sekolah rakjat) di Pare, Kediri. Di tempat ini, beliau juga sempat membuka tempat latihan.

Dalam buku hariannya itu, beliau menandaskan, sekalipun pemberian nama perguruan pencak silat SH PSC terjadi di Pare, Kediri, pusatnya tetap berada di Pilangbango, Madiun, kediaman beliau.

Tradisi komunikasi sosial yang dikembangkan di awal berdirinya SH PSC adalah “paguron” (perguruan pencak silat), dengan sistem kepemimpinan paternalisme (pola kepemimpinan yang menempatkan sosok patron (tokoh) atau guru berada pada posisi puncak atau pucuk pimpinan.

Selain dijadikan ajang olah kanuragan, SH PSC secara implisit diformat menjadi basis pelatihan dan pendadaran pemuda dalam pergerakan menentang penjajahan Belanda.

Karenanya, meski baru seusia jagung, SH PSC diawasi ketat oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Catatan singkat sejarah perjuangan Hardjo Oetomo, yang ditulis oleh istri beliau, Ibu. Inem Hardjo Oetomo, disebutkan, pada tahun 1924, beliau ditangkap Belanda karena melakukan gerakan menentang Pemerintah Kolonial Belanda di Madiun dan dihukum selama 3 (tiga bulan). Hukuman itu dijalankan di Talang, Djember (Jember).

Berdasarkan catatan tersebut, berarti beliau ditangkap dan dipenjara kolonialis beberapa bulan setelah mendirikan SH PSC di Pare, Kediri. Keluar dari penjara Talang, Jember, ternyata semangat Hardjo Oetomo dalam gerakan perintisan kemerdekaan semakin berkobar. Aksinya ini menjadikan pemerintah kolonial Belanda semakin berang.

Tahun 1925, Hardjo Oetomo ditangkap lagi dan dipenjara selama 6 bulan. Istri beliau, saat itu juga ikut ditangkap dan di bawa ke Bereau Velpolitie. Tapi dipulangkan lagi setelah menjalani interograsi dan menandatangani berkas perkara pemeriksaan.

Selang tiga bulan berada di penjara Pemerintah Kolonial Belanda, beliau dipanggil dan dibawa ke pengadilan (landraad) Belanda dengan tuduhan merencanakan aksi pemogokan dan menentang kebijakan peperintah kolonial di dalam penjara. Sidang mejelis hakim Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan, Hardjo Oetomo divonis hukuman penjara selama 5 tahun.

Vonis penjara 5 (lima) tahun itu dijalankan setelah Hardjo Oetomo menyelesaikan masa hukuman enam bulan di Talang, Jember. Berdasarkan putusan itu pula beliau dipindahkan dari penjara Talang, Jember ke penjara Tjipinang (Cipinang). Dua tahun berada di dalam penjara Cipinang, Hardjo Oetmo, kembali melakukan gerakan melawan kebijakan penjajah. Karenanya, Pemerintah Kolonial Belanda mengambil langkah mengasingkan beliau ke penjara Padang Panjang (Sumatera). Catatan itu juga menyebutkan, beliau sebenarnya sudah masuk dalam deretan nama-nama pejuang Perintis Kemerdekaan RI yang akan dibuang ke Boven Digul. Tapi hukuman itu urung dijalankan karena dia sudah menjalani hukuman selama 3 tahun di penjara Padang Pandjang.

Catatan ringkas perjalanan SH Terate yang dibuat oleh Darsono Hardjendro (wakil ketua SH Terate di tahun 1948) , menyebutkan, sekembali dari penjara Padang Pandjang, kehidupan Hardjo Oetomo cukup menderita. Untuk menopang kehidupan rumah tangga, beliau sempat berganti-ganti berprofesi. Antara lain, menjadi mandor pabrik tenun, pukrul (pengacara). Bahkan pernah menjadi wartawan dan menerbitkan media masa (surat kabar atau koran). Surat kabar yang didirikan Hardjo Oetomo berbentuk mingguan (tabloid) yang diberi nama “KEINSYAFAN RAKJAT”. Di media ini belaiau menjabat sebagai Pemimpin Redaksi.

Tapi tidak lama kemudian, Mingguan KEINSYAFAN RAKYAT diberedel (dilarang terbit) oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Alasannya, media itu dijadikan alat propaganda pergerakan menentang penjajahan di tanah air tercinta.

Setelah upaya pemberedelan tabloid tersebut, gerak gerik Hardjo Oetomo terus diawasi. Bahkan, untuk memperketat pengawasan, Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan pos penjagaan di depan rumah beliau di Pilangbango.

Mamasuki tahun 1938, kondisi phisik Hardjo Oetomo mulai menurun. Dia menderita sakit stroke dan separo badannya tak bisa digerakkan. Karena keterbatasan itu, kegiatan SH PSC diamanatkan kepada sejumlah siswanya. Konsep kepemimpinan kolektif kolegial atau team work mulai dikembangkan, guna mengisi kevacuman posisi tampuk pimpinan.

Pada masa pendudukan Jepang, tahun 1942 , SH PSC berganti nama menjadi Setia Hati Terate (SH Terate). Nama ini merupakan usulan Soeratno Sorengpati, tokoh perintis kemerdekaan dari Indonesia Muda, salah satu siswa SH Terate saat itu. Salah satu alasan yang mendasari pergantian nama itu, antara lain, agar SH PSC tidak lagi dicap sebagai pemberontak seperti pada zaman penjajahan Belanda.

Sekalipun sudah berubah nama menjadi SH Terate, konsep komunikasi yang dikembangkan di kalangan warga SH Terate, pada era ini, masih tetap memakai konsep “paguron” (perguruan) pencak silat. Hirarki kepemimpinan masih dipegang guru, dalam hal ini Hardjo Oetomo.

Atas izin Hardjo Oetomo, pada bulan Juli 1948, digelar konferensi (musyawarah antar warga SH Terate) di kediaman beliau di Pilangbango, Madiun. Sejumlah murid beliau mulai tampil ke depan. Sebut, misalnya, Soetomo Mangkoedjojo, Darsono, Soemadji, Badini dan Irsad. Saat ini beliau dalam kondisi sakit. Separo badannya tak bisa digerakkan. Temu kadang tersebut melahirkan mufakat, bahwa kegiatan SH Terate harus tetap berjalan dan berkembang. Karena beliau sudah tidak bisa melakukan aktivitas, kegiatan latihan pencak silat mulai diamanatkan kepada murid muridnya.Kemudian, digagas perubahan sistem komunikasi di tubuh SH Terate. Yakni, dari sistem perguruan pencak silat ke sistem organisasi persaudaraan.

Pada tahun 1950 Ki Hadjar Hardjo Oetomo, mendapat pengakuan dan penghargaan dari pemerintah RI sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan RI.Penghargaan ini diberikan atas jasa beliau berjuang melawan Belanda. Pada tanggal 12 April 1952 Ki Hadjar Hardjo Oetomo wafat dan jenazahnya dimakamkan di tempat pemakaman umum (TPU) Kelurahan Pilangbango, Madiun.

Ki Hadjar Hardjo Oetomo meninggalkan seorang istri, Ny. Inem dan dua orang putra yang diberi nama Harsono dan Harsini. Baik istri maupun putra beliau, Harsono, saat buku ini disusun Th 2013, sudah wafat. Jenazah Harsono, putra Ki Hadjar dimakamkan di lokasi pemakaman yang sama.

Keberadaan Hardjo Oetomo sebagai pendiri, sekaligus pelatih atau guru pencak silat, menduduki posisi patron. Karena posisinya ini, beliau cukup disegani dan dihormati, murid-muridnya.Penghormatan itu kemudian diwujudkan dengan penghargaan, berupa julukan (gelar) “Ki Hadjar” (diambil dari akar kata dalam bhs Jawa: “ajar” yang artinya pelatih atau pendidik, pengajar.). Dalam perkembangannya, nama pendiri SH Terate disebut lengkap dengan gelarnya. Yaitu, Ki Hadjar Hardjo Oetomo.

