Ingin Sukses? Gerakkan 4 Jurus Kunci Ini
“Hidup-hidupilah SH Terate, jangan mencari penghidupan di SH Terate.” Moto
bernilai nasihat kebijaksanaan dalam berorganisasi ini diterima langsung Kang
Mas. KRH. H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro, SE , dari pelatih (guru) beliau,
RM.Imam Koesoepangat.
Nasihat itu tertanam dalam-dalam di lubuk hati Mas Madji, panggilan akrab H. Tarmadji, hingga akhir hayatnya. Terbukti, sepanjang hidup, beliau tidak pernah mencari penghidupan di Persaudaraan Setia Hati Terate. Perekonomian keluarganya diperoleh dari bisnis minyak dan gas bumi (migas). Dia tercatat sebagai pengusaha migas cukup sukses di wilayah Jawa Timur. Sementara, sang istri, Hj. Ruwiyatun, bekerja menjadi karyawan PT. PLN. mBak Ruwi juga berasal dari keluarga yang cukup mampu. Ayahnya tokoh masyarakat di desa setempat, pemilik lahan pertanian yang cukup luas. Kiat yang sering diungkap,“Besarkan organisasi yang engkau ikuti, maka engkau pun akan ikut jadi besar.” Dan terbukti, beliau tidak sekadar ngomong (ora waton ngomong). Namun menjabarkannya dalam perilaku keseharian (nyontoni lan ngawaki).
Fakta konkret yang berhasil dikumpulkan penulis, saat menjadi Ketua Umum merangkap Ketua Majelis Luhur Persaudaraan Setia Hati Terate sejak tahun 1981 hingga Pereode Tahun 2014/2015, Mas Madji berhasil membesarkan organisasi tercinta. Dari data perkembangan cabang, bisa dilihat, di tahun-tahun awal beliau menjabat Ketua Umum Pusat, Persaudaraan SH Terate baru memiliki 46 cabang. Pada akhir masa jabatannya, berkembang pesat menjadi 200 cabang, tersebar di Indonesia. Jumlah ini masih ditambah pendirian 67 Komisariat Perguruan Tinggi serta 6 Komisariat di luar negeri. Itu berarti selama memimpin, perkembangan cabang Persaudaraan SH Terate bertambah cukup siginifikan, dari yang semula 46 cabang ( di era kepemimpinan duet RM. Imam Koesoepangat dengan Tarmadji), menjadi 200 cabang, atau bertambah sebanyak 154 cabang.
Karier Mas Madji dalam kepengurusan dimulai tahun 1971, sebagai Ketua Cabang Persaudaraan Setia Hati Terate Madiun. Jabatan tersebut dijalani hingga tahun 1974. Pada tahun 1978, beliau ditunjuk menjadi Ketua I, mendampingi Kang Mas Badini sebagai Ketua Persaudaraan Setia Hati Terate Pusat . Pada Musyawarah Besar (MUBES) Persaudaraan Setia Hati Terate Tahun 1981, beliau terpilih menjadi Ketua Umum Pusat.
Benar, bahwa pada pereode delapan puluhan, tugas pokok kepemimpinan di SH Terate dibagi dua. Sektor idealisme dan kerokhanian, diserahkan pada Mas Imam, sebagai Ketua Dewan Pusat. Sedangkan di sektor real, yakni pengembangan dan keorganisasian diserahkan pada Mas Madji. Namun setelah Mas Imam wafat, kedua tugas tersebut, sepenuhnya menjadi tanggung jawab Mas Madji (Ketua Umum merangkap Ketua Dewan Pusat).
Setahun setelah memimpin organisasi, sejumlah kebijakan diluncurkan.Salah satu produk kebijakan yang dilahirkan adalah pendirian Yayasan Setia Hati Terate lewat Akta Notaris Dharma Sanjata Sudagung No. 66/1982. Yayasan Setia Hati Terate merupakan komitmen organisasi untuk andil memberikan nilai lebih bagi masyarakat, khususnya di sektor rial. Dalam perkembangannya, di samping berhasil mendirikan Padepokan Persaudaraan Setia Hati Terate di Jl. Merak Nambangan Kidul Kodya Madiun, yayasan ini juga mendirikan dua lembaga pendidikan formal Sekolah Menengah Umum (SMU) Kususma Terate dan Sekolah Menengah Industri Pariwisata (SMIP) Kusuma Terate serta lembaga pendidikan ketrampilan siap pakai. Sedangkan untuk meningkatkan perekonomian warganya, didirikan Koperasi Terate Manunggal.
Di tangan Mas Madji, Yayasan Setia Hati Terate dalam waktu relatif singkat memiliki sejumlah aset, antara lain tanah seluas 12.190 m2 yang di atasnya berdiri sarana dan prasarana phisik seperti: gedung Pendapa Agung Saba Wiratama, gedung Sekretariat Persaudaraan Setia Hati Terate, gedung PUSDIKLAT (Sasana Kridangga), gedung pertemuan (Sasana Parapatan), gedung Training Centre (Sasana Pandadaran), gedung Peristirahatan (Sasana Amongraga), Gedung Serba Guna, Kantor Yayasan Setia Hati Terate, gedung SMK (Pariwisata) Kusuma Terate, gedung Koperasi Terate Manunggal dan Gelanggang Adu Bebas SH Terate (Sasana Krida Wiratama). Lahan yang digunakan untuk membangun Padepokan ini, berasal dari Pemkot Madiun, sebagian lagi dibeli dari PT. Cipta Niaga.
Aset lain yang dimiliki adalah pembelian rumah kediaman Ki Hadjar Hardjo Oetomo, di Pilangbango. Di akhir kehidupan Mas Madji, rumah peninggalan pendiri SH Terate ini, sering digunakan untuk acara pertemuan pengurus harian dan temu kadang. Rumah ini diproyeksikan untuk Museum SH Terate.
Kepada penulis Mas Madji pernah mengatakan, rumah peninggalan Ki Hadjar Hardjo Oetomo ini sedianya akan dibeli dengan uang pribadi, sebagai aset pribadi. Mas Harsono (alm), putra Ki Hadjar yang menawarkan pada beliau. Namun melihat nilai sejarah dalam perkembangan organisasi tercinta, akhirnya Mas Madji memutuskan, rumah legendaris itu lebih bijak jika dijadikan aset organisasi. Rumah tersebut masih dijaga keasliannya hingga sekarang. Hanya di halaman depan dibangun pendapa berkontruksi joglo, pintu gerbang serta pagar keliling. Lokasi rumah ini tidak jauh dari Makam Ki Hadjar Hardjo Oetomo.
Kekayaan lain yang berhasil diraih Yayasan SH Terate adalah pembelian tanah yang berlokasi di seberang jalan, tepat di depan padepokan, serta usaha perhotelan dan centra multi usaha yang berlokasi tidak jauh dari pintu gerbang masuk Jl.Merak, Kota Madiun. Tanah tersebut, sedianya akan dijadikan lokasi training centre pencak silat. Semacam pondok pesantren, atau sekolah budaya pencak silat. Sudah cukup lama gagasan tersebut diunngkap. Namun sebelum terwujud, Allah sudah memanggilnya.
Sedang tanah yang berlokasi di sebelah barat padepokan yang sekarang dijadikan makam Mas Madji, itu murni milik beliau pribadi. Tanah tersebut milik warga setempat yang dibeli dengan uang pribadi. Beberapa tahun sebelum wafat, beliau sudah memberi wasiat agar dimakamkan di situ, jika wafat. Awalnya, beliau ingin dimakamkan di dalam lokasi padepokan. Tepatnya, di dalam ruang kesterlek (ruangan di belakang ruang kerja Ketua Umum Pusat. Mas Madji sendiri yang sering menyebut nama ruangan itu sebagai ruang kesterlek). Tidak banyak warga yang mengetahui keberadaan ruangan ini. Kecuali pengurus pusat, staf dan cantrik beliau. Ruangan ini, semasa hidupnya, sering digunakan untuk ruang pembelajaran dan praktik kesterlek warga TK II. Wasiyat itu pernah diutarakan kepada penulis. Namun karena pertimbangan lain, di antaranya, banyaknya warga yang diperkirakan berziarah kemakam, beliau akhirnya berubah fikiran. Memilih agar dimakamkan di tanah pribadi di sebelah barat padepokan. (Beberapa wasiat yang diutarakan beliau di akhir kehidupannya, insya Allah, akan penulis paparkan dalam bab bab tersendiri).
Sebenarya Mas Madji seorang yang ahli tirakat (tapa brata). Namun pandai memformat lakunya itu hingga jarang diketahui orang lain. Bahkan orang-orang dekat beliau banyak yang tidak tahu, manakala dia tengah tirakat. Ngurang-ngurangi dan tapa ngrame, salah satu kegemarannya. Prinsip yang dijadikan dasar, tirakat wong SH itu sepanjang hidup. Laku ilmu setia hati itu tak kenal ruang waktu. Dimensi absurditas yang terpola dan berpusar pada persaudaraan, cinta kasih dan untuk menuju kebahagiaan abadi. Boleh jadi, prinsip ini tumbuh di jiwa Mas Madji sebagai buah didikan dari Mas Imam, setelah nyantrik puluhan tahun lamanya.”Urip iku sejatine tirakat, nDik. Awakmu kudu pinter, ojo landep dengkul, ojo biyakyakan (Hidup itu sejatinya proses tirakat. Kamu harus pandai mengendalikan diri, mengevaluasi diri), ” jawabnya saat penulis mengutarakan niat ingin ikut laku tirakat, sebagaimana yang dilakukan beliau. Di penghujung tahun 1965, setamat SMA, beliau pernah melakukan puasa selama 100 hari. Kesuksesan tidak akan bisa diraih dengan hanya berpangku tangan. Ridlo Allah berbanding tegak lurus dengan prasangka dan laku ikhtiyar hambanya. Sukses identik dengan usaha, ikhtiar, dilambari laku tirakat (laku bisa maujud linabaran ngelmu). Nasib bisa berubah menjadi baik dengan doa dan usaha (kodrat yekti bisa den irodati). Allah, Tuhan Yang Maha Esa tidak akan merubah nasib suatu kaum, sebelum mereka sendiri berusaha merubahnya.
