Hajar Aswad dan Lelaki Tampan Dari Langit
Mencium Hajar Azwad bagi jamaah yang tengah melaksanakan ibadah haji, selain disunahkan, merupakan kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri. Betapa tidak, karena mayoritas calon jamaah haji hadir dari jauh, dari negara di luar Kerajaan Arab Saudi, yang tidak akan bisa melihat Ka’bah setiap hari. Tak hanya itu, untuk bisa hadir manjadi tamu Allah itu mereka harus keluarkan biaya tidak sedikit. Waktu yang dipertaruhkan pun tidak sebentar. Khusus untuk calon jamaah haji dari Indonesia, sedikitnya harus meluangkan waktu satu bulan. Itu pun setelah menunggu bertahun tahun lamanya, karena banyaknya calon jamaah haji yang antre.
Kang Mas KRH.H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, tak terkecuali. Sebagaimana jamaah lain, ia pun rindu mencium Hajar Aswad, saat melaksanakan ibadah haji. Terlebih saat pertama kali melaksanakan rukun Islam kelima itu, pada tahun 1995. “Saat pertama saya daftar haji, tidak antre seperti sekarang. Begitu daftar, tahun itu pula langsung bisa berangkat,” katanya.
Kelimpahan rizki dari Allah, memberi peluang Mas Madji berangkat haji bersama istri tercinta, Hj. St Ruwiyatun. Jujur beliau mengaku, awalnya tidak terpikir jika bisa berangkat Makah untuk menyempurnakan ibadah wajib sebagai muslim ke Baitullah. “Wong saya ngaji ae, tadinya ra iso nDik. Blekak-blekuk koyo wong ngluku,” katanya. (Sekadar membaca Al’Quran saja, saya tidak bisa. Tidak lancar, seperti orang membajak sawah).
Itu salah satu alasan, kenapa beliau baru melaksanakan ibadah haji tahun tersebut. Alasan lain, kesiapan mental, dan yang pasti, Allah memang belum memanggilnya.Ada getaran dahsyat yang tak lagi bisa ditahan, kata Mas Madji. Getaran tersebut mulai sering muncul ketika mau shalat dan dirinya teringat Ka’bah, arah kiblat dalam shalat. Mendekati bulan bulan haji, Dzulhijah, getaran yang berasal dari dalam dada tersebut tak lagi bisa terbendung. “Saya sering nangis, tapi masih gojak gajek (ragu-ragu), benarkah Allah telah memanggil saya untuk haji?” katanya. Banyak ulama berpendapat, haji adalah penggilan Allah. Dasar mereka perintah haji itu langsung dari Allah yang difirmankan dalam Al’Quran. Mengutip sejumlah referensi, dari 6.348 ayat Al’Quran, sebanyak 18 ayat berbicara seputar ibadah haji. Sedangkan hadis tentang haji, jumlahnya banyak sekali. Salah satu hadis yang berbicara tentang haji sebagai panggilan Allah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abas, dari Jabir. “Tatkala Ibrahim as selesai membangun Ka’bah, Allah memerintahkan kepadanya, “Serulah manusia untuk mengerjakan ibadah haji,” Ibrahim menjawab, wahai Tuhan, apakah suaraku akan sampai pada mereka?” Allah berkata, “Serulah mereka, Aku akan menyampaikannya.” Maka Ibrahim naik ke atas bukit Abi Qubais, lalu berseru dengan suara yang lantang,” Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah benar-benar telah memerintahkan kepadamu sekalian mengunjungi rumah ini, supaya Dia memberikan kepadamu surga dan melindungi kamu dari azab neraka, karena itu tunaikanlah olehmu ibadah haji itu.” Maka suara itu diperkenalkan oleh orang orang yang berada dalam tulang sulbi laki-laki dan orang orang yang telah berada dalam rahim perempuan, dengan jawaban, “Labbaika, Allahumma labbaika.” (HR.Ibnu Abbas). Hadis soal Hajar Aswad, antara lain adalah yang disampaikan Ibn Abbas, ia berkata Rasulullah bersadba, Hajar Aswad turun dari surga, berwarna sangat putih daripada susu, lalu berwarna hitam karena dosa manusia. (HR. Tirmidzi). Sunat mencium Hajar Aswad berdasarkan hadis yang diriwayatkan Kholifah Umar ra, sesungguhnya ia mendatangi Hajar Aswad, kemudian menciumnya, lalu berkata,” Aku mengetahui engkau adalah batu yang tidak akan memberi faidah apapun, jika aku tidak melihat Nabi Muhammad menciummu, maka aku tidak akan menciummu.” (HR Bukhari).