B. MASA TRANSISI (Tahun 1953 – Tahun 1980)

Tahun 1953 Pasca wafatnya Ki Hadjar Hardjo Oetomo, kegiatan SH Terate diteruskan para siswanya. Jumlah anggota yang ikut bergabung, satu demi satu mulai bertambah searah perjalanan waktu. Era kemerdekaan bergulir pelan tapi pasti dan kegiatan SH Terate yang pada masa kolonial diawasi dan dibatasi, ikut merdeka. Ruang gerak warga masyarakat dalam mengembangkan kreativitas, terbuka lebar. Belenggu kolonialisme tak lagi ada, berganti era harapan baru untuk berjuang demi mengisi kemerdekaan.

Sejalan dengan itu, mulai muncul pemikiran tentang format penataan program kegiatan. Posisi “guru” atau pemimpin SH Terate yang vakum setelah Ki Hadjar Hardjo Oetomo wafat, sudah selayaknya diisi. Gagasan perubahan sistem komunikasi di tubuh SH Terate yang pernah dibicarakan dalam konferensi di Pilangbango pada tahun 1948, semakin mengerucut. Puncaknya pada tanggal 13 September 1953, dengan digelarnya konferensi SH Terate Jl. Diponegoro No.45 Madiun, kediaman Soetomo Mangkoedjojo.

Konferensi SH Terate saat itu menelorkan sejumlah keputusan penting, antara lain: 1. Menyusun Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) SH Terate yang pertama. 2. Mengangkat Soetomo Mangkoedjojo sebagai Ketua SH Terate Pusat. 3. Untuk menghargai jasa Hardjo Oetomo yang telah berjuang mendirikan perguruan pencak silat ini, SH Terate memberikan gelar kehormatan kepada beliau dengan Ki Hadjar. 4. Istri beliau, Ibu Inem Hardjo Oetomo diposisikan sebagai Ibu SH Terate. 5. Sementara itu, untuk lebih mengefektifkan program latihan pencak SH Terate, Santoso dan Badini diangkat sebagai pelatih.

Mengapa langkah pembaharuan itu ditempuh? Alasannya, pertama agar SH Terate mampu mensejajarkan kiprahnya dengan perubahan zaman dan pergeseran nilai-nilai komunitas yang melingkupinya. Dengan perubahan sistem komunikasi di tubuh SH Terate dari “paguron” atau “perguruan” menjadi organisasi yang bertumpu pada “persaudaraan”, berarti gaung pembaharuan telah diluncurkan dan proses perubahan telah digelar. Yaitu: perubahan roh organisasi dari sistem tradisional ke organisasi modern. Dengan konsep ini, kelak SH Terate diharapkan mampu menjawab tantangan kehidupan yang semakin kompleks.

Alasan kedua; agar SH Terate tidak dikuasai dan bergantung pada orang-perorang, sehingga kelangsungan hidup organisasi dan kelestariannya lebih terjamin. Meski roh organisasi sudah bergeser dari perguruan pencak silat berubah jadi organisasi persaudaraan, namun dalam konsepsi keilmuan (terminologi ke-SH-an), tradisi paguron masih tetap dipertahankan. Ini mengingat bahwa SH Terate lahir dari akar budaya pencak silat yang tetap ngugemi prinsip prinsip patrinalisme.

Lain kata, konsepsi demokratisasi lebih dikedepankan dalam penataan organisasi. Sementara dalam prosesi pewarisan keilmuan, tradisi paguron atau perguruan pencak silat masih dipegang teguh oleh tokoh tokoh SH Terate. Dan ini, harus diakui, terus dipertahankan turun temurun, hingga era kepemimpinan RM Imam Kesoepangat dan era kepemimpinan KRH H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE. Sebab berdasarkan kajian empiris, tradisi paguron ini justru merupakan roh yang memberikan kekuatan nilai nilai persaudaraan dan kesetia-hatian (ke-SH-an).

Terpilihnya Soetomo Mangkoedjojo sebagai Ketua Pusat SH Terate pada periode ini, merupakan pilihan yang tepat. Beliau dikenal sebagai tokoh yang cukup arif dan bijaksana. Sosoknya tinggi, tegap dan penampilannya berwibawa. Beliau juga setia dan tegas dalam mengambil keputusan serta teguh dalam memegang prinsip. Satu lagi, pandangannya cukup luas dan terbuka. Beberapa sumber yang berhasil ditemui menuturkan, di balik sosok tinggi dan tegap yang dimiliki beliau, tersembunyi kesantunan kepada sesama.

Dalam tahun 1956, Soetomo Mangkoedjojo pindah tugas dari BRI Cabang Madiun ke BRI Surabaya (Kaliasin), jabatan Ketua SH Terate digantikan Irsyad. Sedangkan jabatan sekretaris diamanatkan kepada Soedarsono. Pak Irsyad dikenal sebagai pendekar yang menguasai teknik beladiri cukup matang. Pada era kepemimpinan beliau ini, dilakukan penggalian teknik dan akurasi gerakan pencak silat. Beberapa gerakan jurus SH dicermati dan dikaji ulang. Gerakan, terutama pada serangan yang menurut keyakinannya lemah, dicoba untuk lebih diakurasikan. Pendalaman, penelitian dan kajian yang dilakukan Irsyad ini, melahirkan sejumlah gerakan teknik yang kemudian dipakai untuk mengakurasikan beberapa gerakan jurus di SH Terate.

Pada saat beliau menjadi ketua pusat, dari uji materi dan pendalaman akurasi jurus, lahir sejumlah temuan : 1. Beberapa gerakan jurus, sebut misalnya, Jurus 1 sampai dengan Jurus 4, diakurasikan. Terutama pada gerakan serangan. Sebelumnya pukulan pada Jurus 1 adalah mbandul , diakurasikan menjadi menohok. Kemudian gerak colok yang semula hanya dengan dua jari, diakurasikan dengan lima jari yang dirapatkan hingga makin bertenaga. Gerakan jurus lain yang disempurnakan adalah jurus delapan. Yaitu dengan perubahan pasangan nangkis dan tendangan dua kali.

2. Sementara untuk mendasari gerakan siswa SH Terate, diciptakan gerakan senam dari senam 1 (satu) hingga senam 90 (sembilan puluh).

3. Pada era kepemimpinan Irsyad ini juga lahir keputusan penting lainnya. Yakni, penciptaan Kode Pendekar SH Terate. Beliau sendiri yang menciptakan. Salah satu alasan penciptaan Kode Pendekar, karena jumlah warga SH Terate saat itu sudah mulai banyak, sehingga di antara warga mulai tidak saling mengenal karena beda tempat latihan dan pengesahan.

Dengan Kode Pendekar SH Terate ini, seorang warga bisa melakukan deteksi secara akurat, apakah orang yang baru dikenal itu warga SH Terate atau bukan. Sambil berbasa basi, misalnya, dia secara diam diam memberikan Kode Pendekar SH Terate kepada orang yang baru dikenalnya. Jika kode itu dijawab dengan tepat, berarti orang yang baru dikenalnya itu warga SH Terate. Sudah barang tentu, karena bertemu saudara seperguruan, kedua orang yang baru saling mengenal itupun berangkulan. Menyatu dalam rasa, seakan tak ada lagi sekat di antara mereka.

Selain itu, Kode Pendekar SH Terate juga bisa digunakan untuk mendeteksi, apakah seseorang yang mengaku sebagai warga SH Terate, benar benar warga atau bukan (warga awu awu alias bohong). Kode Pendekar SH Terate yang diciptakan Mas Irsyad tersebut sampai sekarang masih digunakan dan diberikan kepada anggota SH Terate yang sudah disyahkan menjadi warga.

Penciptaan senam dan penyempurnaan jurus ini juga diyakini agar SH Terate tidak lagi diperolok sebagai “SH Murtad” oleh sekelompok orang yang merasa memiliki atau merasa sebagai ahli waris (trah) SH yang didirikan Ki Ngabehi Soerodiwirjo. Salah seorang murid Irsyad yang langsung menerima pelajaran senam 1 (satu) sampai dengan 90 (sembilan puluh) dan pendalaman akurasi jurus, adalah RM Imam Koesoepangat.