Ketika laku tirakat Mas Madji masuk hari ke 70, Mas Imam meminta menyudahi puasanya.” Dik Madji itu bukan saya dan saya juga bukan Dik Madji. Goleko disik sangune urip Kid, awakmu isik enom,lho (carilah bekal hidup lebih dulu Dik, kamu masih muda, lho.” Mas Imam suka memanggil adik adiknya dengan panggilan “Kid”. Ini bahasa prokem di kalangan keluarga Persaudaraan SH Terate Madiun saat itu. “Kid” berasal dari kata “Dik” yang dibalik. Maksud ungkapan Mas Imam itu, setiap orang memiliki kodrat dan irama hidup masing masing. Tidak ada yang sama. Karenanya, tirakatnya juga berbeda. Sesuai dengan karakter personal. Mas Imam lantas memberikan petunjuk jenis laku tirakat yang sesuai dengan kepribadian Mas Madji. “Api itu musuhnya air, Kid,” ujar Mas Imam. Bagaimana kita bisa memadamkan api tanpa air? Laku tersebut adalah proses mencari jati diri atau mengenal diri pribadi. Wujudnya, pengendalian nafsu. Dengan laku ini, diyakini, seseorang bisa menemukan jatidirinya, mengenal dirinya. Mas Madji menyebutnya sebagai laku Setia Hati.
Hari berikutnya, Mas Madji mengakhiri puasanya. Beliau mulai keluar rumah dan bergaul dengan lingkungan seperti hari-hari biasanya. Tak berapa lama, atas petunjuk Mas Imam, beliau melamar kerja di Departemen Perhubungan (Dinas Lalu Lintas Jalan Raya - DLLJR) Wil Madiun. Sebenarnya ia diterima di dinas tersebut dan diminta mulai masuk kerja sebagai karyawan honorer, pada hari Senin, pekan berikutnya. Namun saat akan masuk kerja, ternyata lowongan yang tersedia sudah diisi orang lain. Dan, orang tersebut adalah “saudara sendiri”.
Enam bulan berikutnya, beliau mencoba melamar kerja lagi dan diterima sebagai pegawai honorer sipil TNI AD. Beliau ditugaskan mengurus Koperasi TNI AD, Korem 081 Dhirotsaha Jaya Madiun. Pekerjaan ini dijalani hingga tahun 1971. Ada cerita menarik seputar pengunduran diri Mas Madji dari pegawai honorer sipil TNI AD. Suatu hari ia dipanggil Mayor Kasmuri, salah satu perwira Korem 081 Dhirotsaha Jaya saat itu. Tak disangka, perwira menengah itu malah menyuruh Mas Madji keluar dari pekerjaannya.“Kene ki dudu panggonanmu, Ji. Panggonanmu ora ning kene, (Di sini bukan tampatmu, Ji. Tempatmu bukan di sini),” kata Mayor Kasmuri. Di kesatuan setempat, prajurit yang satu ini dikenal memiliki kelebihan “ngelmu kasepuhan”. Di luar rutinitas tugas kedinasan, dia sering memberi nasihat pada Mas Madji. Semula Mas Madji kaget, mendengar nasihat itu. Alasannya, beliau sudah mengabdi di situ cukup lama. Malah proses pengangkatan sebagai pegawai negeri sudah diproses. Tinggal menunggu turun SK yang kabarnya tinggal beberapa pekan. Tapi melihat kesungguhan dari nasihat perwira tersebut, akhirnya beliau mematuhinya, mengundurkan diri dari Korem Madiun. Padahal di pekan yang sama, SK pengangkatan beliau sebagai pegawai negeri sipil (PNS – sekarang ASN) turun.“Ada dorongan kuat yang menyuruh saya keluar. Sekarang saya baru tahu, ternyata nasihat Mayor Kasmuri itu adalah isyarat bahwa tempat saya memang bukan di Korem, bukan sebagai pegawai negeri,” ujar Mas Madji.
Proses perjalanan Mas Madji dalam berihtiyar mencari penghidupan itu, kian menambah keyakinan, bahwa jalan hidup manusia itu berbeda-beda. Tiap orang harus menjalani prosesnya. Menjalani takdirnya. Proses perjalanan yang sudah “tinulis” menuju kepastian demi kepastian, karena sesungguhnya Allah sudah menuliskannya sebelum kita lahir di bumi, sebagaimana melingkarnya untaian kalung yang melingkar di leher.”Bahwa sesungguhnya hakekat hidup itu berkembang menurut kodrat irmanya masing masing menuju kesempurnaan – Mukadimah SH Terate).
Manusia yang gampang puas (berbangga diri) dengan capaian prestasi adalah manusia kerdil. Mas Madji bukan tipe manusia seperti itu. Karena tujuan hidupnya, bukan capaian kebahagiaan semu yang ada di muka bumi. Akan tetapi jauh melampau itu. Kabahagiaan hidup abadi lepas dari rangka dan suasana. Dan, betapapun beliau adalah bagian dari masyarakat sosial, budaya, politik dan relegiusitas. Ia pun ingin berekspresi di dalamnya. Musti disepakati, bahwa di samping sentral figure Setia Hati Terate, beliau juga manusia biasa. Titah sakwantah — yang tetap harus dihargai hak dan kepentingannya sebagai makhluk pribadi. Seperti hak politik, hak privasi dan hak-hak untuk berinovasi dalam mengembangkan perekonomian keluarga. Mendudukkannya melulu di puncak idelisme ke-Setia Hati-an, jelas bukan sebuah kearifan. Toh fakta berbicara, pada sisi inovasi pengembangan privasi ini, beliau mampu mempertahankan citra organisasi.
Pada sisi inovasi politik misalnya, karier Mas Madji ternyata cukup baik. Malah diwarnai keunikan. Batapa tidak, penulis jadi saksi hidup, kerelaan beliau membantu teman seperjuangan, bahkan “lawan politiknya”. Terutama dalam masalah biaya. Menjelang Pemilu, calon legislatif (Caleg) pasti butuh banyak biaya. Tidak semua Caleg punya kemampuan ekonomi tinggi. Padahal biaya yang dibutuhkan dalam memperjuangkan kepentingan politiknya cukup banyak. Tidak hanya satu dua orang yang kemudian meminta bantuan dalam masalah ini. Belasan orang lebih. Beliau lebih memandang pada sisi kemanusiaan, bukan pandangan politiknya. Prinsipnya, mereka datang minta bantuan, Mas Madji mampu, kenapa harus ditolak? ”Wong nandur bakal ngundhuh,nDik. Butuhmu nyekseni. Aku ngerti, kae kae kae, mengko mesti ora bakal bisa nyaur (Barang siapa menanam, pasti akan panen. Kamu cukup jadi saksi. Saya tahu, orang itu itu itu nantinya pasti tidak akan bisa mengembalikan,) ” katanya, saat penulis memberanikan diri menanyakan soal ini.
Pada sisi inovasi politik, karier Mas Madji cukup baik. Terbukti, melalui ideologi politik yang diikutinya, ia dipercaya menjadi wakil rakyat Kota Madiun hingga dua periode (periode 1987-1992 serta periode 1997 – 1999). Sukses karier politik kembali diraih periode 2004-2009. Yakni, menjabat sebagai Ketua DPRD Kota Madiun.
Terdapat pelajaran cukup berharga dari Mas Madji. Bahwa SH Terate tetap berafiliasi pada partai politik manapun. Berafiliasi artinya netral, tidak menginduk. Tapi sebagai bagian masyarakat berbangsa dan bernegara, SH Terate membebaskan anggotanya bergabung pada partai politik, sesuai dengan hati nuraninya. Menurutnya, jika ada warga SH Terate yang menjadikan partai politik sebagai jalan hidup, menjadi politikus, dihimbau, jadilah politikus yang luhur. Politikus yang tidak menjadikan partai sebagai lahan pekerjaan. Tapi menjadikan partai politik sebagai ajang dharma. Patut pula dicatat, paro tahun 2008 ketika Kabupaten Madiun menggelar pemilihan bupati (Pilbup), Mas Madji sempat diminta menjadi bakal calon bupati dari partai besar pemenang pemilu. Tapi permintaan ini ditolak dengan halus.Alasannya, pengabdian utama beliau di SH Terate, masih banyak yang belum terselesaikan. Pertimbangan lain, karena usia. Usia Mas Madji di tahun 2008 sudah 61 tahun.Tahapan usia yang mengilhami beliau secara berangsur-angsur sudah harus meninggalkan ranah kasatrian (dunia kesatria) dan masuk ke ranah kapanditan. Istilah yang sering dia ucapkan, jika hidup ini diibaratkan sebagai pusaran cakra (cakra manggilingan), sudah saatnya beliau meninggalkan puncak kejayaan material, berpusar menuju nilai-nilai kerokhanian (kapanditan). Tahapan kehidupan manusia sesuai ajaran filsafat Jawa ini akan dikupas lagi dalam bab bab berikutnya.