Laiknya muslim yang hendak melaksanakan ibadah haji, semua agenda acara yang terkait dengan ibadah paripurna itu pun diikuti. Dari menghafal doa, manasik, hingga ngaji soal haji. Semua jadwal acara persiapan pemberangkatan, berjalan tanpa kendala. Soal bekal tak jadi soal, karena beliau sudah mempersiapkan jauh hari sebelumnya. Justru yang kembali mengusik fikirannya adalah, apakah beliau benar benar telah menjadi seorang yang bertakwa? Sebab bekal terbaik dalam haji tak ada lain hanya takwa.”Berbekallah dan sesungguhnya sebaik baik bekal adalah takwa,” (QS: 2 – 197).
Tiba waktunya berangkat, getaran dalam dada Mas Madji kian menjadi-jadi. Ada apa ini? Tak biasanya beliau merasakan getaran semacam itu. Beberapa kali mencoba diredam, tak berhasil. Bahkan semakin diredam, getaran tersebut semakin membesar, berpengaruh pada jasad, keringat dingin keluar dari sekujur tubuh.
Beliau jadi ingat soal mimpi yang pernah dirasakan sebelum berkeluarga. Saat dia masih nyantrik dengan Kang Mas Imam Koesoepangat. Mimpi tersebut terjadi, beberapa hari setelah tirakat puasa 100 hari (Soal tirakat Mas Madji ini sudah dipaparkan pada bab sebelumnya). Malam itu ia bermimpi diajak seorang berjubah putih masuk ke dalam sebuah taman yang sangat indah. Taman yang tidak pernah dilihat sepanjang hidupnya. Banyak buah bergelantungan dari pohon rindang bercabang rendah di taman itu hingga gampang di petik. Terdengar kicauan burung berbulu hijau. Suara gemericik air sungai dan bangku bangku taman di tepi kali, menambah lanskap keindahan taman semakin ritmis. Air kali di taman itu bersih, bening, hinga bebatuan di dasar kali terlihat berkilauan. Udaranya segar banget dan baunya wangi. “Tak goleki, ning ra ketemu (Saya pernah mencari-cari, tapi tidak pernah menemukannya), taman itu tidak ada di sini, tapi jauh, gak ruh ning ngendi. Anehnya, taman itu sepertinya muncul di jiwa saya sendiri, ada dalam jiwa saya “ ungkap Mas Madji.
Beliau sempat menceritakan perihal mimpi tersebut kepada Mas Imam. Bahkan jika diizinkan, ingin kembali mendatanginya, seberat apa pun laku tirakat yang harus dijalankan.” Itu Taman Keabadian, Kid. Belum waktunya engkau memasukinya,” jawab Mas Imam. Getaran yang dirasa saat mau berangkat haji, hampir sama dengan getaran yang dirasakan Mas Madji dalam mimpi tersebut.
Sepanjang melaksanaan ibadah haji, beliau berusaha maksimal memenuhi rukun yang disyaratkan. Mas Madji dengan jujur mengatakan, selain membaca doa doa yang sudah ada di buku tuntunan manasik, lebih sering pula beliau membaca doa dengan bahasa Jawa atau bahasa Indonesia. Bahasa yang dipahami, dan diakui, rasanya lebih khusuk jika berdoa dengan bahasa sendiri. Maklum, beliau tidak bisa berbahasa Arab, seperti halnya mayoritas jamaah haji yang datang dari Indonesia.