RM Imam Koesoepangat, lebih akrab dengan panggilan Mas Imam, mulai latihan SH Terate tahun 1953. Selama tiga tahun beliau berlatih di bawah asuhan langsung Irsyad. Boleh dibilang, pendalaman teknik dan akurasi jurus serta senam yang dilakukan pada era kepemimpian beliau diajarkan kepada Mas Imam. Mas Imam disyahkan penjadi Pendekar SH Terate pada tahun 1958.

Dalam perkembangannya, anak didik langsung Pak Irsyad yang satu ini, muncul sebagai tokoh yang cukup diperhitungkan. Tahun 1959, Mas Imam, panggilan akrab RM Imam Koesoepangat, mulai melatih. Mas Tarmadji (Ketua Umum SH Terate Pusat Madiun pereode 1981-2014) adalah anak didik langsung Mas Imam. Menurut penuturan Mas adji, beliau adalah sosok pendekar yang santun dan berwibawa. Jika melatih di depan siswanya, beliau cukup tegas, keras dan disiplin. Ucapan dan perilakunya konsisten. Jika bilang A maka yang beliau lakukan juga A.

Selama Mas Madji dilatih beliau, senam dan jurus yang diajarkan beliau adalah senam dan jurus yang sampai sekarang diajarkan kepada siswa SH Terate. Sejak saat itu pula, gerakan yang diberikan kepada siswa SH Terate adalah gerakan senam dan jurus yang diberikan Mas Irsyad kepada Mas Imam, dan diturunkan kepada siswa beliau. Dalam perkembangannya, senam dan akurasi jurus pada era Mas Irsyad ini yang akhirnya dijadikan gerakan baku pencak silat SH Terate.

Pada kisaran tahun 1960, Irsyad mengakhiri masa jabatan sebagai Ketua SH Terate dan pindah tempat tinggal ke Bandung. Sebagai gantinya, Santoso, diangkat sebagai Ketua Pusat SH Terate.

Kesaksian Mas Madji, pada tahun 1961 beliau sempat datang ke tempat Mas Santoso. Saat itu digelar acara pengesahan warga baru. Santoso saat itu menjabat sebagai Ketua SH Terate. Pada pereode ini, sekalipun tetap ada pengesahan warga baru, namun jumlahnya relatif kecil.

Tahun 1961, Mas Tarmadji berpasangan dengan Abdullah Koesnowidjojo mengikuti pertandingan pencak silat seni dan keluar sebagai juara I se Jawa Timur untuk kategori kanak kanak. Prestasi ini kembali diraih pada tahun 1963, untuk kategori remaja.

Pada tahun 1963, untuk pertamakalinya dikumandangkan Mars SH Terate pada acara Pagelaran Seni Budaya di Gedung Bioskop Basuki Jl. Sulawesi (sekarang Tegel Dewasa). Syair Mars SH Terate digubah oleh RM. Imam Koesoepangat, sedangkan arensemennya dikerjakan Ady Yasco.

Saat itu Mas Imam berpesan: Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia, pemersatu bangsa Indonesia. Kalau Pancasila dirubah, Mas Imam mengaku tidak rela dan akan mempertahankan bersama sama dengan pendekar SH Terate. RM Imam Koesoepangat berhasil mengesahkan anak didik pertama. Yakni, Tarmadji (Mas Madji), Abdullah Koesno Widjojo, Soediro, Bibit Soekadi, Soedarso, Soedibyo, Soemarsono dan Bambang Tunggul Wulung.

Perlu ditegaskan lagi, Mas Madji adalah anak didik langsung Mas Imam. Sejak latihan dan disyahkan, pelajaran pencak silat yang diterima dari Mas Imam saat itu adalah pelajaran pencak yang sudah disempurnakan pada era Pak Irsad. Yakni, senam 1 (satu) sampai dengan 90 (Sembilan puluh). Jurus yang sudah disempurnakan, pasangan, kemudian sambung persaudaraan.

Maknanya, sejak Mas Imam melatih, hingga beliau memimpin SH Terate, yang diajarkan beliau adalah senam dan jurus baru. Sedangkan jurus lama tidak lagi digunakan. Sebab, seperti yang dipesankan Mas Imam kepada Mas Madji, jurus Djoyo Gendilo Ciptomulyo itu miliknya SH Winongo.

Di sela sela pelajaran itu diberikan permainan kripen, permainan toya. Terakhir dididik kerokhanian atau kebatinan. Istilahnya ilmu “kang aweh reseping ati “ (ketenangan batin). Kemudian berkembang lagi ada pelajaran osdower.

Sementara itu, bagi saudara saudara kadang SH Terate yang mempelajari ilmu kebatinan dan kanuragaan, ibaratnya ngelmu amrih dibacok ora tedas (mempelajari ilmu kekebalan), ditembak lakak lakak (ditembak malah tertawa), tidak pernah dipermasalahkan, dengan catatan, ilmu yang dipelajari itu dipergunakan hanya untuk pengayaan keilmuan secara pribadi dan tidak memasukkannya ke kurikulum pelajaran keilmuan di SH Terate.

Masih di tahun 1963, ada peristiwa penting yang patut disampaikan dalam buku ini. Pasalnya, momen ini dipandang sebagai tonggak penguat perkembangan SH Terate. Yaitu, turunnya para pendekar SH Terate ke gelanggang Adu Bebas.

Gelanggang Adu Bebas pada tahun enam puluhan merupakan even bergengsi, bagi pendekar persilatan di Madiun dan sekitarnya. Even ini merupakan arena pertandingan kelas laga dengan sistem full body contact (pertarungan antar pesilat tanpa pelindung).

Boleh di bilang even ini, merupakan ajang perkelahian para pendekar pilih tanding yang diatur dengan sistem pertandingan dan ditonton orang banyak.

Dulu, selain dijadikan ajang pamer kesaktian even yang digelar setahun sekali di halaman Karesidenan Madiun ini, juga dijadikan media promosi perguruan pencak silat untuk menggaet peminat. Fakta empiris, perguruan pencak silat yang berhasil memenangkan pertandingan, jumlah muridnya pasti akan semakin banyak.

Saat itu, RM Imam Koesopangat jadi jagonya SH Terate, disampingi Parno Ramelan dan Sudarso. Di arena laga bebas itu Mas Imam berhadapan dengan Kyai Soekoco dari SH Tuhu Tekad, Sewulan, Dagangan. Seorang pendekar yang dikenal digdaya dengan postur tubuh yang jauh lebih tinggi jika dibanding Mas Imam. Selain itu, Kyai Soekoco ini juga dikenal pendekar pilih tanding dan berpengalaman serta beberapa kali memenangkan aven adu bebas.

Menurut Mas Madji, sebenarnya saat itu beliau juga berniat ikut turun ke gelanggang. Tapi Mas Imam tidak menghizinkan.Alasannya, usianya masih terlalu muda. Beliau hanya ditugasi membawa keris Kyai Luwuk, dan dipesan agar keris itu tidak pindah tangan selama Mas Imam bertanding. Awalnya, sejumlah tokoh SH Terate meragukan kemampuan Mas Imam. Tapi terbukti beliau berhasil mematahkan keraguan saudara saudara SH Terate. Pada ronde ronde awal, laga berlangsung seru. Kedua pendekar itu bertanding cukup imbang. Beberapa kali tendangan dan pukulan Mas Imam mengenai tubuh Kyai Koco cukup telak. Tapi Kyai Koco, hanya menanggapi dengan senyum. Pertanda, Kyai Koco seorang pendekar yang kebal.

Memasuki ronde terakhir, Mas Imam berhasil mengunci tubuh Kyai Koco. Saat itu juga, Mas Imam berteriak agar wasit juri melakukan penghitungan. Meski, berupaya melepaskan diri dari kuncian, Kyai Koco tak berhasil. Akhirnya dewan juri memutuskan, pertandingan itu dimenangkan oleh Mas Imam.