Lewat sikapnya ini sesungguhnya Mas Madji telah melakukan sebuah pembelajaran bagi kadang SH Terate. Bahwa, manusia hidup itu harus sadar terhadap kemampuan dirinya (sakdedeg sakpengawe). Harus bisa menerima dengan ikhlas dan menjalani “kodrat dan iramanya”, hingga mampu dengan intens menghayati apa yang disebut sebagai lungguhing urip, jejering urip, sangkan paraning dumadi, jer lahir trusing bathin (totalitas eksistensi manusia dan kemanusiaanya). Jika sampai pada tahapan kesadaran ini, manusia itu akan memahami maqam-nya (keberadaannya). Penolakan dengan halus itupun dilakukan Mas Madji ketika ditawari menduduki jabatan strategis oleh sejumlah partai politik. Prinsipnya, kalau toh dia terjun ke dunia politik, dia harus menjadikan politik sebagai bagian dari dharma. Bukan menjadikan politik sebagai lahan pekerjaan.
Bahkan, beliau sering mengatakan, bahwa karier politik yang dijalaninya itu juga tidak lepas dari ajaran Setia Hati. Yakni, manusia Setia Hati itu harus bisa nyontoni lan ngawaki (memberikan contoh lewat keteladanan). Beliau telah membuktikan itu. Setidaknya, membuktikan bahwa manusia setia hati, terbukti mampu diterima di mana pun. Bahkan menjadi “jagonya” masyarakat.Secara implisit, ajaran ini disimbolkan dengan seekor ayam jantan (jago) sebagai ubarampe pengesaham warga Tingkat I SH Terate.
Sejumlah tokoh di luar SH Terate, saat dimintai komentar seputar karier politik Mas Madji, banyak yang mengatakan, bahwa beliau merupakan sosok politikus setia, loyal dan konsekuen. Sejak awal pertama terjun ke dunia politik, beliau tidak pernah berpindah partai. Sekalipun, partai yang menjadi pilihannya saat itu sempat dikuyo-kuyo, dikritik pedas dan dihujat. Banyak pula yang berkomentar, bahwa beliau merupakan sosok politikus dengan nilai moralitas tinggi. Satu periode menjabat sebagai Ketua DRPD Kota Madiun, diemban dengan mulus. Advokat dan Pengacara senior Kota Madiun yang juga Ketua Peradi Kota Madiun, Arief Widodo, SH,MH, saat berbincang bincang dengan penulis, mengatakan, Mas Madji terbilang sebagai politikus bermoral dan bernilai serta beretika luhur. “Saya hormat pada beliau,” katanya. Penilaian serupa diungkapkan oleh pengacara dan pengamat sosial setempat, Wawan Sugiarto,SH.MH.
Wajarlah, jika kharisma Mas Madji berdarma dalam hidup mendapat pengakuan cukup baik dari masyarakat. Sejumlah media, baik terbitan nasional maupun regional, sempat memberi julukan pada dia sebagai “Tokoh Sejuta Pesona”.
Sementara itu, menyadari dirinya seorang muslim, pada tahun 1995 ia bersama istri tercinta, Hj.Siti Ruwiatun berangkat ke tanah suci Mekah Al Mukaromah menjadi tamu Allah, menunaikan rukun Islam yang kelima, yakni ibadah haji. Ibadah ini kembali diulang pada tahun-tahun berikutnya. Baik berupa haji maupun Umroh.Tekadnya, jika Allah meridloi, ia dan keluarga akan melaksanakan ibadah umroh tiap tahun.Setiap ada kesempatan. Bahkan, pada setiap acara ulang tahun, beliau bagi-bagi hadiah umroh kepada kadang SH Terate. Sekali waktu, ia ngajak kadang SH Terate berangkat umroh berombongan. Banyak pelajaran dan hikmah yang bisa diambil dengan beribadah umroh. Setiap pulang beribadah umroh, begitu kaki menginjak ke tanah air, beliau selalu berdoa, “Ya Allah, beri saya kesempatan untuk kembali memenuhi panggilanMu, menjadi tamuMu, ” ujar Mas Madji.
Di komonitas al-Haj Madiun dan sekitarnya, Mas Madji juga dapat tempat. Jabatan ketua IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia) Kota Madiun diamanatkan kepadanya. Masih terkait urusan haji, dia andil besar dalam kelompok bimbingan haji (KBIH) dan menjadi Direktur KBIH Al’Mabrur. Di akhir hayat, dia intens mengelola biro perjalanan Umroh. Malah untuk urusan ibadah Umroh, tercatat sudah ratusan warga SH Terate yang ikut. Dari jumlah itu, belasan warga (terutama cantrik setia Mas Madji), diberangkatkan Umroh secara gratis, atas tanggungan biaya dari beliau. Jangan kaget jika atribut dan bendera SH Terate, sering berkibar di Mekah Al Mukaramah semasa hidupnya.
Kepribadian manusia tidak akan terlepas jauh dari apa yang dicintai dan tradisi budaya tanah tumpah darah. Unsur pembentuk kepribadian tersebut, pada saatnya dipastikan maujud, sekalipun aplikasinya bisa tidak sama persis dengan disain perwujudan pola dasar unsur pembentuk. Tidak jarang format aplikasinya jauh berbeda dengan pola dasar. Namun pada sisi sketsa dan lanskap perwujudan aktivitas, hakikatnya sama.
KRH.H.Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, pecinta pencak silat. Beliau juga sangat mencintai bumi kelahirannya, Madiun. Kecintaan itu diwujudkan lewat gagasan cukup besar. Menjadikan bumi Madiun sebagai pusat budaya pencak silat.Cakupannya bukan hanya regional maupun nasional. Namun Go International. Gagasan ini dijabarkan dalam sebuah proposal cukup rinci, bertajuk “Menjadikan Madiun sebagai Kampung Pesilat”. Kebetulan penulis saat itu ditugaskan untuk menjabarkan gagasan itu ke dalam proposal yang diminta Polres Madiun Kota dan Polres Madiun. Proposal ini sempat dipaparkan di Polda Jatim. Kabarnya, proposal ini bakal dikirim ke Mabes Polri.
Satu lagi yang nyaris tertinggal, kesetiaan Mas Madji melestarikan budaya pencak silat, terbukti mendapat apresiasi dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Awal Juni 2013 beliau mendapat gelar kehormatan dari Sinuwun Kanjeng Susuhan Pakubuwana Senopati Ing Ngalaga Ngadurakhman Sayidin Panatagama. Yakni berupa gelar bangsawan Kanjeng Raden Arya Tumenggung (KRAT) dengan pangkat Bupati Riyo Nginggil. Dengan gelar kehormatan tersebut kini Mas Madji memiliki nama baru yang lebih ekskusif dan nJawani, yaitu KRT. H Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE. Gelar terakhir yang didapat dari Keraton Solo adalah Kanjeng Raden Harya (KRH), dengan pangkat Mapatih.
Pertanyaan yang patut dikedepankan, jurus apa yang dilakukan Kang Mas Tarmadji Boedi Harsono, hingga berhasil mencapai kesuksesaan dalam kehidupan ini? Menurut beliau, terdapat empat jurus kunci sukses hidup bahagia, dan satu pola langkah penyelamat kebahagiaan.Empat jurus kunci itu adalah : jujur, rajin, mau belajar, dan tak pernah menuntut. Sedangkan satu jurus penyelamatnya kebahagiaan hidupnya adalah pantang menyerah, sebagai wujud rasa syukur atas rahmat yang diberikan Allah.
1.Jujur
Jujur itu luhur. Jujur itu indah, karena di dalamnya diwarnai rasa cinta, kasih sayang dan ketulusan. Lawan katanya (antonimnya), adalah bohong, dusta. Jujur dilihat dari segi bahasa adalah mengakui, berkata, atau pun memberi suatu informasi yang sesuai dengan apa yang benar-benar terjadi. Fakta yang benar-benar menjadi kenyataan. Dalam ilmu jurnalistik (kewartawanan) disebut sebagai fakta solid dengan sumber berita yang menduduki peringkat teratas (A1). Lawannya adalah bohong, tidak sesuai dengan yang benar-benar terjadi, tidak sesuai kenyataan. Sumber informasinya juga tidak jelas, khianat. Kata yang sekarang lagi viral di media sosial, kebohongan adalah “hoax”, wong Madiun mengatakan “awu awu”.
Jujur adalah kesesuaian antara hati, perkataan dan perbuatan. Dalam bahasa Arab perilaku tersebut diarbiterkan dengan kata “siddiq”, yang artinya benar, nyata. Seorang yang memiliki perilaku jujur, diberi gelar “siddiqin”. Nabi Muhammad saw, tercatat sebagai manusia jujur dan berbudi luhur, hingga mendapat gelar “al-Amin”.
Dalam perilaku keseharian, kejujuran harus diterapkan ke dalam lima aspek. Masing-masing, kejujuran dalam niat, ucapan, tindakan, janji dan fakta yang terjadi. Dimensi kejujuran terbagi tiga, jujur kepada diri sendiri, jujur kepada sesama manusia dan jujur kepada Tuhan. Jujur kepada diri sendiri diwujudkan dalam bentuk mengakui kelemahan dan kekurangan diri, tidak memaksakan kehendak, menjalani hidup sesuai dengan kapasitas diri, sesuai kodrat iramanya (sakdedeg sakpangawe). Orang sakti bukan seorang yang kebal senjata (ora tedas tapak palune pandhe siksane gurinda,) akan tetapi seorang yang mengerti dan memahami kekurangan dan kelemahannya. Jujur kepada sesama manusia ditunjukkan dengan kesesuaian antara hati, perkataan dan perbuatan. Sedangkan jujur kepada Tuhan ditunjukkan dengan takwa, mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Jujur merupakan sifat dasar manusia. Anugerah hayati nan azali. Sumber keberadaannya di kalbu atau hati. Ia tidak pernah berbohong, sekalipun lisan kita berbohong. Hati selalu menolak laku maksiat, sekalipun anggota badan dan indera bergerak ke arah itu. Terbukti, setiap melakukan perbuatan dosa, hati kita selalu akan mengatakan, jangan, itu dosa. Sekalipun hati seseorang penuh noda-noda hitam jejak mudharat dan maksiat, kedalaman lubuk hati akan tetap bersih, karena sejak awal sudah diformat menjadi pintu masuk hidayah.(”Bertanyalah pada hatimu, niscaya dia tidak pernah berbohong – Hadist).
