PERSAUDARAAN dalam SH Terate (1)
1. Pengertian Persaudaraan
Apakah sebenarnya hakikat dari persaudaraan itu? Kajian kodrati, semua makhluk yang ada di muka bumi ini, pada pokoknya terikat pada satu jalinan persaudaraan. Sebuah pranatan iradati yang menempatkan manusia bersama makhluk lainnya dalam garis edar simbiosis mutualis. Saling membutuhkan.
Manusia tidak akan mampu bertahan hidup tanpa keberadaan makhluk lain. Eksistensi kemanusiaan manusia juga tidak akan tercipta tanpa adanya nilai-nilai perbandingan kehidupan makhluk lain dalam ruang dan era yang sama. terlebih, jika perspektif nilai tawarnya adalah hubungan imbal balik antarmanusia. Acuan retorikanya, jelas dan tak terbantahkan. Yakni, bukankah miliaran manusia yang kini menghuni jagad raya ini berasal dari pasangan suami istri, Ibu hawa dan Bapak Adam?
Namun sebelum kita berbicara lebih jauh tentang hakikat dari persaudaraan itu, untuk menyamankan persepsi kita terhadap makna persaudaraan, dua pendekatan pengertian dihadirkan disini sebagai bahan acuan. Pertama pengertian persaudaraan menurut pandangan umum. Kedua. Pendekatan makna persaudaraan ditinjau dari segi etimologi.
Persaudaraan dalam pengertian umum adalah terjalinnya suatu hubungan timbal-balik antara individu yang satu dengan lainnya yang terikat oleh rasa kebersamaan; saling sayang menyayangi, kasih mengasihi, saling memberi dan menerima (take dan give)
Kamu memberi sesuatu pada saya dengan ikhlas dan saya menerima pemberianmu dengan tulus sebagai penghargaan dan rasa terimakasih saya kepada kamu. Lain waktu saya beri kamu sesuatu dengan ikhlas dan kamu menerimanya dengan tulus sebagai penghargaan dan rasa terimakasih kamu kepada saya. Ringkas kata, ada keterjalinan dalam bentuk saling membutuhkan, asah, asih, asuh.
Sedangkan bila ditinjau dari sudut etimologi; kata “Persaudaraan” bersal dari bahasa sanskrit. “Sa-udara”, mendapat imuhan “per-an” yang berarti hal bersaudara atau tentang tata cara menggolongkan ikatan yang kokoh sebagai jelmaan “sa (satu),”udara (perut) atau kandungan. Ibarat manusia dilahirkan dari satu kandungan (perut) maka mereka harus dapat bersatu padu secara tulus, dan selalu ingat akan awal mulanya, (eling marang dalane).
Sementara jika ditinjau dari susunan katanya, kata persaudaraan terdiri atasa kata dasar”saudara”yang mendapatkan prefik per-dan sufik-an. Dan jika ditijau daris egi nosi, konfik per-an pada kata “persaudaraan” berarti membentuk kata tersebut menjadi sebuah kata benda abstrak. Artinya, persaudaraan itu sendiri adalah abstrak adanya. Dan hanya dapat dirasakan oleh orang yang menjalaninya. Selebihnya hanya dapat dilihat dari sikap yang ditampilkan seseorang terhadap orang lain.
2. Kuncinya adalah Hati Nurani
Persudaraan dalam pandangan Persaudaraan Setia hati Terate pada dasarnya juga tidak jauh berbeda dari pengertian tersebut di atas. Penekanannya hanya pada sasaran yang hendak dicapai, arah dari persaudaraan itu sendiri. Yakni, suatu jalinan hubungan timbal balik yang dilandasi rasa saling sayang menyayangi, saling hormat menghormati dan saling bertanggungjawab. Persaudaraan yang tidak memandang siapa kamu dan siapa aku, persaudaraan yang tidak membedakan latar belakang dan status poleksosobud (politik, ekonomi, sosial dan budaya), persaudaraan yang terlepas dari kefanatikan SARA (suku, agama, ras dan atara golongan)- dengan satu catatan keterkaitan atas pengertian persaudaraan itu tidak bertentangan dengan norma dan hukum masyarakat serta hukum negara dimana kita hidup.