Tahun 1965, Mas Imam menjadi Ketua Banteng Dwikora. Namun saat itu, beliau berpesan pada Mas Tarmadji, bahwa keikutsertaan beliau dalam dunia politik praktis dan menjabat sebagai Ketua Banteng Dwikora sudah masuk wilayah pribadi dan beliau sendiri tidak membawa SH Terate ke dalam pilihan ideologi politiknya.

Pada periode 1960 – 1965, bisa dikatakan sebagai masa sulit bagi perkembangan SH Terate. Sedikit sekali dokumen yang ditinggalkan pada masa ini. Malah bisa dikatakan langka. Secara umum juga diakui sebagai masa suram bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, karena terjadinya pergolakan politik yang mengguncang stabilitas nasional. Dokumen administrasi SH Terate menyebutkan, pada tanggal 11 Agustus, tahun 1966, digelar rapat pengurus pusat SH Terate di Madiun. Hasilnya, untuk menyelamatkan SH Terate, pasca terjadi peristiwa Pemberontakan G 30 S PKI, dipandang perlu melakukan refresing pengurus.

Refresing pengurus ini, berdasarkan Surat Intruksi bernomor 006/Sec/SHT/66 yang ditandatangani Ketua I SH Terate Soetomo Mangkoedjojo dan Sekretaris R. Koeswanto BA, tidak hanya dilakukan di pusat Madiun, akan tetapi juga dilakukan di cabang.

Pada tahun ini, Soetomo Mangkoedjojo, kembali diangkat sebagai Ketua SH Terate. Sedangkan Wakil Ketua II dan III, masing-masing dijabat Harsono dan RM. Imam Koesoepangat.

Keputusan penting lain yang dihasilkan pada rapat pengurus pusat ini adalah, SH Terate bersikap netral dan membebaskan diri dari kepentingan politik praktis. Sementara, di sektor program pembinaan siswa, diangkat tiga orang untuk menduduki Dewan Pelatih SH Terate. Mereka adalah, Badini, Harsono dan RM.Imam Koesoepangat.

Suatu ketika, RM Imam Koesoepangat mesu budi (tirakat atau laku ikhtiar), melakukan puasa selama 7 (tujuh) hari tujuh malam di dalam kamar. Kecintaan beliau pada SH Terate mendorong Mas Imam meninggalkan kesenangan pribadi dan gemar melakukan tirakatan.

Sebelum masuk ke dalam kamar, Mas Imam meminta Mas Madji menjaga di depan pintu. Saat itu beliau berpesan, kalau di hari ke-7 (tujuh) beliau tidak keluar, Mas Madji diminta mendobrak pintu kamar dan masuk ke dalam.

Tepat pada hari ake-7, Mas Imam keluar kamar dengan kondisi sempoyongan. Dengan suara terbata bata, beliau meminta Mas Madji mencarikan air kunir asam untuk minum. Beberapa saat setelah meminum air kunir asam, beliau berkata, “ nJenengan eling eling Dik,njenengan titeni. mBenjingtiti wancine SH Terateageng Dik. Ning kula mboten memoni. Mbenjing sing nemoni Dik Madji. Sing mimpin njih Dik Madji. Ageng Dik, ngluwihi paguron paguron liyane.( Kamu ingat ingat ya Dik. Kamu perhatikan. Besok jika sudah sampai waktunya, SH Terate bakal berkembang pesat menjadi besar. Tapi saya tidak melihat. Besok yang melihat Dik Madji. Yang memimpin juga Dik Madji. SH Terate besar Dik, melebihi perguruan pecak silat lainnya).

Menurut Mas Madji, beliau hanya diam mendengar ungkapan Mas Imam saat itu. Beliau tidak begitu paham apa maksud ungkapan Mas Imam tersebut. “Saat itu, saya hanya berpikir Mas Imam berkata seperti itu hanya untuk membesarkan hati saya,” ujar Mas Madji. Hari hari berikutnya, Mas Madji sering diajak menemani Mas Imam laku tirakat. Banyak lokasi ritual yang dikunjungi. Dari Segara Kidul (Laut Selatan), Harga Dumilah di Puncak G. Lawu hingga ke Gunung Srandil. Namun terkait ini Mas Madji menegaskan, laku tirakat atau tapa brata yang dilakukan RM Imam Koesoepangat, lebih ditikberatkan pada laku pribadi, sebagai pengayaan keilmuan pribadi Mas Imam sendiri dan beliau juga tidak pernah memaksakan diri untuk memasukkannya ke kurikulum pelajaran di SH Terate.

Tahun 1968, Mas Tarmadji berpasangan dengan Sutarto mengikuti seleksi Pra PON.Tahun berikutnya berhasil jadi Juara III PON VII.Sebelumnya juga berhasil meraih Juara I pada even pencak silat seni di Jember.

Pada tahun ini Bapak Soetomo Mengkoedjojo menyelesaikan masa bhakti sebagai Ketua SH Terate. Perkembangan SH Terate mulai melebar ke luar wilayah Madiun. Tercacat, (5) cabang didirikan. Antara lain: Magetan, Surabaya, Mojokerto, Yogyakarta, dan Solo.

Satu momentun penting yang dilahirkan pada priode kepemimpijan Soetomo Manghkoedjojo ini adalah proses pembaruan menuju perubahan yang lebih baik. Sebuah proses yang diakui menjadi pondasi perkembangan SH Terate, yang semula berbentuk perguruan menjadi organisasi persaudaraan.

Tahun 1974, digelar Konggres Persaudaraan Setia Hati Terate, di Madiun. Hasilnya, menjunjung tinggi konsep persaudaraan sebagai roh organisasi dan menjunjung tinggi nilai nilai persaudaraan dalam menyelesaikan setiap persoalan yang muncul di intern SH Terate. Konggres juga sepakat:

1. Mengangkat RM. Imam Koesoepangat sebagai ketua pusat dan Bapak Soetomo Mangkoedjojo sebagai dewan pusat.

2. Menjadikan kedaulatan tertinggi organisasi di tangan anggota dan selanjutnya dapat disuarakan lewat wakilnya dalam setiap konggres.

3. SH Terate berikrar : Barang siapa mengganggu gugat Pancasila, seluruh Keluarga Besar Persaudaraan Setia Hati Terate siap mempertahankan Pancasila sebagai Dasar Negara RI, sampai titik darah penghabisan.

Pada tanggal 14 Desember tahun 1975, Soetomo Mangkoedjojo wafat.Jenazahbeliau dimakamkan di Tempat Pemakaman Cangkring, Kota Madiun. Lokasi makam ini sekitar 500 meter sebelah barat Stadion Wilis Kota Madiun. Tahun 1977

Pada tahun 1977, SH Terate kembali menggelar konggres di Madiun. Konggres ini menelorkan sejumlah keputusan. Antara lain, mengangkat Badini sebagai ketua SH Terate Pusat Madiun. Sedangkan RM Imam Koesoepangat menduduki jabatan Dewan Pusat. Pada pereode ini, KRH. H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, mulai diserahi amanah untuk menduduki jabatan di jajaran ketua. Yaitu, sebagai Ketua I.

Saat itu, meskipun jabatan Ketua Pusat dipegang Badini, untuk urusan pengesahan warga baru Mas Imam selalu dipasrahi memimpin acara. Selain sesuai dengan kapasitas Mas Imam sebagai Ketua Dewan Pusat, langkah ini juga bisa dikatakan perwujudan sikap "nglungguhake wong" (memposisikan manusia sesuai dangan kapasitannya) dan kesantunan dalam konsepsi paseduluran.

Badini dikenal sebagai seorang pendekar SH Terate yang berbakat dalam permainan tunggal (solospel). Gerakannya cukup matang, luwes, indah dan berisi. Sekalipun beliau menduduki posisi Ketua SH Terate, masih tetap mau turun ke bawah, ikut melatih siswa maupun warga yang ingin menguasai permainan pencak seni SH Terate.

Saat Ir.Soekarno menjabat Presiden RI, Pak Badini dipanggil ke Istana untuk memperagakan pencak silat seni berpasangan dengan Hardjo Mardjut.

