Alam Sebagai Guru Sejati
Guru sejati adalah alam. Maknanya, untuk mendapatkan pelajaran, diperlukan kecermatan dan penghayatan terhadap setiap perubahan dalamnya.
Mencermati peredaran bumi, melihat dan merasakan perubahan cuaca, menganalisis setiap jejak dan perubahan manusia, hewan serta tetumbuhan, muncul sebuah pertanyaan klasik dalam permenungan kita. Yakni dari mana, untuk apa dan akan dikemanakan seluruh dunia dan isinya ini setelah tercipta? Dalam ungkapan Jawa, pertanyaan tersebut sering diistilahkan sebagai sangkan paraning dumadi.
Munculnya pertanyaan itu, sunggguh merupakan kilas fakta kodrati. Barangkali malah sedikit eliter. Sebab, tidak semua manusia sempat dan berkemauan untuk merenungkannya. Boleh jadi, orang yang tertarik untuk maemikirkannya hanya sebagaian kecil dari masyarakat religius yang memang berkehendak mencari ketentraman batin.
Sebut sebagai misal, kelompok sufisme. Pertanyaan azasi ini, oleh kaun sufisme, dijadikan bahan kajian untuk mencapai tataran pencerahan jiwa. Mereka menyebutnya sebagai dzikir alam atau tafakur alam.
Kelompok lain yang gemar melakukan permenungan serupa adalah kaum penyair. Mereka menamakannya sebagai langkah menjaring inspirasi. Sementara kaum eksitensialis lebih suka menyebut sebagai ritual ko-eksistensi, atau ritual bumi. Mereka melihat langit, melihat bintang rembulan, matahari, perubahan musim, atau isyarat alam. Kemudian mereka mencoba menghubungkannya dengan peristiwa yang terjadi. Dan catatan itu jika di kemudian hari mereka mendapatkan isyarat yang sama, dengan mudah akan dijadikan patokan bahwa sesuatu yang berhubungan erat dengan isyarat itu, kuat dipastikan akan terjadi. Orang kemudian menyebutnya sebagai ramalan masa depan atau prediksi hari esok. Misalnya, ramalan bintang, kitab-kitab primbon dan yang lebih ngetren serta era kaitannya dengan perubahan musim adalah prakiraan cuaca.
Pencarian makna tersembunyi atau misteri yang terkandung dalam perubahan alam ini, sewajarnya dilakukan oleh penghuni alam semesta. Sebab, dari perburuan itu, akan berkelebat ratusan bahkan ribuan pertanyaan, sekaligus jawabannya. Dari penjelajahan itu pula, mereka akan mendaparkan hikmah yang bisa dijadikan bekal dalam mengarungi kehidupan di mayapada ini.
Karena itu, saya pribadi lebih suka menyebut alam semesta sebagai guru sejati. Guru sejati adalah alam. Maknanya untuk mendapatkan pelajaran diperlukan kecermatan dan penghayatan terhadap setiapperubahan didalamnya. Kenapa? Sebab alam tak pernah berbohong kepada manusia. Alam juga tidak p ernah mengelabui hewan dan tumbuhan. Ia, oleh Allah, telah dicipta dengan daya keseimbangan atau tertata dalam alur harmoni. Contoh kongkret, tidak akan turun hujan jika tidak ada awan atau mendung.nyala api selalu menimbulkan suhu panas. Sebaliknya air, akan meredakan panas menjadi dingin.
Pranatan Keseimbangan
Contoh tersebut merupakan fakta sekaligus promis sederhana yang bisa dikembangkan lagi menjadi rumus atau patokan kehidupan. Bahkan dalam pranatan lebih tinggi lagi, bisa dijadikan pedoman untuk mengungkapkan misteri hukum sebab akibat atau causa prima.
Sebab, yakin atau tidak, sesuatu bakal terjadi setelah melalui proses sebab akibat. Contohnya, sifat dasar air akan selalu mencari tempat yang datar. Sebab, hukum keseimbangan air berada pada tataran datar atau rata. Dalam fakta kehidupan sehari-hari, kita bisa melihat, air selalu mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Kemudian, ia akan berhenti tenang setelah menemukan tempat datar. Itu artinya, bahwa, hukum keseimbangan air berada di tempat datar atau rata.
Konsekuensinya, jika dalam proses mencari nilai-nilai keseimbangan itu air menemukan hambatan, misalnya, terbendung, misalnya karena banyak kali atau drainase yang dipenuhi sampah, maka akan terjadi banjir yang berdampak menyengsarakan umat manusia.
Dari contoh paling sederhana ini, kita bisa mengambil pelajaran bahwa jika nilai-nilai keseimbangan terganggu dan tidak terjaga, maka akan berdampak buruk lagi bagi kehidupan manusia. Sebaliknya, jika nilai keseimbangan itu berjalan sesuai dengan kodrat dan iramany, maka dampaknya justru akan memberi keberuntungan bagi umat manusia.
Pelajaran berharga lain dari proses hukum sebab akibat itu, jika kita mau menerapkannya pada kehidupan sehari-hari, pada gilirannya akan membuka peluang terbukanya indera kekenam. Kita lebih suka menyebutnya dengan istilah mengerti sebelum terjadi (Weruh Sadurunge Winarah).
Sebab, salah satu sifat dasar indera keenam adalah menyatu pada hukum pasti. Tidak berubah dan tidak pula bisa diubah. Kecuali, jika ada proses irodati yang berkehendak merubahnya. Contohnya Si A terbiasa pergi mengendarai mobil, setiap ia pergi, tidak lupa mengunci pintu gerbang rumahnya. Jika ia pergi malam hari, selain mengunci pintu gerbang juga mematikan lampu dikamar tamu.
Mencermati kebiasaan Si A, maka akan bisa ditarik sebuah kepastian, bahwa ketika kijang Si A tidak berada di garasi, ketika pintu gerbang rumahnya terkunci dan lampu ruang tamu tidak menyala, berarti Si A sedang pergi alias tidak berada di rumah. Contoh-contoh semacam itu dengan mudah akan kita temukan dalam kehidupan sehari-hari dan seyogyanya, kita mau mencermatinya. Dan, yakin atau tidak, percaya atau mengingkarinya, jika kita mau mencermati setiap perubahan-perubahan seperti itu, pada gilirannya akan memberikan peluang pada indera kita untuk menangkap seseuatu yang belum terjadi. Sebab, sekali lagi, kodrat alam adalah menyatu dalam pranatan keseimbangan. Sifat dasarnya, menurut hukum sebab akibat. Dan, muaranya adalah kepastian-kepastian yang tak terbantahkan.
Dalam proses pembelajaran SH Terate, hukum timbal balik ini dilambangkan sebagian pancaran sinar kasih berbentuk sianr yang bersumber dari hati putih berbatas garis merah.
Tulisan ini bersumber dari hasil wawancara saya, Andi Casiyem Sudin dengan Ketua Umum SH Terate Pusat Madiun, H. Tarmadji Boedi Harsono,SE
Lam Persaudaraan
BalasHapusTulisan ini bener bikin aku harus berpikir serius dan banyak berlatih. Posting terus tulisan yang bagus-bagus ya Mas Admin.