Satu hal yang dirindukan, Mas Madji ingin mencium Hajar Aswad. Tapi kenyataan yang dihadapi, bagai bumi dan langit, tidak seperti yang dimimpikan. Mencium Hajar Aswad, saat berlangsung waktu ibadah haji, ternyata tidak mudah. Ribuan jamaah berebut untuk melakukan hal sama. Mereka rela berdesakan, demi mendapatkan apa yang diidamkan. Berkali-kali beliau berusaha masuk ke kerumunan jamaah, mendekati ke Hajar Aswad, tapi selalu terpental. Tak jera, kembali dikumpulkan semangat, ngetok karosan, ambyur njegur ke arus jamaah, mendekat Ka’bah, dan gagal lagi. Terpental lagi. Batin Mas Madji, aku ki pendekar, Tingkat III, tapi kenapa hanya sekadar ingin mencium Hajar Aswad saja tidak bisa? Nafsu dalam dadanya berbicara. Dan, beliau pun bangkit lagi, mencoba dan mencoba lagi. Tapi tetap gagal lagi. Pokok, setiap ada kesempatan, mencoba dan mencoba lagi. Hingga, waktu mukim Jamaah Haji Indonesia hampir hampis, setelah Hari Tasriq terlewatkan, dan seluruh rangkaian rukun ibadah haji diselesaikan, beliau belum berhasil mencium Hajar Aswad.
Mas Madji nglokro? Tidak! Putus asa bukan sifat pendekar Setia Hati Terate. Kegagalan adalah sukses tertunda. Beliau yakin, pasti ada hikmah tersembunyi di balik kegagalannya. Hingga malam malam terakhir sebelum pemulangan tiba, beliau kembali iktikaf di Masjidil Haram. Kali ini memilih tempat yang agak menjauh dari pusaran jamaah thowaf. Mencari tempat yang agak longgar. Duduk bersimpuh, di salah satu sudut di masjid dimana Baitullah berada. Mencoba memasuki ke keghaiban rasa. “ Ya Allah, Dzat Yang Maha Agung, pemilik Ka’bah, pemilik Baitullah, pemilik Hajar Aswad, terimalah hambamu ini sebagai tamuMu, beri hamba tanda kalo kedatangan hamba ke rumahMu ini, benar-benar Engkau terima,” tak disadari, doa itu meluncur sendiri dari dalam hati, menuntun bibir untuk mengucapkannya. Dan, air mata mengalir tak terbendung. Beliau mengaku, yang berkecamuk di dalam dadanya saat itu adalah rasa rindu. Getaran rasa tersebut memenuhi seluruh syaraf dalam tubuhnya. Rasa yang tak lagi bisa terucap dengan kata.
Lama Mas Madji bersimpuh. Hingga tiba-tiba ia merasakan seperti berada di dalam sebuah Taman. Gaibnya, taman itu persis seperti yang ditemukan dalam mimpi dulu. Yang berbeda, hanya seorang laki-laki yang membawa beliau memasuki taman. Dalam mimpinya dulu, lelaki itu berjubah dan tidak memperlihatkan wajahnya. Tapi di Masjidil Haram, dalam sadar dan tidak sadar, sosok lelaki yang membawanya ke taman itu memperlihatkan wajahnya. Subhanallah, ganteng banget, tampan banget. Mas Madji serta merta ingin menyalaminya. Tapi lelaki itu seperti memerintahkan beliau untuk tetap duduk bersimpuh. Sekejap kemudian, lelaki itu menjauh dan menghilang.
Beliau tidak tahu persis berapa lama duduk bersimpuh di sudut Masjidil Haram, malam itu. Yang didapati malam kian mengkristal. Itu bisa dirasakan dari hawa dingin yang membalut kulit. Teringat, bakda isya malam itu, setelah mengantar istri tercinta, Hj. St Ruwiyatun ke penginapan, beliau kembali ke Masjidil Haram, untuk iktikaf, thowaf dan ibadah sunah lain yang bisa dilakukan. Malam itu, beberapa kali mencoba mencium Hajar Aswad, tapi tidak berhasil. Hingga akhirnya duduk bersimpuh dan mengalami momen religius di ambang batas kesadarannya.