Pada pereode tahun 1978-an, SH Terate sempat mengalami defisit kas organisasi. Bahkan punya tanggungan hutang. Berdasarkan kesepakatan pengurus pusat, Mas Madji yang saat itu menjabat sebagai Ketua I, diminta mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah ini. Mengemban amanat pungurus pusat, Mas Madji mengusulkan sejumlah alternatif yang diyakini bisa dijadikan solusi. Salah satunya, menggagas perubahan uang mahar pengesahan, dari uang logam kuna yang sudah tidak laku (Ketengan atau Benggolan, keluaran era pemerintahan Hindia Belanda), diganti uang logam rupiah yang diberlakukan Pemerintah Republik Indonesia.

Berdasarkan keterangan dari sejumlah tokoh SH Terate, dulu jika calon warga membutuhkan uang logam ketengan atau benggolan untuk mahar, mereka bisa mendapatkan dari Ibu Inem Hardjo Oetomo. Caranya, menukar uang logam lama itu dengan uang baru yang berlaku. Selain digunakan untuk mendukung kegiatan SH Terate, hasil penukaran uang mahar itu juga digunakan untuk membantu kehidupan Ibu Hardjo Oetomo, sebagai bentuk penghargaan warga atas jasa beliau mendirikan perguruan pencak silat ini.

Usulan Mas Madji merubah uang mahar ini semula dianggap kontroversial dan memancing perdebatan di kalangan pengurus SH Terate Pusat. Banyak tokoh SH Terate kurang sependapat. Malah, beliau sempat dipanggil sejumlah tokoh SH Terate di Surabaya. Antara lain, Darmo Sanjoto, Ricard Wahyudi, Maryono dan Pak Isoyo. "Saya diminta memberikan alasan atas usulan itu," kata Mas Madji. Di hadapan tokoh tersebut, dijelaskan alasan mendasar kenapa beliau berani mengajukan usulan penggantian uang mahar dari yang tadinya berbentuk uang logam yang sudah tidak laku menjadi uang logam yang laku.

Alasan beliau cukup mendasar. Sebab, SH Terate sudah memproklamirkan dirinya dari perguruan pencak silat tradisional menjadi organisasi modern. Dengan adanya kesepakatan ini, berarti SH Terate bukan lagi menjadi milik orang perorang, tapi milik anggota.

Karena SH Terate sudah berbentuk organisasi modern, maka organisasi harus bisa mandiri dan memiliki uang kas yang cukup untuk membiayai kegiatannya. Apalagi, tantangan ke depan, bukan semakin kecil tapi semakin besar. Kegiatan yang diprogramkan organisasi juga semakin banyak dan bercakupan luas.

Perihal santunan untuk membantu perekonomian keluarga mendiang Ki Hadjar Hardjo Oetomo, pihaknya bertanggung jawab penuh. Dan janji itu benar benar dilaksanakan. Tak hanya sewaktu Ibu Ki Hadjar masih hidup. Tanggung jawab menghargai jasa pendiri SH Terate itu juga terus dilakukan sepeninggal Ibu Ki Hadjar. Sebut misalnya, membiayai acara kirim doa, baik pada peringatan hari wafatnya Ki Hadjar Hardjo Oetomo maupun Ibu Ki Hadjar.

Alasan yang diajukan Mas Madji, terbukti mampu meyakinkan tokoh SH Terate. Sejak saat itu, uang mahar yang digunakan calon warga baru dalam prosesi pengesahan, diganti dari yang semula berupa uang logam lama yang tidak laku, menjadi uang logam yang berlaku. Uang logam, sebagai uang mahar ini, tidak mutlak harus uang rupiah yang diberlakukan Pemerintah RI. Tapi dibolehkan pula uang logam lain, misalnya Dolar, Ringgit, Real dan lain sebagainya, disesuaikan dengan kewarganegaraan calon warga yang akan disyahkan.

Usulan tersebut, membawa dampak positif bagi perkembangan SH Terate. Bersumber dari uang mahar itu pula, sampai sekarang SH Terate bisa mandiri dan mampu membangun Padepokan Agung SH Terate di Jl. Merak, Nambangan Kidul, Kota Madiun, berikut sarana dan prasarananya. Karena posisinya yang cukup strategis sebagai sumber pemasukan kas organisasi, hingga saat ini SH Terate Pusat Madiun mewajibkan kepada cabang agar menyetor uang mahar ke pusat setiap mengesahkan warga baru. Sebab uang mahar adalah uang pitukon siswa yang menimba ilmu di SH Terate. Artinya, uang mahar adalah milik organisasi dan menjadi hak mutlak pusat sebagai pemegang hak paten SH Terate. (Kajian pendalaman tentang Uang Mahar, insya Allah, akan kami tulis dalam buku tersendiri,pen)

Gagasan Mas Madji merubah uang mahar SH Terate, yang awalnya banyak ditentang dan dianggap kontroversial, sekarang terbukti kebenaran dan kemanfaatanya. Apalagi jika dilihat dari sisi perkembangan jumlah siswa yang berkehendak disyahkan menjadi warga. Dalam setiap tahunnya, SH Terate mengesahkan 20 ribu hingga 25 ribu orang warga baru. Bayangkan, jika uang mahar SH Terate masih menggunakan uang lama.Jika uang mahar saat itu tidak ada perubahan, masih menggunakan uang logam kuno, kemana calon warga harus mencari? Jika harus diserahkan pengurus pusat, kemana pula mereka musti berburu? Membelinya dari kolektor, karena keberadaan uang logam kuno sekarang ini lebih banyak di tangan kolektor benda benda kuno? Jawaban ini barangkali bisa diterima. Namun, berapa banyak anggaran yang harus disediakan, mengingat harga uang logam kuno di tangan kolektor cukup tinggi? Untuk uang logam kuno Nederland Indie Tahun 1945 (benggol 2,1/2 cent), di tangan kolektor dibandrol hampir satu juta rupiah. Artinya, jika tetap menggunakan barang itu, berarti setiap calon warga, minimal harus menyediakan uang sebesar Rp 36 juta untuk pengadaan mahar uang logam kuno. Padahal, selain mahar, calon warga baru juga masih harus menyiapkan uba rampe selamatan lainnya, seperti ayam jago, kain mori untuk sabuk, baju sakral dan lain sebagainya.

Pada tahun 1979 digelar Krida Nasional SH Terate Cup I di Madiun. Keluar sebagai Juara Umum dalam even pencak silat antar atlet SH Terate ini, Persaudaraan SH Terate Cabang Surakarta. Laga pesilat SH Terate ini kembali digelar pada tahun 1981 di Surakarta. Hasil Krida Nasional SH Terate Cup II yang dibuka Pangdam VII Diponegoro ini, melejitkan atlet SH Terate dari Cabang Ngawi, sebagai Juara Umum.

C. Periode Pengembangan

Gaung pembaharuan yang telah dipekikkan lewat konferensi SH Terate di Pilangbango, Madiun itu dengan arif diakui sebagai era baru perjalanan roda organisasi. Yakni, era perubahan konsep organisasi dari tradisional ke organisasi modern, dengan meletakkan persaudaraan sebagai roh keorganisasian.

Dengan konsep ini, tugas dan tanggung jawab keorganisasian, tidak lagi bertumpu pada orang perorang, tapi dipikul secara kolektif alias berbagi tugas dan tanggung jawab bersama-sama. Sasaran penyebarluasan ajaran dan pengembangan organisasi, tidak lagi hanya terfokus pada kelompok tertentu, akan tetapi berskala heterogen, mulai dari masyarakat papan atas sampai masyarakat di papan paling bawah. Dengan konsep pembaruan ini Persaudaraan Setia Hati Terate mendapat sambutan cukup hangat dari segenap lapisan masyarakat.

Kesepakatan menjadikan persaudaran sebagai roh organisasi itu selanjutnya dijadikan dasar pengembangan sayap organisasi. Dan kian dipertegas lagi dalam MUBES (Musawarah Besar) Persaudaraan Setia Hati Terate, tahun 1974 di Madiun. Hasil Mubes ini antara lain mengangkat RM. Imam Koesoepangat sebagai ketua dan Soetomo Mangkoedjojo sebagai Dewan Pusat. Musyawarah juga sepakat menjadikan kedaulatan tertinggi organisasi di tangan anggota dan selanjutnya dapat disuarakan lewat wakilnya dalam setiap Mubes. Kedua tokoh ini kembali dikukuhkan sebagai pimpinan organisasi pada Mubes tahun 1977.