Penjabarannya adalah sebagai berikut :
Persaudaraan Setia Hati terate, nama organisasi ini kenapa tidak menggunakan kata “perguruan”, misalnya, akan tetapi “persaudaraan”, ini melambangkan, bahwa hubungan intim atau jalinan kasih antarsesama warga maupun anggota yang tergabung di dalamnya, adalah seperti layaknya hubungan persaudaraan antara manusia dengan manusia yang berasal dari satu kandungan; yakni hubungan ang tidak membedakan siapa “aku” dan siapa ”engkau”. Pun dipertegas bahwa persaudaraan yang terkandung didalam tubuh PSHT, adalah hubungan atau jalinan cinta kasih sejati antar sesama warga maupun aggota yang tidak dilatar belakangi oleh unsur SARA (suku, agama, ras dan antargolongan). Tidak juga oleh derajat dan kedudukan sosial ekonomi seseorang, akan tetapi merupakan jalinan persaudaraanyang kekal dan abadi, yang satu sama lain sanggup menanggung cobaan dunia dan kosekuensi hidup secara bersama-sama dengan tetap berpegang teguh pada pendirian yang diyakini kebenarannya secara bersama-sama pula.
Dalam pada itu, tidak jarang, dalam mengarungi kehidupannya manusia mengalami “persinggungan hidup” terhadap manusia lain. Kenyataan ini timbul sebagai akibat dari kepentingan manusia yang memang berbeda-beda. Dan kepentingan itu, secara logis bisa berasal dari kemauan masing-masing individu, bisa pula berasal dari latar belakang lain yang sifatnya subyektif. Kompensasinya adalah, sekali lagi, munculnya “persinggungan hidup” (konflik) di tengah-tengah pergaulan antarmanusia.
Di dalam kerangka itulah, Persaudaraan Setia Hati Terate mengajak kepada segenap warga dan anggotanya, yang secara kodrati, sebagai manusia tidak bisa lepas dari kepentingan dan latar belakang yang berbeda-beda tersebut, untuk menyatukan persepsi atas masalah-masalah yang tercakup didalamnya, khususnya yang berkaitan dengan pengertian tentang “persaudaraan”, agar tidak terjadi kesimangsiuran dan kesalahpahaman, yang apabila tidak dapat segera diantisipasi, akan mengarah kepada timbulnya hal-hal yang tidak di inginkan bersama.
Dan bahwasannya, persaudaraan dalam Persaudaraan Setia Hati Terate adalah persaudaraan sejati. Yakni persaudaraan yang murni dari lubuk hati sanubari, tanpa dilatarbelakangi oleh apa dan siapa. Persaudaraan yang lahir dari insan yang sama-sama merasa senasib sepenanggungan. Persaudaraan yang lahir dari kesadaran bahwa hakikat dirinya tidak berbeda dengan diri orang lain; yaitu berasal dari dzat yang sama. Karenanya baik jenis, sifat dan rasanya juga sama.
Dalam Persaudaraan Setia Hati Terate, bila antarsesama warga telah mencapai”kadar” persaudaraan semacam ini, dikatakan bahwa kita sudah “ketemu rose” (bertemu rasa-nya).
Kita ibaratkan kemudian, bahwa persaudaraan dalam Persaudaraan Setia Hati Terate adalah persaudaraan yang dalam “sanepan” dikatakan: “Kadya lumah kurepe ron suruh. Dinulu seje rupane, nanging ginigit tunggal rasane” (Seperti penampang daun sirih. Jika dilihat beda rupanya, akan tetapi jika digigit sama rasanya). Artinya kepala bisa berbeda, rambut bisa tak rata, tapi hati sama suka sama rasa.
Namun demikian, janganlah disalah artikan esensi nilai dari sebuah persaudaraan yang sudah “ketemu rose” tersebut. Janganlah menjadikan keracunan atas apa yang disebut dengan persaudaraan yang sudah tidak memandang lagi siapa “aku” dan siapa”engkau” itu. “ketemu rose” bukan berarti tanpa batasan. Tidak memandang lagi siapa “aku” dan siapa “engkau” bukan berarti “digebyah uyah padha asine” (sama dalam arti sempit). Persaudaraan dalam Persaudaraan Setia Hati Terate adalah persaudaraan yang tetap menjujung tinggi “unggah-ungguh”; persaudaraan yang tetap berpedoman pada tata krama dan sopan santun, sesuai dengan adat-istiadat dan budaya bangsa.