Mas Madji bangkit, mengibaskan pakaian yang tertimpa gerimis. Pandangan matanya menjurus ke Ka’bah. Ke arah kerumunan jamaah yang berebut mencium Hajar Aswad. Getaran rindu dalam dada masih terasa, seakan menggerakkan kakinya untuk kembali mendekati Ka’bah. Saat mulai melangkah, menyelinap masuk ke arus jamaah yang lagi thowaf, tiba tiba ia melihat sosok lelaki ganteng tidak jauh dari tempatnya. Lelaki itu memberi isyarat pada beliau untuk mengikutinya. Mas Madji menurut. Ia berjalan mengikuti kemana arah jalan lelaki itu. Menyusup ke arus jamaah, mendekati Baitullah. Aneh, beliau merasa dengan mudah menyelinap ke dalam kerumunan, seperti tak bersentuhan dengan orang lain. Orang-orang yang berada di depan, seperti menyingkir memberi jalan pada lelaki itu dan Mas Madji. Terus berjalan memutar, memutar, mendekat dan kian mendekat Ka’Bah, fokus mengarah ke tempat Hajar Aswad. “Allahu Akbar!” Kang Mas. KRH.H. Tarmadji Boediharsono Adinagoro,SE, spontan memekikkan takbir, sambil mencium Hajar Aswad. Sesuatu yang dirindukan, diidam-idamkan. Beliau tidak tahu pasti berapa lama mencium Hajar Aswad, saat itu, di malam-malam akhir mukim di Masjidil Haram. Yang dirasa setelah itu, tubuhnya mendadak terangkat tinggi, seperti terbawa arus menjauh dari Ka’bah. Dan lelaki tampan itu, lelaki yang telah membimbing langkahnya hingga berhasil mencium Hajar Aswad, kemana dia? Ia datang seperti dari langit dan pergi menghilang entah kemana. “Saya menangis ngguguk setelah peristiwa itu, nDik. Saya menangis seperti anak kecil,” katanya. Tampak ada lelehan air bening di pipinya.
Siapa sosok lelaki tampan yang menemuinya di Masjidil Haram? Lelaki yang menuntut beliau mencium Hajar Aswad? Pertanyaan tersebut, menurut Mas Madji, tak pernah terjawab. Lelaki tampan itu hanya menemuinya, saat melaksanakan ibadah haji yang pertama, pada Tahun 1995. Tahun-tahun berikutnya, sekali pun melaksanakan ibadah haji atau umroh berkali kali, lelaki tampan tersebut tak dijumpainya lagi. Sekalipun beliau sudah berusaha memanggil dan mencarinya.(andi casiyem sudin)
Catatan : Hikmah ini diceritakan almarhum Mas Madji kepada penulis sepulang beliau melaksanakan ibadah haji pertama kali pada tahun 1995. ___________
Kang Mas KRH.H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, tak terkecuali. Sebagaimana jamaah lain, ia pun rindu mencium Hajar Aswad, saat melaksanakan ibadah haji. Terlebih saat pertama kali melaksanakan rukun Islam kelima itu, pada tahun 1995. “Saat pertama saya daftar haji, tidak antre seperti sekarang. Begitu daftar, tahun itu pula langsung bisa berangkat,” katanya.
Kelimpahan rizki dari Allah, memberi peluang Mas Madji berangkat haji bersama istri tercinta, Hj. St Ruwiyatun. Jujur beliau mengaku, awalnya tidak terpikir jika bisa berangkat Makah untuk menyempurnakan ibadah wajib sebagai muslim ke Baitullah. “Wong saya ngaji ae, tadinya ra iso nDik. Blekak-blekuk koyo wong ngluku,” katanya. (Sekadar membaca Al’Quran saja, saya tidak bisa. Tidak lancar, seperti orang membajak sawah).