Selepas Soetomo melepas jabatan ketua, tampuk pimpinan organisasi diamanatkan kepada RM Imam Koesoepangat, hingga tahun 1977. Periode berikutnya (1977-1981) Badini terpilih menjadi Ketua Dewan Cabang, sementara Tarmadji Boedi Harsono, memegang jabatan Ketua I.

Badini dikenal sebagai seorang seniman, sepesialis seni lukis wayang. Beliau juga seorang yang menguasai olah seni pencak silat, terutama solospel (seni permainan tunggal). Di era Ir.Soekarno menjabat Presiden RI, Badini sempat dipanggil di Istana Negara untuk menunjukkan keterampilannya bermain pencak silat tunggal.

Persaudaraan SH Terate mulai memasuki masa keemasan pasca MUBES IV Persaudaraan SH Terate di Madiun, tahun 1981. Hasil Mubes antara lain, mengukuhkan KRH.H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE sebagai Ketua Umum dan RM.Imam Koesoepangat sebagai Ketua Dewan Pusat.

Pada era ini, tugas dan tanggung jawab kepemimpinan Persaudaraan SH Terate dipilah menjadi dua jalur. Yaitu: jalur idealisme dan jalur profesional. RM. Imam Koesoepangat diamanati sebagai penanggung jawab bidang idealisme. Bidang idealisme ini menyangkut penajaman ajaran kerokhanian dan peningkatan kualitas budi pekerti luhur pada warga. Sementara bidang pengembangan dan keorganisasian, diserahkan pada Mas Madji. Sepanjang, dipimpin kedua tokoh ini, eksistensi Persaudaran SH Terate semakin mantap dan diperhitungkan. Terbukti perkembangan SH Terate tidak lagi hanya berkutat di Pulau Jawa, tapi merambah ke luar P. Jawa. Pada dekade ini cabang SH Terate yang semula hanya 5 cabang berkembang menjadi 46 cabang.

Sepeninggal RM Imam Koesoepangat, tepatnya tanggal 16 November 1987, praktis beban dan tanggung jawab tongkat kepemimpinan Persaudaraan SH Terate beralih ke pundak Tarmadji. Ibaratnya dua tanggung jawab yang semula dipikul berdua, mulai saat itu harus diemban sendiri. Meski begitu, ternyata Mas Madji mampu. Terbukti berkat solidnya sistem koordinasi antarjajaran pengurus dan kadang tercinta, Persaudaraan SH Terate berhasil melesat ke kancah paradigma baru.

Pada pereode berikutnya, posisi Mas Imam, digantikan Drs. Marwoto, sebagai Ketua Dewan Pusat. Sedangkan Ketua Umum Persaudaraan SH Terate tetap diamanatkan kepada KRH. H.Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE.

Drs. Marwoto, dikenal sebagai seorang yang menguasai bahasa dan sastra. Beliau merupakan Dosen di UNS Surakarta. Pembawaanya cukup arif dan penyabar. Beliau pula salah satu pembimbing penulis, saat menyusun buku seputar ajaran dan perkembangan Persaudaraan SH Terate.

Selain memprioritaskan pengembangan sektor ideal, era ini bisa dibilang sebagai era kejayaan Persaudaraan SH Terate. Era kejayaan itu ditandai dengan lahirnya kebijakan dan karya monumental serta pembangunan sarana dan prasarana fisik organisasi, dan perluasan cabang. Di tengah kesibukan memimpin banyak lembaga sosial kemasyarakatan —sebab, selain sebagai Ketua Umum Persaudaraan SH Terate, KRH.H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro, SE, juga tercatat sebagai ketua Hiswana Migas, Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia Kota Madiun, Direktur Kelompok Bimbingan Ibadah haji Al-Mabrur, Ketua DPRD Kota Madiun, dan masih banyak lagi organisasi dan institusi yang dipimpin. Meski begitu, terbukti beliau mampu memperkokoh eksistensi Persaudaran SH Terate.

Melengkapi keberadaan Persaudaraan SH Terate, didirikan sebuah yayasan yang diberi nama Yayasan Setia Hati Terate. Dalam perkembangannya Yayasan Setia Hati Terate berhasil menelorkan kinarnya monumental berupa lembaga pendidikan formal berupa Sekolah Menengah Industri Pariwisata Kusuma Terate (SMIP) dengan akreditasi diakui, SMIP Kusuma Terate telah berhasil mencetak siswa-siswinya menjadi tenaga terampil dibidang akomodasi perhotelan.

Sementara untuk mendukung kesejahteraan anggota Yayasan Setia Hati Terate mendirikan lembaga perekonomian berupa Koperasi Terate Manunggal dan bidang usaha perekonomian lainnya. Dua buah padepokan yang dibangun secara swadaya, kian mengokohkan eksistensi organisasi. Kedua padepokan tersebut adalah Padepokan Agung Persaudaraan SH Terate di Jl. Merak Nambangan Kidul Kota Madiun. Kedua, Padepokan Luhur yang berlokasi di Kelurahan Pilangbango, Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun.

SH Terate juga telah memiliki sejumlah aset lain, baik berupa aset bergerak maupun tak bergerak. Kesemuanya itu diharapkan bisa menjadi daya dukung organisasi agar mampu menyelaraskan diri dengan era globalisasi.

Untuk meringankan beban tugas dan tanggung jawab pengurus harian, dibentuk tiga pilar pendidik. Satu pilar kelompok dewan yang mengurus misi organisasi. Pilar ini dipandegani warga ang memang sudah matang keilmuannya. Terkait dengan konsepnya ini, Kang Mas KRH.H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, membentuk Dewan Kasepuhan yang diberi nama Nawa Pandhita. Lembaga ini beranggotakan sembilan orang warga, semuanya Tingkat II dan Tingkat III, yang dinilai sudah matang keilmuannya. Tugas utama lembaga ini adalah mengkonsep ajaran kerokhanian.

Pilar kedua adalah pilar pendidik pencak silat. Lembaga ini dibidani dibidani warga yang menguasai bidang pencak silat, baik pencak silat ajaran maupun pencak silat prestasi. Pilar yang ketiga adalah pilar organisasi dan perkembangan. Pilar ini beranggotakan warga yang ahli mengurus organisasi.

Sedangkan untuk menekan terjadinya “gesekan” antara anggota Persaudaaan SH Terate dan angota SH Tunas Muda Winongo, dicetuskan kebulatan tekad bertajuk “Kami Adalah Satu”. Selain itu dibentuk pula forum komunikasi antar perguruan pencak silat. Karya monumental lain yang dilahirkan adalah membumikan Pencak Silat di Bumi Madiun, dengan terminolgi menjadikan Madiun sebagai “Kampung Pesilat”. Memasuki tahun 2014, Kang Mas KRH.H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, mulai menata regenerasi kepemimpinan. Langkah tersebut ditandai dengan diangkatnya Kolonel (Purn) Richard Simorangkir sebagai Ketua Umum Persaudaraan SH Terate (Plt). Sedangkan Mas Madji sendiri menduki posisi Ketua Majelis Luhur.

Majelis Luhur adalah lembaga tertinggi Persaudaraan SH Terate. Lembaga ini sebenarnya peleburan lembaga yang semula dinamai Nawa Pandita. Pada pereode sebelumnya lembaga ini diberi nama Dewan Pusat. Tugas dan tanggung jawab Majelis Luhur sama dengan tugas dan tanggung jawab Dewan Pusat.

Kol (Purn) Richard Simorangkir hanya menjabat sebagai Ketua Umum Persaudaraan SH Terate (Plt) selama satu tahun. Memasuki tahun kedua, beliau wafat. Sebagai gantinya diangkat Drs. Arief Surjono.