Korelasinya adalah bahwa didalam tubuh Persaudaraan Setia Hati Terate tidak terdapat hubungan antar “guru” dengan “murid”. Akan tetapi, yang ada hanyalah hubungan antara saudara dengan saudara; dimana saudara yang lebih “muda” harus menghormati saudara yang lebih “tua”; saudara yang lebih “tua” harus menyayangi saudara yang lebih “muda” dan tidak boleh semena-mena; serta saudara yang “sebaya” harus saling menghargai dan saling menyayangi. Dalam Anggaran Dasar da Anggaran Rumah Tangga Persaudaraan Setia Hati Terate Bab II, Pasal 4, disebutkan bahwa “Kehidupan dan hubungan dalam Persaudaraan Setia Hati Terate bersifat persaudaraan yang kekal, keolahragaan dan kesenian yang bersifat jasmani dan rokhani, kekeluargaan, kebersamaan dan tidak membedakan latar belakang kehidupan serta tidak berafiliasi pada aliran politik manapun.”
Dengan melatarbelakangi penekanan persaudaraan semacam itu, nantinya diharap akan bisa tercipta suatu kebersamaan yang utuh, berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Meminjam istilah dalam bahasa Jawa bisa dikatakan sebagai “paseduluran kang tansah manunggal bebasan datan pinisah najan tinigas pedang ligan” (tetap bersatu meskipun ditebas pedang ) atau “tansah tiningal guyup rukun, saiyeg saeka praya”.
Perlu digarisbawahi pula bahwa telaah persaudaraan menurut pandangan Persaudaraan Setia Hati Terate sama sekali jauh dari pengkonotsian istilah “people power” yang cenderung mengarah pada pengerahan masa guna mencapai tujuan keduniawian- dan tidak jarang menggunakan cara-cara kekerasan serta indoktrinasi untuk mencapai tujuan itu. persaudaraan menurut pandangan Persaudaraan Setia hati Terate lebih merupakan kumpulan sekelompok manusia yang secara sukarela ingin menjadi hubungan dalam rengkuhan rasa kebersamaan, sayang menyayangi dan bersama-sama ingin mewujudkan tujuab Persadaraan Setia hati Terate yaitu : menciptakan manusia berbudi luhur tahu benar dan salah dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Tujuan ini dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Persaudaraan Setia Hati Terate Bab. II Pasal 5 dijabarkan menjadi 4 butir, yakni:
1. Mempertebal rasa cinta sesama
2. Melestarikan dan mempertinggi seni olah raga dan Pencak Silat dengan
berpedoman pada ajaran wasiat Setia Hati.
3. Mempertebal rasa cinta kasih sesama
4. Menciptakan manusia berbudi luhur tahu benar dan salah, takwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
3. Unsur Pendukung Persaudaraan
Satu pertanyaan yang muncul senada dengan perspektif di atas adalah ; bagaimana agar tercipta iklim persaudaraan seperti itu ? Persaudaraan setia hati terate sebagai organisasi berdaya gerak sistem persaudaraan mengenal tiga unsur pendukung persaudaraan.
Rasa Saling Sayang Menyayangi
Pertama persaudaraan itu harus dilandasi rasa saling sayang menyayangi. Yaitu ,adanya jalinan rasa kebersamaan antara orang pertama dan kedua,yang kedua dan lainnya.
Sebagai misal ,jika terdapat ada salah seorang dari saudara kita sakit,maka kita pun harus ikut merasakannya. Lebih jauh lagi,harus memberikan dorongan semangat agar si sakit punya kemauan untuk sembuh. Bahkan akan lebih baeklagi jika ikut berusaha mencarikan obat bagi si sakit.
Sebaliknya,jika mendengar dari salah seorang dari saudara kita mendapat kebahagiaan ,kita pun harus ikut merasa senang,jangan lantas iri dan drengki. Dalam bahasa jawa lebih dikenal dengan istilah “jiniwit katut”atau “tiji tibeh ,yaji yabeh:mati siji mati kabeh,mulya siji mulya kabeh”(sama suka sama rasa)_.