Itu salah satu alasan, kenapa beliau baru melaksanakan ibadah haji tahun tersebut. Alasan lain, kesiapan mental, dan yang pasti, Allah memang belum memanggilnya.Ada getaran dahsyat yang tak lagi bisa ditahan, kata Mas Madji. Getaran tersebut mulai sering muncul ketika mau shalat dan dirinya teringat Ka’bah, arah kiblat dalam shalat. Mendekati bulan bulan haji, Dzulhijah, getaran yang berasal dari dalam dada tersebut tak lagi bisa terbendung. “Saya sering nangis, tapi masih gojak gajek (ragu-ragu), benarkah Allah telah memanggil saya untuk haji?” katanya. Banyak ulama berpendapat, haji adalah penggilan Allah. Dasar mereka perintah haji itu langsung dari Allah yang difirmankan dalam Al’Quran. Mengutip sejumlah referensi, dari 6.348 ayat Al’Quran, sebanyak 18 ayat berbicara seputar ibadah haji. Sedangkan hadis tentang haji, jumlahnya banyak sekali. Salah satu hadis yang berbicara tentang haji sebagai panggilan Allah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abas, dari Jabir. “Tatkala Ibrahim as selesai membangun Ka’bah, Allah memerintahkan kepadanya, “Serulah manusia untuk mengerjakan ibadah haji,” Ibrahim menjawab, wahai Tuhan, apakah suaraku akan sampai pada mereka?” Allah berkata, “Serulah mereka, Aku akan menyampaikannya.” Maka Ibrahim naik ke atas bukit Abi Qubais, lalu berseru dengan suara yang lantang,” Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah benar-benar telah memerintahkan kepadamu sekalian mengunjungi rumah ini, supaya Dia memberikan kepadamu surga dan melindungi kamu dari azab neraka, karena itu tunaikanlah olehmu ibadah haji itu.” Maka suara itu diperkenalkan oleh orang orang yang berada dalam tulang sulbi laki-laki dan orang orang yang telah berada dalam rahim perempuan, dengan jawaban, “Labbaika, Allahumma labbaika.” (HR.Ibnu Abbas). Hadis soal Hajar Aswad, antara lain adalah yang disampaikan Ibn Abbas, ia berkata Rasulullah bersadba, Hajar Aswad turun dari surga, berwarna sangat putih daripada susu, lalu berwarna hitam karena dosa manusia. (HR. Tirmidzi). Sunat mencium Hajar Aswad berdasarkan hadis yang diriwayatkan Kholifah Umar ra, sesungguhnya ia mendatangi Hajar Aswad, kemudian menciumnya, lalu berkata,” Aku mengetahui engkau adalah batu yang tidak akan memberi faidah apapun, jika aku tidak melihat Nabi Muhammad menciummu, maka aku tidak akan menciummu.” (HR Bukhari).
Laiknya muslim yang hendak melaksanakan ibadah haji, semua agenda acara yang terkait dengan ibadah paripurna itu pun diikuti. Dari menghafal doa, manasik, hingga ngaji soal haji. Semua jadwal acara persiapan pemberangkatan, berjalan tanpa kendala. Soal bekal tak jadi soal, karena beliau sudah mempersiapkan jauh hari sebelumnya. Justru yang kembali mengusik fikirannya adalah, apakah beliau benar benar telah menjadi seorang yang bertakwa? Sebab bekal terbaik dalam haji tak ada lain hanya takwa.”Berbekallah dan sesungguhnya sebaik baik bekal adalah takwa,” (QS: 2 – 197).
Tiba waktunya berangkat, getaran dalam dada Mas Madji kian menjadi-jadi. Ada apa ini? Tak biasanya beliau merasakan getaran semacam itu. Beberapa kali mencoba diredam, tak berhasil. Bahkan semakin diredam, getaran tersebut semakin membesar, berpengaruh pada jasad, keringat dingin keluar dari sekujur tubuh.
Beliau jadi ingat soal mimpi yang pernah dirasakan sebelum berkeluarga. Saat dia masih nyantrik dengan Kang Mas Imam Koesoepangat. Mimpi tersebut terjadi, beberapa hari setelah tirakat puasa 100 hari (Soal tirakat Mas Madji ini sudah dipaparkan pada bab sebelumnya). Malam itu ia bermimpi diajak seorang berjubah putih masuk ke dalam sebuah taman yang sangat indah. Taman yang tidak pernah dilihat sepanjang hidupnya. Banyak buah bergelantungan dari pohon rindang bercabang rendah di taman itu hingga gampang di petik. Terdengar kicauan burung berbulu hijau. Suara gemericik air sungai dan bangku bangku taman di tepi kali, menambah lanskap keindahan taman semakin ritmis. Air kali di taman itu bersih, bening, hinga bebatuan di dasar kali terlihat berkilauan. Udaranya segar banget dan baunya wangi. “Tak goleki, ning ra ketemu (Saya pernah mencari-cari, tapi tidak pernah menemukannya), taman itu tidak ada di sini, tapi jauh, gak ruh ning ngendi. Anehnya, taman itu sepertinya muncul di jiwa saya sendiri, ada dalam jiwa saya “ ungkap Mas Madji.