Pada tahun yang sama Mas Madji membentuk Tim 7 (tujuh). Tim ini bertugas mengonsep dan menyempurnakan AD/ART Persaudaraan SH Terate agar proporsional dengan perkembangan era trandigitalisasi yang ditandai lahirnya generasi melenial digitalis. Tim ini beranggotakan warga Tingkat II yang paham ajaran Persaudaraan SH Terate dan berwawasan global. Penulis masuk dalam daftar anggota Tim 7 ini.

Pasca wafatnya Mas Ricard, panggilan Ricard Simorangkir, penulis mendapat tugas dari Mas Madji, ketua Majelis Luhur Persaudaraan SH Terate, Pusat Madiun, menghubungi beberapa warga Tingkat II di Madiun. Sedikitnya ada lima orang warga yang harus penulis temui. Sesuai amanat Mas Madji, penulis diminta menjajagi sekaligus menawarkan kepada mereka untuk mengemban amanah organisasi, duduk sebagai ketua umum, menggantikan posisi Mas Ricard.

Namun dari kelima Warga Tingkat II (di kalangan Keluarga Besar SH Terate Pusat Madiun, mereka dianggap mumpuni), hanya Mas Arif Surjono yang menyatakan sanggup mengemban amanah tersebut.”Sampaikan pada Mas Madji, saya sanggup mengemban amanah mulia ini,” ujar Mas Arif kepada penulis.

Boleh dibilang, Mas Arif yang akhirnya “ketiban sampur”. Alasannya, tahun-tahun ini, adalah tahun cobaan bagi SH Terate. Tantangan yang dihadapi juga semakin komplek. Transdigitalisasi melahirkan generasi mileneal digitalis yang menuntut kebebasan dan keterbukaan nyaris tak berbatas.

Setelah melakukan pertimbangan dan analisa dari segala aspek, sesuai dengan kapasitas dan kewenangan Ketua Majelis Luhur, Mas Madji akhirnya menunjuk Drs. Arif Surjono, sebagai Ketua Umum Persaudaraan SH Terate. Salah satu tugas utama Mas Arif adalah sesegera mungkin menyelenggarakan Parapatan Luhur Persaudaraan SH Terate. Parapatan Luhur adalah istilah yang digunakan untuk musyawarah besar yang diikuti seluruh Cabang Persaudaraan SH Terate. Sebelumnya musyawarah tersebut dinamakan Musyawarah Besar (Mubes)

Drs. Arief Surjono sebelumnya menjabat sebagai Ketua Persaudaraan SH Terate DKP Madiun. Setahun setelah Mas Arief menduduki posisi Ketua Umum, tahun 2016, digelar Parapatan Luhur Persaudaraan Setia Hati Terate, di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Parapatan menghasilkan keputusan cukup penting, antara lain mengangkat Dr. M Taufik sebagai Ketua Umum Persaudaraan SH Terate Pusat Madiun dan Drs. Moerdjoko HW sebagai Ketua Harian. Parapatan Luhur juga mengamanatkan kepada Drs. Wijono, menduduki posisi sebagai Ketua Majelis Luhur.

Tahun 2015, Kang Mas KRH.H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, wafat. Jenasahnya dimakamkan di makam pribadi keluarga, yang berlokasi di sebelah barat Padepokan Agung Persaudaraan SH Terate Madiun, Jl. Merak, Nambangan Kidul Kota Madiun. Lokasi makam hanya berjarak sekitar 100 meter dari Padepokan Agung.Beliau meninggalkan seorang istri Hj. Ruwiyatun dan tiga orang putra, yakni, Dani Primasari Narendrani,S.E, Drs. Bagus Rizki Dinarwan SST, dan Arya Bagus Yoga Satria,SE.

Di tahun-tahun akhir kehidupannya, Mas Madji, pernah berwasiat kepada penulis agar jika meninggal dunia, dimakamkan di "Ruang Kesterlek", di dalam lokasi Padepokan Agung Persaudaraan SH Terate. Ruangan ini berlokasi tepat di belakang ruang Kantor Ketua Umum. Beliau sendiri yang menamakan ruangan ini dengan nama "Ruang Kesterlek". Ruangan ini saat beliau masih hidup sering digunakan untuk memberi pelajaran kesterlek kepada Warga Tingkat II. Namun mempertimbangkan sempitnya ruang tersebut dan banyaknya warga yang nantinya akan berziarah, beliau merobah wasiatnya, dan meminta kepada Mas Mujiono, warga yang menjadi kontraktor pembangunan Padepokan Agung, untuk menempatkan makan beliau di tanah pribadi yang belokasi di sebelah barat Padepokan Agung. Mas Madji sendiri yang menentukan lokasi dan ukuran makamnya.

Tanah yang belokasi di sebelah barat Padepokan Agung Persaudaraan SH Terate ini merupakan aset pribadi Keluarga Mas Madji. Gagasan beliau, di tanah ini bakal didirikan pondok pesantren (ponpes) modern, laiknya Ponpes Modern Gontor, Ponorogo. Di akhir kehidupannya, beliau memang sering menyebut Ponpes Gontor, salut terhadap manajemen Ponpes terbesar di tanah air itu.

Sedangkan tanah yang berlokasi di depan Padepokan Agung, sedianya diproyeksikan untuk lokasi Pondok Pesantren Pencak Silat. Atau, menurut istilah beliau, semacam sekolah Pencak Silat SH Terate. Kedua ponpes itu kemudian disinergikan, sehingga menghasilkan generasi yang "digdaya dan ngerti agama". Generasi tangguh yang paham dan konsiten menjalankan akidah syariah agamanya.Satu gagasan besar yang patut mendapat perhatian serius Keluarga Besar Persaudaraan SH Terate.

"Saya kagum dengan managemen Kyai Gontor," ujar Mas Madji. "Beliau berprinsip (KH.Syukri Zarkasi,Pimpinan Ponpes Gontor. Di akhir kehidupannya, Mas Madji sering berkunjung ke Gontor, berdiskusi dengan KH. Syukri Zarkasi). Sembilan puluh kilo meter itu milik Gontor. Saya merenung. Kok begitu. Mulailah saya mencari jawaban, ternyata apa pun di lingkungan Gontor, harus menjadi Gontor. Paling tidak mengerti Gontor, baik sektor ekonomi, bidang dakwahnya, bidang agamanya. Kalau punya prinsip begitu, berarti Gontornya sendiri harus baik," lanjutnya.

Menurut Mas Madji, Ponpes Gontor bisa diterima masyarakat karena baik. "Sekarang melebar ke mana-mana, ajaran kebaikan itu disebarluaskan tamatan Gontor. Kalau memang orang SH Terate baik, namanya baik, masyarakat pasti akan memilih orang SH Terate karena baik. Gontor, dimana pun Gontor itu dinilai baik karena Gontor baik. Didikannya memang didikan baik," katanya.

Menusia memang boleh memiliki gagasan, memiliki cita-cita. Namun Allah, Tuhan Yang Mahaesa, lebih mengerti dan memahami hambanya. Allah ternyata lebih berkehendak memanggil beliau untuk pulang, sebelum gagasan besar itu terealisasi.

Memasuki tahun 2017, karena musabab tertentu, Persaudaraan SH Terate terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama memilih tetap mempertahankan Madiun sebagai punjer keilmuan dan pusat organisasi SH Terate. Kelompok kedua memilih bergabung ke "Jakarta". Dua patron kepemimpinan muncul. Pertama Ir. Wijono dan DR. Muhammad Taufik, yang oleh kelompok Persaudaraan SH Terate (Jakarta) dijadikan patron. Sedangkan kelompok Persaudaraan SH Terate Pusat Madiun memilih Isbiantoro dan Drs. Moerdjoko HW, masing-masing sebagai Ketua Dewan Pusat dan Ketua Umum. Sekalipun terjadi silang sengketa, kedua kelompok ini tetap setia mengembangkan ilmu Setia Hati (SH) dan sama sama mengklaim Madiun sebagai pusat organisasi, serta sama-sama menjadikan persaudaraan sebagai roh organisasi.Penulis memiliki data akurat penyebab terjadinya perpecahan di tubuh Persaudaraan SH Terate, akan tetapi tidak bijaksana jika muasal silang sengketa itu dipaparkan dalam alur sejarah ini.