Seorang yang selalu menekankan kejujuran, identik dengan mencintai dirinya, mengerti dan memahami jatidiri. Seorang yang mengenal jati dirinya, akan dengan mudah memahami keberadaan orang lain. Buahnya, akan maujud pusaran timbal balik, dicintai oleh sesama, dicintai Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Manusia, tumbuhan, binatang dan mahluk lain yang ada di muka bumi ini adalah ciptaan Tuhan. Dengan mencintai mahluk, maka akan membawa korelasi dicintai Sang Pencipta mahluk (al-Kholik).”Cintailah penduduk bumi niscaya penduduk langit mencintaimu – Hadist Qudsi).
Lebih jelasnya, dengan bersikap jujur kepada orang lain berarti kita telah mengasihinya. Sifat mengasihi sesama ini, sama artinya dengan mencintai Yang Maha Pengasih. Tuhan seru sekalian alam. Kata lain, jika berbuat jujur pada orang lain, jika mencintai dan dicintai orang lain, maka kita telah berjalan menuju medium untuk dicintai dan mencintai Tuhan.
Korelasinya, jika mau berbuat jujur, Tuhan juga akan mencintai kita. Jika Tuhan mencintai kita, berarti apapun permitaan kita akan dikabulkan (kang sinedya teka kang cinepta dadi). Jangankan hanya minta pemenuhan kebutuhan hidup, memohon ampunan dan surga pun dikabulkan. (“Sesungguhnya jujur akan membawa kepada kebaikan, dan kebaikan akan membawa kepada surga - Hadist)“
Logika spiritual, proses pengabulan permintaan ini, barangkali bisa dicontohkan layaknya kedekatan kita dengan pemimpin. Siapapun yang dekat dengan pemimpin, minimal harga dirinya terangkat, bisa mendapatkan kemudahan-kemudahan dan mendapatkan sejumlah prioritas layanan (awor ratu kajamas tuke madu).
Sebaliknya, jika kita berbohong pada orang lain, sama artinya menyakitinya. Memutuskan tali kasih dengannya. Makna lain, berbohong pada orang lain, berarti memutus tali kasih terhadap Tuhan. Memutus mata rantai kasih dan rahmatNya. Silaturahim memperkokoh persaudaran dan mendatangkan rizki.
Kebohongan akan melahirkan kebohongan. Seorang yang telah berbohong, maka dia akan berusaha menutupi kebohongannya itu dengan kebohongan lain. Dasarnya, manusia memiliki ego dan harga diri. Perbedaannya, seorang pembohong selalu akan mempertahankan harga dirinya dengan kebohongan. Sedangkan seorang siddiqin, akan menjaga harga dirinya dengan kejujuran dan cinta, dijaga dan diselamatkan orang lain (pager ayu luwih tumata dibanding pager bata). Kebohongan adalah benih dari malapetaka dan fitnah. Buahnya akan dipetik sang pembohong (ngundhuh wohing pakarti). Fakta keseharian menunjukkan, timbulnya sengketa dan permusuhan di tengah pranatan kehidupan, lebih banyak disulut kebohongan. Hancurnya martabat seseorang disebabkan faktor ini. Pada awalnya kebohongan memang terasa manis. Namun jika terkuak, pahitnya melebihi racun yang mematikan.
Seseorang yang gemar berbohong, cenderung munafik. Ciri orang munafik, jika berkata bohong, jika berjanji ingkar, jika dipercaya khianat. (Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu; dan mereka mendapat azab yang pedih, karena mereka berdusta.QS: 2 – 10). Pembohong tidak segan segan mencari pembenaran atas apa yang dilakukan. Ia pun dengan lihai berapologi. Misal, sebenarnya ia sudah melakukan perusakan terhadap alam, tetapi di depan umum dia berkelit dan berkata apa yang dilakukan itu justru untuk melestarikan alam, membangun peradaban dan mensejahterakan umat manusia.(Mereka menipu Allah dan orang-orang beriman, padahal mereka sebenarnya menipu diri sendiri tanpa mereka sadari.- QS: 2 – 9). Fenomena wong jujur ajur mumur, yakinlah, itu hanya diungkapkan oleh orang orang bodoh dan putus asa karena gagal dalam bersaing secara positif di kancah persaingan global. Ungkapan itu dilontarkan untuk menghibur diri dari kebodohannya.
Di dunia perdagangan, kejujuran identik dengan penglarisan. Kebohongan identik kebangkrutan. Seorang pedagang yang jujur, akan disukai pembeli, menjadi idaman konsumen dan pelanggan. Kejujuran dalam perdagangan bukan berarti harus membuka semua sisi dari barang yang dijual. Karena dalam praktiknya, yang lebih diutamakan pembeli adalah kualitas dan citarasa. Harga bersejajar dengan kualitas barang (ana rega ana rupa).Jangan pernah peranggapan pembeli itu bodoh dan gampang dibohongi. Jangan sekali kali bermain main takaran dan timbangan. Pedagang jujur akan berusaha menakar atau menimbang barang di depan pembeli. Alat ukurnya bersegel institusi berwenang. Allah, Tuhan Yang Maha Esa sangat murka terhadap pedagang yang tidak jujur dengan takaran. (Celakalah bagi orang orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)! (Yaitu) orang orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan, dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi. QS: 83 – 1,2,3).
“Lebih penting lagi, nek awakmu bakulan, dagang apa wae, aja pisan pisan awakmu nglangluh. Omong rugi. Rugi bathi, menenga, sukurana. Sebab, omonganmu bisa dadi sabda, dadi donga. Nek kinabul, ajur awakmu,” ujar Mas Masdji saat menjabarkan masalah ini. (Lebih penting lagi, jika kamu berdagang, berdagang apa saja, jangan sekali kali mengeluh. Mengatakan rugi.Untung rugi, disyukuri. Sebab omonganmu bisa jadi sabda, jadi doa. Kalau doa itu dikabulkan, bangkrut kamu.)
Pedagang yang jujur dengan senang hati akan menunjukkan kelebihan dan kekurangan kualitas barang. Jika ada cacat, diperlihatkan ke pembeli. Bukan disembunyikan. Terlebih, diera perdagangan digital, yang ditandai dengan transaksi online. Kejujuran pemain olshop, memegang peran mutlak. Pasalnya pembeli tidak bisa melihat langsung wujud dan kualitas barang. Pemain perdagangan digital hanya menunjukkan foto dan spesifikasi tertulis yang diposting di sosial media. Peluang pembohongan publik cukup tinggi. Risiko kekecewaan pembeli juga sama tingginya.
Di lingkup kedinasan dan atau lahan pekerjaan, kejujuran akan menyelamatkan seseorang dari perangkap korupsi. Kejujuran pekerja menaikkan citra, dedikasi, reputasi, serta dicintai atasan, bawahan dan teman sederajat. Pekerja jujur akan berkata yang sebenarnya, sekalipun pahit. Sebab sepahit apa pun rasa kejujuran, ia akan jadi obat tidak saja bagi diri sendiri, tapi obat bagi sesama.
Bahwa kebohongan adalah perbuatan mungkar, wajib hukumnya dijadikan landasan kehidupan kita di muka bumi. Sebab, ada kalanya kebohongan bisa melahirkan kebaikan dan kerukunan. Misalnya, berbohong untuk menyenangkan istri atau suami. Seorang istri akan merasa tersanjung jika kita angkat jempol pada masakan yang disajikan, atau hasil cucian, atau hasil dari pekerjaannya. Suami dipermaklumkan berbohong untuk mengatakan rasa masakan istri enak dan sedap, sekalipun sebenarnya asin dan hambar. Tujuannya, sekali lagi, demi untuk membahagiakan istri, mengokohkan mahligai rumah tangga. Kedua, bohong demi untuk mendamaikan sengketa antarsaudara atau sahabat. Seorang arifin dengan terpaksa akan melakukan kebohongan, sebagai laku ikhtiyar mendamaikan saudara atau teman yang bersengketa. Dia tidak akan berat sebelah saat menjadi juru pendamai. Sekalipun dia tahu persis apa yang dilakukan oleh parapihak yang bersengketa, dia akan berbohong dan mengatakan tidak tahu dan apa yang dilakukan parapihak itu tidak seperti yang disengketaan.
Kebohongan lain yang bisa dibenarkan adalah kebohongan sebagai strategi perang. Tujuan utama untuk menyelamatkan agama, bangsa dan negara. Seorang prajurit yang tertangkap musuh, tidak boleh berkata jujur jika ditanya tentang setrategi yang digunakan batalionnya. Bohong demi menyelamatkan strategi dalam perang, wajib hukumnya. Sekalipun dengan sikapnya itu, nyawa menjadi taruhannya.
2. Rajin
Setelah jujur, hal yang harus dilakukan agar bisa meraih sukses adalah rajin. Rajin dalam kamus bahasa diartikan ; getol, bekerja sungguh-sungguh, giat berusaha. Rangkapnya rajin adalah tidak pernah menyepelekan dan meremehkan suatu pekerjaan. Antonimnya adalah malas, minim aktivitas, suka berpangku tangan. Rajin dalam konteks ini, mencakup segenap lini. Dari rajin mengasah diri, rajin membuat rencana kerja, rajin berinovasi agar hidupnya kian berarti, serta rajin mematuhi larangan dan perintah Tuhan.