Beliau sempat menceritakan perihal mimpi tersebut kepada Mas Imam. Bahkan jika diizinkan, ingin kembali mendatanginya, seberat apa pun laku tirakat yang harus dijalankan.” Itu Taman Keabadian, Kid. Belum waktunya engkau memasukinya,” jawab Mas Imam. Getaran yang dirasa saat mau berangkat haji, hampir sama dengan getaran yang dirasakan Mas Madji dalam mimpi tersebut.
Sepanjang melaksanaan ibadah haji, beliau berusaha maksimal memenuhi rukun yang disyaratkan. Mas Madji dengan jujur mengatakan, selain membaca doa doa yang sudah ada di buku tuntunan manasik, lebih sering pula beliau membaca doa dengan bahasa Jawa atau bahasa Indonesia. Bahasa yang dipahami, dan diakui, rasanya lebih khusuk jika berdoa dengan bahasa sendiri. Maklum, beliau tidak bisa berbahasa Arab, seperti halnya mayoritas jamaah haji yang datang dari Indonesia.
Satu hal yang dirindukan, Mas Madji ingin mencium Hajar Aswad. Tapi kenyataan yang dihadapi, bagai bumi dan langit, tidak seperti yang dimimpikan. Mencium Hajar Aswad, saat berlangsung waktu ibadah haji, ternyata tidak mudah. Ribuan jamaah berebut untuk melakukan hal sama. Mereka rela berdesakan, demi mendapatkan apa yang diidamkan. Berkali-kali beliau berusaha masuk ke kerumunan jamaah, mendekati ke Hajar Aswad, tapi selalu terpental. Tak jera, kembali dikumpulkan semangat, ngetok karosan, ambyur njegur ke arus jamaah, mendekat Ka’bah, dan gagal lagi. Terpental lagi. Batin Mas Madji, aku ki pendekar, Tingkat III, tapi kenapa hanya sekadar ingin mencium Hajar Aswad saja tidak bisa? Nafsu dalam dadanya berbicara. Dan, beliau pun bangkit lagi, mencoba dan mencoba lagi. Tapi tetap gagal lagi. Pokok, setiap ada kesempatan, mencoba dan mencoba lagi. Hingga, waktu mukim Jamaah Haji Indonesia hampir hampis, setelah Hari Tasriq terlewatkan, dan seluruh rangkaian rukun ibadah haji diselesaikan, beliau belum berhasil mencium Hajar Aswad.
Mas Madji nglokro? Tidak! Putus asa bukan sifat pendekar Setia Hati Terate. Kegagalan adalah sukses tertunda. Beliau yakin, pasti ada hikmah tersembunyi di balik kegagalannya. Hingga malam malam terakhir sebelum pemulangan tiba, beliau kembali iktikaf di Masjidil Haram. Kali ini memilih tempat yang agak menjauh dari pusaran jamaah thowaf. Mencari tempat yang agak longgar. Duduk bersimpuh, di salah satu sudut di masjid dimana Baitullah berada. Mencoba memasuki ke keghaiban rasa. “ Ya Allah, Dzat Yang Maha Agung, pemilik Ka’bah, pemilik Baitullah, pemilik Hajar Aswad, terimalah hambamu ini sebagai tamuMu, beri hamba tanda kalo kedatangan hamba ke rumahMu ini, benar-benar Engkau terima,” tak disadari, doa itu meluncur sendiri dari dalam hati, menuntun bibir untuk mengucapkannya. Dan, air mata mengalir tak terbendung. Beliau mengaku, yang berkecamuk di dalam dadanya saat itu adalah rasa rindu. Getaran rasa tersebut memenuhi seluruh syaraf dalam tubuhnya. Rasa yang tak lagi bisa terucap dengan kata.