Data terakhir menyebutkan, Persaudaraan Setia Hati Terate Pusat Madiun kini telah memiliki 300-an cabang yang tersebar di Indonesia serta 67 komisariat Perguruan Tinggi dan 5 (lima) Komisariat Luar Negeri. Itu berarti di era Kang KRH.H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, perkembangan cabang Persaudaraan SH Terate bertambah sebanyak 254 cabang. Dari jumlah itu cabang yang telah resmi mengantongi SK PSHT Pusat Madiun, sebanyak 200-an cabang. Sisanya diproses pada era kepemimpinan pasca Mas Madji.

Daftar Nama Pemimpin Persaudaran SH Terate : 1. Ki Hadjar Hardjo Oetomo (Pendiri SH Terate, masih berbentuk perguruan Pencak Silat) 2. Soetomo Mangkoedjojo (pereode tahun 1948 sd 1956, masa pembaruan dari perguruan pencak silat berubah jadi organisasi persaudaraan). 3. Irsad (pereode tahun 1956 sd 1958) 4. Santoso (pereode tahun 1958 sd 1966) 5. RM Soetomo Mangkoedjojo ( beliau kembali dipilih menjadi Ketua SH Terate pereode tahun 1966 sd 1974) 6. RM Imam Koessoepangat (pereode tahun 1974 sd 1977) 7. Badini (pereode tahun 1977 sd 1981 8. KRH.H.Tarmadji Budi Harsono Adinagoro,SE (pereode tahun 1981 sd 2014) 9. Richard Simorangkir, (Plt, pereode tahun 2014 sd 2014 10. Arif Suryono (Plt, pereode tahun 2014 sd 2016 11. Muhammad Taufik (Ketua Umum, pereode tahun 2016 sd 2017/ M. Taufik sampai sekarang masih menduduki posisi Ketua Umum Persaudaraan SH Terate (kelompok Jakarta) 12. Moerdjoko HW (Ketua Harian, pereode tahun 2016 sd 2017) 13. Moerdjoko HW (Ketua Umum Persaudaraan SH Teate Pusat Madiun, pereode tahun 2017 sd sekarang).

D. Go International

Ketika KRH.H.Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro, S.E dan Drs. Marwoto memimpin organisasi, kepak sayap perkembangan PSHT melesat pesat tidak hanya di dalam negeri, tapi merambah ke luar negeri. Dengan kiat PSHT Must Go International, Tarmadji berhasil melambungkan nama PSHT di kancah percaturan kultur dan peradaban dunia.

Tercatat ada 5 komisariat luar negeri yang berhasil dikukuhkan. Masing-masing, Komisariat PSHT Bintulu, Serawak, Malaysia, Komisariat Holland/Belanda, Komisariat Timor Loro Sae, Komisariat Hongkong dan Komisariat Moskow.

Dengan demikian tekad mengemban misi sekaligus juga amanat organisasi sebagimana yang termaktub dalam mukaddimah Anggaran Dasar Persaudaraan Setia Hati Terate. Yakni : ……akan mengajak serta para warganya menyingkap tabir/tirai selubung hati nurani dimana “Sang Mutiara Hidup” bertahta (Baca : Mukkaddimah Anggaran Dasar Persaudaraan Setia Hati Terate)—kini sudah merambah kehidupan global.

Misi tersebut merupakan tindak lanjut dari kesadaran mutlak Persaudaraan Setia hati Terate atas “hakikat hidup yang berkembang menurut kodrat iramanya masing-masing menuju kesempurnaan” dan konsekuensi keberadaan manusia “sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa” yang senantiasa “hendak menuju keabadian kembali kepada causa prima, titik tolak segala sesuatu melalui tingkat ke tingkat.”

Kesadaran atas makna hakikat hidup dan proses pencariannya itulah, parktis menjadi kewajiban bagi setiap warga Persaudaraan Setia Hati Terate untuk menekuninya. Ini mengingat bahwa “tidak semua insan menyadari bahwa yang dikejar-kejar itu telah tersimpan menyelinap di lubuk hati sanubarinya.”

Dengan demikian, “Pencak Silat,” dalam konteks ini, “hanya merupakan salah satu ajaran Persaudaraan Setia Hati Terate dalam tingkat pertama, sekedar memenuhi unsur pembelaan diri untuk mempertahankan kehormatan, keselamatan, dan kebahagiaan serta kebenaran terhadap setiap penyerang.”

Sebab pada hakikatnya Persaudaraan Setia Hati Terate sadar dan yakin bahwa “sebab utama dari segala rintangan dan malapetaka serta lawan kebenaran hidup yang sesungguhnya bukanlah insan, makhluk atau kekuatan yang berada di luar dirinya. Oleh karena itu pencak silat hanya salah satu syarat untuk “mempertebal kepercayaan pada diri sendiri dan mengenal diri pribadi sebaik-baiknya”.

Berupaya menyingkap tabir/tirai selubung hati nurani dimana “sang mutiara hidup” bertahta untuk menuju keabadian kembali kepada causa prima itulah sebenarnya inti dari Persaudaraan Setia Hati Terate.

Ajaran Setia Hati Terate

Terdapat lima dasar ajaran yang diluncurkan Persaudaraan Setia Hati Terate dalam berkiprah di tengah-tengah masyarakat. Kelima dasar ajaran itu terangkum dalam konsep pembelajaran yang dinamakan “Panca Dasar” yaitu Persaudaraan, Olah Raga, Seni, Bela Diri, dan Kerokhanian.

Lewat konsep pembelajaran yang terangkum dalam Panca Dasar tersebut PSHT berupaya membimbing warganya untuk memiliki lima watak dasar yaitu :

1. Berbudi luhur tahu benar dan salah serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2. Pemberani dan tidak takut mati. 3. Berhadapan dengan masalah kecil dan remeh mengalah, baru bertindak jika menghadapi masalah prinsip yang menyangkut harkat dan martabat kemanusiaan. 4. Sederhana. 5. Mamayu Hayuning Bawana (berusaha menjaga kelestarian, kedamaian bumi).

Melengkapi eksistensi sebagai organisasi cinta perdamaian, PSHT memformat warganya lewat beberapa butir filsafat perjuangan hidup, antara lain

1. Sepira gedhening sengsara yen tinampa among dadi coba (seberat apapun cobaan yang diterima manusia jika dijalani dengan lapang dada akan diperoleh hikmah yang tidak terkira.)

2. Sak apik-apike wong yen aweh pitulungan kanthi dhedhemitan (Sebaik-baiknya manusia jika memberikan pertolongan dengan ikhlas tanpa pamrih dan tidak perlu diketahui orang lain).

3. Aja waton ngomong ning ngomong kang ngango waton (jangan asal bicara tanpa dasar tapi berbicaralah dengan akurasi dasar kebenaran).

4. Aja seneng gawe ala ing liyan, apa alane gawe senenge liyan (jangan suka mencelakakan orang lain, tidak ada jeleknya membuat senang orang lain).

5. Aja sok rumangsa bisa, nanging sing bisa rumangsa (jangan merasa diri paling super, tapi sadar diri dan sadar akan keberadaan orang lain).

6. Ngundhuh wohing pakarti, sapa nandur bakal ngundhuh (segala darma pasti akan berubah, apapun perbuatan yang kita lakukan pasti akan kembali pada diri kita sendiri).

Ketua Umum SH Terate, KRH.H.Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, dalam telaah yang disajikan dengan bahasa lebih sederhana, menterjemahkan ajaran tersebut dengan empat kiat sukses meraih hidup bahagia. Yaitu, jujur, rajin, mau belajar, tidak pernah penuntut. Penjabaran jurus kunci meraih sukses ini telah diterbitkan dalam sebuah buku berjudul. “Menggapai Jiwa Terate”. Buku ini disunting oleh Andi Casiyem Sudin, diterbitkan perdana dengan teras 5000 eksemplar dan habis dalam waktu relatif singkat. (acs)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa dan Wasiat untuk Warga Baru SH Terate

Sekadar Syarat Bentuk Lahir

Menelaah Mukadimah SH Terate