Orang yang berjiwa rajin, selalu optimistis dalam menjalani kehidupannya. Tak akan pernah kehabisan pekerjaan. Orang lain akan memakai jasanya dalam skala prioritas. Selain ini, inovasi yang dikembangkan akan membimbing dirinya ke arah kemandirian, tidak selalu bergantung orang lain. Dampak positif yang diperoleh, ia tidak akan pernah menganggur atau berpangku tangan. Sebab ia telah memformat dirinya sawah, tapi terus berinovasi dalam mengolah tanamannya. Jika seniman, imajinasinya akan dikembangkan hingga melampaui batas kemampuan akhir daya kretivitas.Tak pandang dimana ia berada. Tentu, dengan kebiasaan ini, menjadikan jiwanya selalu terisi. Tidak kosong, tidak mengada-ada, tidak memaksakan diri demi mencapai sesuatu yang tidak jelas ujung pangkalnya (ngaya wara).”Dan manusia hanya memperoleh apa yang diusahakannya, dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.”(QS :53 – 39, 40, 41).
Dampak yang langsung bisa diperoleh, ia tidak akan kekurangan sandang pangan, tidak akan jatuh ke jurang kemiskinan. Tidak pula terpikir untuk mengemis atau meminta-minta. Pekerja giat, cenderung hemat, tidak pelit. Ia sadar, rizkinya tidak diperoleh cuma cuma, tapi di dapat dengan kerja keras. Karena itu, ia akan berusaha memanage ekonomi keluarga dengan baik. Belanja bukan berdasar keinginan, tapi karena kebutuhan. Dengan begitu, ia tidak akan sampai defisit, mandiri dan sekali lagi, bisa hidup dari hasil kerja tangannya sendiri. Sungguh mulia kehidupannya. “Tidak ada seseorang memakan sesuap makanan pun yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya. Dan sesungguhnya Nabi Dawud as memakan makanan dari hasil usahanya sendiri - Hadist).”
Dan, sungguh, inilah pengejawantahan makna tawakal yang sebenar-benarnya. Tawakal jangan diartikan hanya rajin berdoa tanpa disertai gerak ragawi dalam aktivitas kerja. Tawakal adalah bekerja dan berdoa.Soal , kinerja baru berserah diri pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. “ Kalau kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar benarnya tawakal, maka niscaya Allah akan memberikan rizki sebagaimana Allah memberi rizki pada burung, ia pergi pagi hari dalam keadaan perut kosong, lalu pulang pada sore hari dalam keadaan perut kenyang-Hadist).”
Ingat, sekalipun rizki sudah ditentukan dan kehidupan kita sudah dijamin Allah, tapi Allah juga memerintahkan kita aktif mencarinya. Rajin bekerja untuk mendapatkannya. “Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak banyaknya supaya kamu beruntung. (QS: 62 - 10). Nasihat bijak dari ahli spiritual mengatakan, langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak, hingga tangan dan kaki kita sibuk beraktivitas di atas tungku api.
Sebaliknya, seorang pemalas selalu memandang kehidupan ini pesimistis. Hari harinya hampa, penuh kegelisahan, pupus harapan dan tak memiliki tujuan hidup, tidak punya semangat meraih hidayah dan berkah demi masa depan. Sifat dasar manusia, sesungguhnya memang pemalas, loma, sebagai bawaan nafsu lauamah yang bersemayam di dalam dada. Tapi bukan berarti nafsu tersebut tidak bisa dikendalikan. Alat pengendali kemalasan adalah rajin bekerja, rajin berikhtiyar dan selalu menjalani hidup dengan optimistis. Karena keberhasilan pada dasarnya adalah hasil dari proses pengulangan aktivitas.
Seorang pendekar pilih tanding pada awalnya adalah sosok manusia lemah, ringkih dan bodoh, sebagaimana umumnya manusia. Ia bisa berubah jadi pendekar tangguh karena rajin berlatih. Rajin mengulang-ulang gerakan kaki untuk menendang, rajin mengulang-ulang gerak tangan dalam pukulan, rajin mengulang-ulang gerak kepala untuk menghindar. Rajin mengulang-ulang gerakan senam, jurus, pasangan, kripen, pola langkah, permainan senjata dan mempraktikkan dalam sambung. Rajin mengulang-ulang pukulan, tendangan dan fokus mengarahkan pada sasaran.Hasilnya, tulang tulangnya kuat, ototnya lentur, pandangan dan pendengarannya tajam, pikirannya jernih dan terpola, terakhir daya refleknya terbentuk optimal.
Daya reflek ini juga secara otomatis muncul sebagai hasil dari proses pengulangaan di bidang lain. Seorang mahasiswa berhasil meraih predikat cumloude, bukan hanya karena dia pandai dan cerdas --- kepandaian dan kecerdasan tanpa diasah dengan rajin belajar, tidak akan berarti apa apa.
Tapi karena dia rajin mengulang-ulang belajar, rajin mengulang ulang menghafal rumus, rajin mengulang ulang menulis makalah dan laporan kerja nyata. Hasilnya, otak di kepalanya dipenuhi memori ilmu pengetahuan yang reflek bisa keluar untuk menjawab soal dalam ujian.
Seorang hafid (penghafal kitab suci), berhasil mendapat gelar hafid setelah beberapa tahun rajin mengulang ulang bacaan ayat dalam kitab suci. Hasilnya, lisan dan memorinya bisa dengan reflek menghafal dalam mengaji. Seorang pedagang sukses, hakikatnya adalah sosok manusia yang rajin mengulang-ulang dalam melakukan transaksi, memprediksi harga, kualitas barang dan daya saing. Hasilnya, daya refleknya muncul menjadi intuisi. Dengan intuisinya, dia mampu memilah dan memilih, mana barang dagangan yang bisa menguntungkan dan mana yang merugikan.
Patut dicatat, terdapat tiga tingkatan dalam aktivitas kerja. Yakni, kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas. Kerja keras merupakan aktivitas kerja yang hanya mengandalkan tenaga, tak peduli terhadap managemen efensiensi energi yang dikeluarkan dan waktu yang dibutuhkan guna menyelesaikan sebuah pekerjaan.Pokok beraktivitas, banting tulang, peras keringat, ibaratnya berangkat pagi, pulang dini hari. Tentu, hasil dari kerja model ini, hanya sebatas seberapa kerasnya tulang dibanting dan seberapa derasnya keringat terperas.
Kerja cerdas jauh lebih efektif. Karena model kerja cerdas sudah terkonsep dengan memanfaatkan teknologi yang tersedia. Managemen waktu dan tenaga menjadi bagian penting, disamping strategi memeta segmen pasar. Kinerja tentu lebih besar, waktu yang dibutuhkan lebih ringkas dan energi yang dipergunakan sedang sedang saja.
Kerja ikhlas jauh lebih tinggi nilainya dari kerja keras dan kerja cerdas. Karena kerja ikhlas mencakup kedua model kerja di atas, ditambah dengan keterlibatan hati terhadap hikmah samawi, campur tangan Allah di dalamnya. Pemaknaan kerja ikhlas cenderung lebih terfokus pada kinerja. Seberapa pun hasil dari kerja keras maupun kerja cerdas, itu mutlak pemberian Allah, yang musti disyukuri. Ikhlas menerima segala tiba.Yang terpenting dalah kerja, kerja dan rajin kerja, soal hasilnya serahkan sepenuhnya pada-Nya. Bukankah kita bisa bekerja dan menyelesaikan pekerjaan itu juga atas berkah dan rahmat-Nya? Jangankan kita sebagai manusia awam, para nabi pun rajin bekerja. Nabi Adam rajin bertani, Nabi Nuh dan Zakaria bekerja sebagai tukang kayu. Nabi Ibrahim dikenal sebagai penjual pakaian, Nabi Musa bertahun tahun bekerja menggembala kambing milik Nabi Suaib. Nabi Dawud dikenal sebagai perajin baju perang. Nabi Muhammad sempat jadi saudagar lintas negara.“Dan katakanlah : Bekerjalah kamu, maka Allah beserta orang orang yang beriman akan melihat pekerjaanmu itu dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS: 9 - 105).
Ringkasnya, kerja keras dan kerja cerdas, adalah aktivitas kerja demi mendapatkan upah (mobah golek upah), sedangkan kerja ikhlas muara akhirnya tidak hanya untuk mendapatkan upah, tapi juga berkah (mobah golek berkah). Kang Mas Tarmadji Boedi Harsono menyarankan, sedapat mungkin warga Persaudaraan Setia Hati Terate menempatkan konsep kerja ikhlas dalam kehidupannya. Karena sesungguhnya perbuatan seseorang itu dilihat dari niatnya. Lagi, “tak seorang pun yang menanam pohon dan hasil panennya dinikmati oleh burung atau manusia (ataupun makhluk lainnya), Allah akan menganggap perbuatannya itu sebagai sedekah” (Hadist).
3. Mau Belajar
Jurus kunci meraih sukses yang ketiga adalah mau belajar. Belajar dalam konteks pembicaraan kali ini, tidak hanya terjebak pada pendidikan formal. Proses belajar otodidak dan non formal, tercakup di dalamnya. Muara akhirnya adalah perubahan perilaku secara permanen kearah yang lebih bijak, konkret, serta positif, sebagai bekal dalam berdharma demi dan untuk kemaslahatan umat manusia dan pelestarian semesta (mamayu hayuning bawana).
Dasarnya, ilmu terangkum dalam dua kitab. Yaitu kitab garing dan kitab teles. Kitab garing adalah kitab yang berisi ilmu yang telah tertulis dan dibukukan, seperti Zabur, Taurat, Injil, Al-Quran dan kitab-kitab lainnya. Kitab teles adalah alam semesta.