Lama Mas Madji bersimpuh. Hingga tiba-tiba ia merasakan seperti berada di dalam sebuah Taman. Gaibnya, taman itu persis seperti yang ditemukan dalam mimpi dulu. Yang berbeda, hanya seorang laki-laki yang membawa beliau memasuki taman. Dalam mimpinya dulu, lelaki itu berjubah dan tidak memperlihatkan wajahnya. Tapi di Masjidil Haram, dalam sadar dan tidak sadar, sosok lelaki yang membawanya ke taman itu memperlihatkan wajahnya. Subhanallah, ganteng banget, tampan banget. Mas Madji serta merta ingin menyalaminya. Tapi lelaki itu seperti memerintahkan beliau untuk tetap duduk bersimpuh. Sekejap kemudian, lelaki itu menjauh dan menghilang.
Beliau tidak tahu persis berapa lama duduk bersimpuh di sudut Masjidil Haram, malam itu. Yang didapati malam kian mengkristal. Itu bisa dirasakan dari hawa dingin yang membalut kulit. Teringat, bakda isya malam itu, setelah mengantar istri tercinta, Hj. St Ruwiyatun ke penginapan, beliau kembali ke Masjidil Haram, untuk iktikaf, thowaf dan ibadah sunah lain yang bisa dilakukan. Malam itu, beberapa kali mencoba mencium Hajar Aswad, tapi tidak berhasil. Hingga akhirnya duduk bersimpuh dan mengalami momen religius di ambang batas kesadarannya.
Mas Madji bangkit, mengibaskan pakaian yang tertimpa gerimis. Pandangan matanya menjurus ke Ka’bah. Ke arah kerumunan jamaah yang berebut mencium Hajar Aswad. Getaran rindu dalam dada masih terasa, seakan menggerakkan kakinya untuk kembali mendekati Ka’bah. Saat mulai melangkah, menyelinap masuk ke arus jamaah yang lagi thowaf, tiba tiba ia melihat sosok lelaki ganteng tidak jauh dari tempatnya. Lelaki itu memberi isyarat pada beliau untuk mengikutinya. Mas Madji menurut. Ia berjalan mengikuti kemana arah jalan lelaki itu. Menyusup ke arus jamaah, mendekati Baitullah. Aneh, beliau merasa dengan mudah menyelinap ke dalam kerumunan, seperti tak bersentuhan dengan orang lain. Orang-orang yang berada di depan, seperti menyingkir memberi jalan pada lelaki itu dan Mas Madji. Terus berjalan memutar, memutar, mendekat dan kian mendekat Ka’Bah, fokus mengarah ke tempat Hajar Aswad. “Allahu Akbar!” Kang Mas. KRH.H. Tarmadji Boediharsono Adinagoro,SE, spontan memekikkan takbir, sambil mencium Hajar Aswad. Sesuatu yang dirindukan, diidam-idamkan. Beliau tidak tahu pasti berapa lama mencium Hajar Aswad, saat itu, di malam-malam akhir mukim di Masjidil Haram. Yang dirasa setelah itu, tubuhnya mendadak terangkat tinggi, seperti terbawa arus menjauh dari Ka’bah. Dan lelaki tampan itu, lelaki yang telah membimbing langkahnya hingga berhasil mencium Hajar Aswad, kemana dia? Ia datang seperti dari langit dan pergi menghilang entah kemana. “Saya menangis ngguguk setelah peristiwa itu, nDik. Saya menangis seperti anak kecil,” katanya. Tampak ada lelehan air bening di pipinya.
Siapa sosok lelaki tampan yang menemuinya di Masjidil Haram? Lelaki yang menuntut beliau mencium Hajar Aswad? Pertanyaan tersebut, menurut Mas Madji, tak pernah terjawab. Lelaki tampan itu hanya menemuinya, saat melaksanakan ibadah haji yang pertama, pada Tahun 1995. Tahun-tahun berikutnya, sekali pun melaksanakan ibadah haji atau umroh berkali kali, lelaki tampan tersebut tak dijumpainya lagi. Sekalipun beliau sudah berusaha memanggil dan mencarinya.(andi casiyem sudin)
Catatan : Hikmah ini diceritakan almarhum Mas Madji kepada penulis sepulang beliau melaksanakan ibadah haji pertama kali pada tahun 1995. ___________
Komentar
Posting Komentar