Cinta Tak terbatas Sama dengan Pembunuhan
Namun demikian harus diingat pula, bahwa rasa saling sayang menyayangi itu harus ada batasnya. Cinta itu ada batasnya. Cinta yang tidak ada batasnya akan berakhir dengan penyiksaan dan penyesalan atau dikatakan sama halnya dengan pembunuhan. Pembunuhan itu keji dan tidak berperikemanusiaan. Pembunuhan juga berdosa. Dari proporsi ini bisa di tarik satu pengertian, bahwa cinta yang tidak ada batasnya lebih dekat dengan perbuatan keji dan dosa.
Contoh kasus:
Dalam suatu kesempatan, seorang ayah mendapati anaknya sakit keras. Sudah berpuluh dokter dan orang pandai didatangi dan bermacam-macam obat diberikan kepada si anak. Akan tetapi sakit si anak tak kunjung sembuh. Menurut nasehat dokter terakhir yang dikunjungi, sakit sianak bisa sembuh dengan catatan harus menjalani operasi. Bingunglah si ayah. Sebab operasi bukanlah seenak makan kue. Dengan operasi, berarti tubuh si anak akan dibedah, disayat dan dijahit. Disinilah kecermatan dan kearifan si anak ditantang. Membiarkan anaknya tak dioperasi berarti menunggu si anak mati secara perlahan-lahan. Sementara jika mengijinkan si anak dioperasi sama halnya menyerahkan buah kasih sayangnya untuk dibedah. Lain kata, si ayah dihadapkan pada pilihan yang sama beratnya,s ama sulitnya.
Contoh kasus di atas merupakan salah satu gambaran dari sebuah perjalanan yang sering kita temui. Dua kemungkinan akan terjadi. Jika cinta si ayah tidak ada batasnya, berarti dia secara tidak langsung membiarkan anaknya mati. Sebaliknya, jika cinta si ayah ada batasnya, dia akan merelakan anaknya dioperasi sebagai bentuk ikhtiar (usaha) terakhir demi penyembuhan sakit anaknya itu.
Hormati Menghormati
Unsur pendukung terjalinnya rasa persaudaraan yang kedua adalah saling hormat-menghormati. Yang merasa lebih muda harus menghormarti yang tua, yang tua pun harus bisa mengemban penghormatan itu dengan arif, tidak semena-mena kepada yang muda dan tidak bersifat diktator.
Pola penghormatan antara yang muda dan yang tua dalam PSHT, tidak sekedar ditakar dengan lamanya masa pengesahan, namun juga harus memperhatikan usia seseorang. Jadi jangan karena merasa tahun pengesahannya lebih tua, lantas bersikap sok jago terhadap warga yang mengesahkannya lebih muda. Sebaliknya, bagi warga yang merasa berusia lebih tua, juga jangan gila hormat. Sebab gila hormat itu penyakit jiwa.
Pilihan tepat terkait dengan kisi penghormatan ini adalah penekanan hukum timbal balik dalam takaran rasa pangrasa. Formatnya, jika dirinya ingin dihormati,maka hormatilah orang lain. Jika diperlakukan baik, maka balaslah dengan kebaikan yang lebih baik lagi.
Bertanggung Jawab
Ketiga, dan ini yang harus selalu dijaga sebagai konsekuensi kita sebagai manusia yang berbudaya, adlah saling bertanggungjawab, jujur dan selalu menekankan keterbukaan dalam menghadapi setiap persoalan. Pertanggungjawaban yang dimaksud dalam hal ini bisa dipilah menjadi tiga. Pertama pertanggungjawaban kita terhadap diri sendiri, kedua kepada orang lain atau sesama, dan ketiga pertanggungjawaban kita terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Apabila ketiga unsur pendukung terjalinnnya persaudaraan itu bisa terwujud san dipertahankan, bukan mustahil jika apa yang kita harapkan atas persaudaraan itu bisa tercipta. Sebaliknya jika ketiga unsur pendukung itu terabaikan, jangan berimpi kita akan bisa hidup rukun saiyeg saeka praya. (bersambung ke PERSAUDARAAN dalam SH Terate (2)
Artikel ini bersumber pada hasil wawancara saya, Andi Casiyem Sudin dengan Ketua Umum SH Terate Pusat Madiun, H. Tarmadji Boedi Harsono,SE, dan Ketua Dewan Pertimbangan SH Terate Pusat H. Drs. Marwoto, MS (almarhum)
Komentar
Posting Komentar