Kenapa kitab teles dan kitab garing? Karena karakter kitab teles lebih mudah didapat, teruji dan terformat sistematis, methodis, objektif dalam standardisasi disiplin ilmu , sehingga mudah dimengerti dan dipahami. Perlunya belajar kitab garing karena tidak semua pengetahuan tertulis dalam kitab teles. Ini karena ilmu Allah, Maha Luas, Maha Tak Terbatas. Bahkan jika lautan dijadikan tinta dan ranting pepohonan yang ada di bumi dijadikan pena untuk menulis ilmuNya, tidak akan ada habisnya.”Katakanlah (Muhammad) : Seandainya lautan dijadikan tinta untuk menulis kalimat kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai penulisan kalimat kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu pula – QS : 18 – 109).
Mempelajari ilmu yang telah tertulis dalam kitab teles, bisa ditempuh dengan pendidikan formal atau belajar otodidak. Waktu yang dibutuhkan bisa diprediksikan dan diproyeksikan berjenjang. Namun mempelajari kitab garing, keluasan ilmu semesta, pendidikan formal tidak akan mampu mencapainya. Keterbatasan ruang dan waktu menjadi kendala pelaku pendidikan, disamping semesta sendiri menyembunyikan misteri yang hingga saat ini masih banyak yang belum terungkap. Itulah kenapa proses belajar kemudian diyakini tidak mengenal ruang waktu. (Carilah ilmu dari buaian ibu hingga liang lahat – Hadist) dan/atau (Carilah ilmu hingga ke negeri China).
Contoh konkret, sampai era digitalisasi sekarang ini pun manusia belum berhasil mengungkap misteri tata ruang angkasa. Masih banyak tata galaksi yang belum ditemukan, dipelajari dan dijadikan sumber eksploitasi demi kemaslahatan umat. Belajar tata ruang Galaksi Bima Sakti saja, masih jauh panggang dari api. Padahal galaksi yang kita huni ini sudah ditemukan ratusan tahun silam. Sejak zama Socrates, Plato, Aristotheles, bahkan jauh sebelum mereka. Padahal ranah ilmu ini sudah dibakukan sebagai ilmu pasti, ilmu antropologi dan sudah melahirkan ribuan gelar profesor doktor.
Contoh lain yang agak absurd, kita belajar pencak, belajar teknik jatuhan, dari jatuhan depan, samping kiri, samping kanan dan belakang. Tapi kenapa ketika berjalan di jalan licin dan terpeleset, tubuh kita terjerambab, memar bahkan mungkin patah tulang, laiknya seorang yang tidak pernah belajar pencak silat? Barangkali pembaca akan berkilah, karena tidak sadar hingga reflek saraf motorik tidak punya kesempatan mempratikkan teknik jatuhan. Jika benar demikian, kenapa saat sebelum terjadi kecelakaan itu kita tidak sadar padahal kesadaran itu melekat dan senyawa dengan tubuh kita? Dan, apabila pertanyaan senada terus kita kedepankan, yakinlah, jawabannya satu, “pepesten, suratan nasib dari sononya.”
Misteri serupa itu dan rasa ingin mengetahui jawabannya, memposisikan belajar kitab teles menjadi penting dan berarti. Malah sekarang ini, ahli kitab garing banyak diburu para pencari ilmu bangkit, pencari berkah, perindu ilmu ghaib, mendapat gelar spesifik dan eksklusif, bahkan disebut sebut sebagai sosok masa depan, dianggap mengetahui misteri yang belum terjadi (weruh sadurunge winarah).
Setia Hati Terate menempatkan mencari ilmu atau belajar dalam skala prioritas. Anggota SH Terate sejak dini diwajibkan belajar, mengikuti proses latihan senam, jurus, pasangan dan pelajaran lain yang bersifat ketubuhan (ilmu lahiriyah). Tujuannya untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan memperkokoh ketahanan fisik. Setelah berlatih fisik mereka diwajibkan belajar kerokhanian, sebagai dasar pembentukan karakter manusia berbudi luhur. Baru setelah disyahkan menjadi warga (Tingkat I), mereka dikenalkan dengan “ilmu batiniah”. Tahapan ini harus dilalui dengan bimbingan pelatih (guru), agar terarah dan tidak keluar dari pakem yang sudah teruji dan kualifide.( ....tidak kandas/tenggelam pada pelajaran pencak silat sebagai lambang pendidikan ketubuhan saja, melainkan lanjut menyelami kedalam lembaga pendidikan kejiwaan....Mukadimah SH Terate).
Guru juga berkonotasi makro. Bisa diartikan guru dalam arti ragawi, yakni seseorang yang menguasai kitab teles dan guru yang tidak hanya menguasai kitab teles tapi juga kitab garing (guru makrifat-mursid). Pada era kepemimpinan Mas Madji di Persaudaraan SH Terate, sosok warga yang menguasai dua disiplin ilmu tersebut diberi gelar Ki Hadjar. Gelar tertinggi dan bermartabat di tataran ilmu SH Terate.
Pengalaman dan alam juga merupakan guru yang baik. Kenapa, karena pengalaman menunjukkan catatan perjalanan yang di dalamnya bisa diambil hikmahnya. Alam apalagi. Setia Hati menempatkan alam sebagai Guru Sejati. Referensinya, alam tidak pernah berbohong pada manusia. Contoh, api itu panas, karakternya berkobar ke arah atas membakar apa saja yang dijumpai. Sebaliknya air itu dingin, karakternya mengalir mencari permukaan lebih rendah dan berhenti tenang di permukaan datar. Hujan akan turun jika langit berawan. Air laut pasang jika malam hari karena adanya gravitasi bulan dan di siang hari akan menjadi surut karena gravitasi matahari.(Demikianlah hukum Allah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali kali tidak akan menemukan perubahan pada hukum Allah itu- QS: 48 – 23).
Bahwa dalam kondisi tertentu sifat api menjadi dingin dan tidak memiliki daya bakar, bisa terjadi. Misalnya saat Nabi Ibrahim dibakar dalam kobaran api oleh Raja Namrud. Namun harus diyakini, berubahnya karakter dasar api hingga tak membakar jasad Nabi Ibrahim itu karena adanya pusaran arus keghaiban nubuah. Yakni, mukzizat, sebagai dasar pembenaran status kenabian. Dan itu mutlak atas perintah Allah, pemilik dan pencipta api. Fakta bersumber kitab suci berbicara, api itu toh tetap membakar tumpukan kayu dan menghanguskannya jadi debu. Atas kehendak Allah, hanya jasad Nabi Ibrahim yang terselamatkan.
Pengenalan proses pembelajaran kitab garing itu dimulai setelah warga disyahkan Tingkat II. Selain dibimbing langsung oleh pelatih, pada tahap ini warga mulai diberi keleluasan belajar sendiri, guna mempertajam daya batiniyahnya. Proses belajarnya tidak lagi clasikal, akan tetapi personal. Ini karena kemampuan batiniyah masing masing individu berbeda. Ruang dan waktunya tak terbatas.
Kang Mas KRH.H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SH, memberikan contoh, guna mempertajam kepekaan berdialog dengan alam, beliau rela menghabiskan waktu bertahun-tahun. Sejak dibimbing Mas Imam, puluhan tahun, hingga belajar otodidak. Penulis beberapa kali diminta untuk menemani. Lokasinya berpindah pindah. Kadang di tepi pantai, di gunung, di tengah sawah, di tepian kali hingga di tengah tengah keramaian. “Manusia itu kholifah di bumi. Seorang kholifah, ratu, harus bisa bersahabat dan berdialog dengan siapa saja. Termasuk berdialog dengan alam. Lihat ombak itu, dia akan membalas sapaan kita jika kita mau menyapa. Akrab dengan kita,” kata Mas Madji, saat duduk-duduk di tepi pantai Pacitan.
Beliau menanggapi dengan senyum jika dituding sesat dan syirik. Banyak yang memfitnah lakunya sebagai ritual minta bantuan jin Laut Selatan, Sendang Drajat, Arga Dumilah, minta bantuan Nyi. Roro Kidul. Mereka menghembuskan fitnah karena tidak tahu, hanya menduga duga, dan minim pengetahuan batiniyah dan makrifatullah. Padahal laku itu merupakan bagian dari tafakur alam. Berdialog dengan semesta, menyelami dan menghayati ciptaan Allah, mengagumi kebesaranNya. Orang bijak menanggapi masalah dengan nasihat dan ilmu. Bukankah kita masih belajar menjadi orang bijak? Hanya orang bodoh yang menanggapi masalah dengan amarah dan pukulan. Masalah adalah kekasih manusia paling setia. Karena itu, hadapi dan selesaikan masalah dengan kasih dan cinta.
Keberadaan pembimbing (guru mursid) sangat diperlukan dalam proses pembelajaran kitab garing.Tujuannya agar tidak sesat jalan. Sebab, logika impiris dan imaginasi kreatif berperan aktif membentuk keyakinan saat seseorang belajar kitab garing. Subjektivitas menduduki peringkat atas, selain praduga dan prasangka. Jika tidak ada campur tangan pembimbing, rawan tersesat.
Fenomena Si Buta melihat gajah duduk, bisa dijadikan gambaran proses praduga sesat belajar kitab garing tanpa guru. Seorang buta yang berusaha mengetahui gajah dan kebetulan dia hanya meraba telinganya, akan menduga bahwa sosok gajah itu seperti “ilir” (kipas yang terbuat dari anyaman bambu), lebar tipis. Dari temuan itu timbul keyakinan pada dirinya, gajah itu tidak ada beda dengan ilir. Di bagian lain, si buta lain yang memegang dan meraba ekor, berprasangka sosok gajah itu panjang agak bulat seperti ular. Lambat laun lahir keyakinan, bahwa gajah itu setali tiga uang dengan ular. Pada sisi lainnya lagi, ada yang kebetulan memegang dan meraba kaki. Dia pun beranggapan lain lagi. Gajah itu ya seperti bambu.acs
Bisa dibayangkan, seseru apa perdebatan yang akan terjadi jika mereka bertemu dan berdialog tentang gajah. Padahal bagi orang normal dan sering melihat gajah , temuan mereka itu jauh dari fakta sebenarnya. Keyakinan yang terbentuk sesat. Reverensinya parsial, belum mencakup keseluruhan sosok gajah. Mereka hanya melihat dari satu sisi. Itu pun baru sebatas kulit, baru pada sisi yang bisa ditangkap oleh indera peraba.
Meminimalisir sesat praduga dan prasangka, agar tujuan ngelmu sesuai harapan, Mas Madji mengambil kebijakan “wajib nyantrik” bagi warga yang ikut latihan Tingkat II. Nyantrik berasal dari kata cantrik. Artinya abdi, pembantu, asisten. Hanya saja, aplikasinya berbeda. Nyantrik dalam kontek ini bukan berarti harus menjadi pembantu yang berkewajiban menyiapkan semua kebutuhan guru. Tapi lebih ditekankan pada pendekatan personal antara calon Tingkat II dan pelatih, guru.Tujuannya agar terjadi interaksi timbal balik, hingga tercipta kesepahaman pola fikir, pola langkah dan pola ucap. Kesamaan persepsi sangat dibutuhkan, mengingat sebagian besar referensi ilmu yang diajarkan pada tingkat ini, sumber dasarnya adalah empirisme, buah dari laku dan telaah khasanah kitab garing.
Contoh, Mas Madji bukan seorang ahli sastra. Bahasa harian yang sering digunakan campuran antara bahasa Jawa Madiunan dan bahasa Indonesia. Dikhawatirkan akan terjadi miskomunikasi tentang maksud ucapan beliau. Tarutama bagi warga yang berasal dari luar Madiun, dan jarang berinteraksi dengan beliau.
4. Tidak Pernah Menuntut
Tidak pernah menuntut? Ungkapan ini kedengaran aneh. Apalagi bagi telinga awam dengan kecenderungan materialistik. Bagaimana mungkin hidup di era digitalis ini seorang bisa tidak menuntut hak haknya?
Kenapa tidak bisa? Ini keniscayaan. Bukan lagi kemustahilan.Bahkan sifat tidak pernah menuntut akan terbentuk dari sebuah keyakinan “wong nandur mesti ngunduh – siapa menanam akan menuai/panen” Kedua, hak akan datang sekalipun seluruh mahluk dibumi menghalanginya. Ketiga, wewenang pemberi hak, mutlak di tangan Allah, Tuhan Yang Maha Esa, bukan manusia, sekalipun ia punya kekuasaan birokrasi atau kelimpahan materi.
Tugas terbesar manusia di muka bumi ini adalah memenuhi kewajiban. Hak akan datang sejajar dengn pemenuhan kewajiban. Ada dua kewajiban yang harus dipenuhi. Pertama kewajiban terhadap sesama mahluk, kedua kewajiban terhadap Allah. Kewajiban terhadap sesama mahluk diwujudkan dengan mengasihi dan mencintainya (sih marang sasami).Wujudnya, secara ringkas bisa direalisasikan dalam empat dharma (catur dharma), yaitu wenehana teken marang wong kang wuto (berikan tongkat pada orang buta), wenehana mangan marang wong kang luwe (berikan makan pada orang yang kelaparan), wenehana busana marang wong kang kawudan (berikan pakaian pada orang yang kurang sandang), wenehana payung marang wong kang kudanan (berikan payung pada orang yang kehujanan). Penjabaran darma ini cukup panjang dan luas, butuh kesempatan, ruang dan waktu khusus. Sedangkan kewajiban manusia terhadap Allah, ditunjukkan dengan takwa, yaitu menjalankan perintah dan menjauhi larangannya.(Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembahKu – QS : 51 – 56)
Kang Mas KRH. H.Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, sering mengaitkan tugas mengasihi dan mencintai sesama mahluk hidup dengan konsepsi hukum timbal balik. Jika kita mengasihi binatang, misalnya bebek, maka bebek itu akan membalas kita dengan telur. Jika kita mengasihi dan mencintai sesama manusia, maka akan dikasihi dan dicintai Sang Pencipta. Jika mencintai pekerjaan, tekun berinovasi dalam berkreativitas, maka penghargaan akan datang sebanding kinerja, sebanding dengan karya yang dihasilkan.Jika tulus menjaga semesta, mamayu hayuning bawana, semesta pun lestari dan memberikan isi kandungan perut bumi bagi kemakmuran umat manusia. Allah menyindir halus orang orang yang rajin beribadah, tapi tidak perduli dengan lingkungannya. Karena, kebajikan itu luas, tidak hanya berhenti pada konsep “manembah”, menghadapkan wajah ke timur dan ke barat,” akan tetapi juga diwujudkan dengan rela “.... memberikan hartanya pada orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan, peminta-minta, orang yang menepati janji jika berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa perang. Mereka itu orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa (QS: 2 – 177).
Tidak pernah menuntut adalah aktivitas hati, bisa dikorelasikan dengan ikhlas, atau melakukan perbuatan amaliyah tanpa mengharap balasan dari mahluk, dan hanya berharap balasan dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Aktivitas semacam ini tidak akan muncul secara reflek, tanpa adanya kemauan untuk berlatih, sebagaimana reflek yang muncul dalam gerakan ragawi. Contoh, memberikan sesuatu yang berharga dan kita cintai kepada orang lain, pada awalnya pasti enggan (ngeman) dan berat. Apalagi pemberian itu tanpa didasari dengan berharap imbalan dari penerima.Akan tetapi jika dilakukan terus penerus, lama kelamaan perasaan berat dan enggan tersebut akan berkurang, hingga hilang sama sekali. Yang timbul kemudian adalah rasa kasih untuk terus memberi dan membantu orang lain, mengasihi sesama mahluk.
Contoh lain, sebenarnya ini ada di depan mata, sudah dilakukan tapi tidak disadari, karena seringnya kegiatan dilakukan, adalah saat warga melatih siswa. Jika saudara menjadi pelatih, pernahkah terpikir imbalan yang akan diterima saat berada di hadapan siswa? Mudah-mudahan jawabannya, tidak sama sekali, dan jika jawaban itu muncul spontan dari hati saudara, itu berarti rasa ikhlas telah tertanam dan tumbuh dalam dada. Ungkapan yang sudah akrab terdengar di telinga dan sering diucapkan oleh pelatih saat memberi pelajaran ke-SH-an (kerkhonian) adalah “ora getun lamun kelangan”. Tafsir dari ungkapan ini bukan hanya tidak heran atau kecewa jika kehilangan apapun yang dimiliki. Akan tetapi meluas sampai pada tidak akan merasa kehilangan jika memberi sesuatu pada orang lain.
Sikap semacam itu, sekarang tinggal mengaplikasikannya ke kegiatan yang lain, seperti membantu fakir miskin, menjadi donatur kegiatan sosial di lingkungan, menjadi orang tua asuh bagi anak rawan putus sekolah, dan amaliyah lainnya. Tidak perlu berfikir nilai bantuan itu harus besar. Pun tidak perlu memeta skala cakupan amal itu seluas apa. Terpenting terus dan terus membantu, sampai terasa kita tidak sedang melakukan apa pun saat mengulurkan bantuan. Karena pada hakikatnya, tangan yang terulur memberi atau kaki yang berjalan menuju kegiatan sosial itu, sesungguhnya bukan kita yang menggerakkan, akan tetapi digerakkan Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Dan, sesungguhnya besar kecilnya nilai amal itu bukan milik kita, akan tetapi milik Allah. Posisi manusia dalam hal ini hanya sebagai jalan terciptanya perwujudan kehendak Tuhan. Tidak lebih dari itu.
Demikian itulah, karenanya, kenapa berbangga hati jika tangan kita terjulur memberi bantuan pada sesama? Beruntung, karena Allah, ternyata tidak hanya memposisikan manusia sekadar jadi alat bantu terwujudnya nilai nilai sosial kemanusiaan, akan tetapi juga memberikan nilai lebih, baik nilai lebih psikologis maupun nilai ekonomi objek yang diberikan. Bentuk nilai lebih tersebut, antara lain, mengangkat derajat orang-orang yang suka beramal lebih tinggi dibanding penerima. (Tangan yang terjulur dan berada di atas lebih baik dibanding tangan yang nyadong di bawah – Hadist). Rasa kasih dan cinta dari penerima khususnya dan manusia pada umumnya, sebagai bentuk timbak balik cinta dan kasih dari pemberi, atau penghargaan atas apa yang telah diberikan. Keistimewan lainnya, nilai kepemilikan ekonomi orang yang ikhlas beramal akan bertambah berlipat ganda, bukan berkurang.”Perumpaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang dikehendaki. danAllah Maha Luas, Maha Mengetahui (QS:2 – 261).
Manusia pada dasarnya egois dan suka pujian, sebagai bawaan dari nafsu amarah dan sufiyah. Namun di lain sisi, memiliki potensi kabajikan, pemaaf dan penyantun, sebagai bawaan nafsu mutmainah. Seseorang yang memahami potensi diri, dia tidak akan memaksakan kehendak terhadap orang lain. Sebaliknya, akan menempatkan orang lain sebagaimana ia menempatkan dirinya. Pada kondisi tertentu, bahkan berusaha menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi.Sikap tidak pernah menuntut ini muncul sebagai buah dari proses pemahaman itu, disamping didasari adanya keyakian wong nandur bakal ngunduh sebagaimana telah dipaparkan di atas.
Seorang karyawan perusahaan, jika sadar bahwa dirinya adalah seorang karyawan, maka dia akan fokus menyelesaikan tugas dan kewajibannya, ketimbang menghitung-hitung hak atau upah yang akan didapat. Prinsipnya maton, bahwa sekalipun dia bekerja di perusahaan milik orang lain, tapi pada hakikatnya dia bekerja untuk dirinya sendiri. Jika perusahaan berkembang, kesejahteraan karyawan juga bertambah. Toh, pada waktu yang sudah dijadualkan, di tanggal yang sudah ditentukan, tanpa diminta, upah/gaji dia pasti akan diberikan. Bisa jadi malah ada tambahan bonus atas prestasi kinerjanya.
< br/> Seorang anak yang tahu posisi diri sebagai anak, akan mendahulukan sikap patuh dari pada gampang merajuk dan merengek menuntut pemberian orang tua. Dia yakin, ibu dan bapak pasti memenuhi kebutuhannya tapa diminta. Kalau meminta sesuatu, lebih didasarkan pada kebutuhan bukan keinginan. Itu pun tetap melihat posisi keuangan orang tua. Hikmah yang muncul dari sikap semacam ini, menjadikan orang tua semakin sayang, semakin cinta, dan menyulut semangat untuk memberi yang terbaik bagi anak.Kasih sayang tidak lahir dari tuntutan, tapi lahir dari ketulusan.
< br /> Terakhir Kang Mas Tarmadji berpesan, “Jangan bertanya apa yang kau dapatkan dari Persaudaraan Setia Hati Terate, akan tetapi bertanyalah, apa yang akan kau berikan pada Persaudaraan Setia Hati Terate”.
5. Tak Kenal Menyerah
Setelah kelima jurus kunci sukses hidup bahagia itu sudah dipahami dan dijalankan, satu hal lagi yang tidak boleh terlupakan adalah, menyelamatkan dan memperkokoh jurus tersebut dengan jurus penyelamat. Yakni, pengedepanan sikap tak kenal menyerah.
Rukun utama untuk bisa bersikap tak kenal menyerah adalah sabar. Kajian bahasa, sabar artinya melarang atau menahan. Dalam kajian syariat sabar diartikan sebagai perbuatan menahan hawa nafsu, menahan lidah dari keluhan dan menahan anggota badan dari tindakan destruktif. Orang-orang bijak mengatakan, sabar itu ibarat kuda yang tidak pernah letih, pedang yang tidak pernah tumpul, pasukan yang tak terkalahkan dan benteng yang tak pernah bisa dirobohkan. Suradira jaya ningrat lebur dening pangastuti.
Allah, mencintai penyabar. Manusia juga segan dan mengaguminya. Derajat mereka, ditinggikan melebihi orang lain.“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar. Dan adalah mereka meyakini ayat ayat Kami. QS: As-Sajadah : 24)”
Rukun kedua agar kita memiliki sifat tak kenal menyerah adalah syukur nikmat. Dengan mensyukuri nikmat, maka semuanya akan menjadi balant, tentram dan damai. Sebab, Allah selalu menyertainya. “Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah bersama orang orang yang bersabar.” (Q.S : An Anfal – 46). Bukankah hidup ini tertata dalam konsep keseimbangan? Tugas kita memasuki kisaran proses dan menjaganya. Jalan menuju kearah itu, tak ada lain kecuali mensyukuri apa saja yang sudah kita peroleh. Sedikit banyak toh hanya berbeda pada nilai kualitas dan kuantitas. Soal rasa, hakikatnya sama. Kang Mas Tarmadji mencontohkan, uang seratus ribu bagi seorang kuli bangunan atau tukang becak, mempunyai nilai cukup besar. Sebab untuk mendapatkan uang sebesar itu, mereka harus kerja sehari penuh. Tingkat kebutuhan, terkait dengan hak dan kewajiban mereka juga relatif kecil. Tapi bagi seorang pejabat, bupati, gubernur atau presiden, nilai uang tersebut sangatlah kecil dibanding hak dan kewajiban di pundaknya. Penderitaan seorang yang terserang stroke, barangkali dinilai dan dirasa kelewat berat. Tapi seberapa berat penderitaan tersebut jika dibanding seorang yang memiliki cacat bawaan sejak lahir, lumpuh, buta, tuli atau bisu?
Langkah paling bijak untuk meminimalisir munculnya perbandingan nilai meteri tersebut, adalah mensyukurinya. Dengan mensyukuri apa pun, seberapapun nikmat yang sudah didapat, maka semuanya akan menjadi nol, nisbit, balant. Yang muncul kemudian rasa kedamaian dan ketentraman di dalam jiwa, karena ternyata Allah, Tuhan Yang Maha Esa, tetap sayang dan memperhatikan keberadaan kita. Dan, yakinlah ada hikmah di balik semua ketetapan yang harus dijalani. Yakinlah, Tuhan tahu kualitas jiwa hambanya.( Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.QS:2 – 286). Karena makna syukur sesungguhnya adalah memanfaatkan potensi yang diberikan Allah secara maksimal untuk bekal beribadah kepadaNya. Kasih sayang tidak selamanya ditunjukkan dengan sesuatu yang menyenangkan. Ada kalanya rasa sayang bertajadi dalam bentuk ketetapan yang menurut sangkaan kita menyakitkan. Padahal, dibalik rasa sakit yang kita derita ada ketetapan lain yang jauh lebih menyenangkan, jauh lebih membahagiakan. “Sesungguhnya besarnya balasan tergantung dari besarnya ujian, dan apabila Allah cinta pada suatu kaum dia akan menguji mereka, barang siapa yang ridlo maka baginya keridloan Allah, namun barangsiaapa yang murka,maka baginya kemurkaan Allah.(Hadist)
< br/> Ridlo Allah, identik ridlo orang tua. Surga berada di bawah telapak kaki ibu.Ridlo guru juga sangat perlu didambakan. Hargai mereka sebagaimana menghargai diri sendiri, bahkan lebih besar dari itu. Mereka berjasa, orang tua berjasa dalam proses kelahiran di muka bumi. Sedangkan guru mempunyai andil yang tidak sedikit dalam pembentukan kepribadian manusia berbudi luhur tahu benar dan salah beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam jalinan persaudaraan kekal abadi.
Manusia besar, tokoh panutan umat manusia, tidak menjadi besar tanpa proses dan cobaan. Mereka menjadi besar justru setelah ditempa cobaan dan penderitaan panjang dan berhasil melewatinya. Nabi Ibrahim mendapat kehormatan menjadi bapaknya para nabi, setelah melewati cobaan dahsyat, dibakar dalam api, harus meninggalkan istri tercinta bahkan diperintah Allah untuk menyembelih putranya. Cobaan dan derita panjang Nabi Musa tak kalah beratnya. Sejak bayi ia telah dibuang ke sungai, menggembala ternak bertahun-tahun lamanya, dikejar kejar penguasa Fir’aun hingga harus menyeberangi lautan. Nabi Isa demi menyelamatkan umat manusia, ia rela mati di tiang salib. Penderitaan panjang Nabi Muhammad, sama beratnya.Sejak kecil ditinggal mati ayah bundanya, dicaci maki saudara saudaranya sendiri, diancam nyawanya, bahkan oleh Abu Jahal, Pak De-nya, hingga harus hijrah dari kampung halaman Mekah ke Madinah.
Persaudaraan Setia Hati Terate menjadi besar juga melalui proses panjang penuh cobaan dan penderitaan. Pendiri SH Terate, Ki Hadjar Hardjo Oetomo, pernah menjalani hukuman penjara pemerintah Hindia Belanda. Hidupnya terus diawasi, di dekat rumahnya didirikan pos pengintaian untuk mengawasi gerak gerik beliau. Kang Mas Imam Koesoepangat rela tidak berkeluarga agar bisa intens mempertaruhkan jiwa raganya mengembangkan SH Terate. Organisasi tercinta ini juga sempat dikuyo-kuyo, dipandang sebelah mata bahkan dijuluki sebagai “SH Murtad” pada awal pendiriannya, dan masih banyak cobaan lain yang harus diderita para tokoh.( Baca : Sejarah perkembangan Persaudaraan Setia Hati Terate di beberapa buku yang telah kami terbitkan sebelumnya).acs
Orang bijak mengatakan, ketika Allah, Tuhan Yang Maha Esa memberi cobaan kepada seseorang, sesungguhnya Dia tengah mempersiapkan orang tersebut menjadi lebih besar. “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang orang yang sabar. QS: 2 – 155)
Sabar, mensyukuri nikmat, tawakal, tak kenal menyerah, terus berusaha dan berusaha lagi. Kalimat tersebut merupakan kunci penyelamat hidup bahagia. Pondasi atau alas keselamatan kita. Sebagaimana bentuk tampah yang bulat, memutar tak berujung, salah satu piranti uborampe alas buceng selamatan dalam acara pengesahan siswa menjadi warga. Di luar sana masih banyak orang-orang yang kadar penderitannya jauh lebih berat daripada penderitaan kita. Sungguh, tidak akan ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Lebih besar mana masalah yang harus kita hadapi jika dibanding kebesaran Allah? “Maka sesungguhnya bersamaan kesulitan ada kemudahan. (QS:94 – 5). Lihatlah ke bawah jika berhadapan pada kisaran retorika nikmat dan ekonomi. Nikmat tidak akan lahir jika tidak disertai persepsi positif dengan ketetapan Allah terhadap seorang hamba, disamping keridloan jiwa merasa cukup terhadap pemberianNya. “Lihatlah kepada siapa yang berada di bawah kamu dan janganlah kamu melihat kepada siapa yang di atas kamu, karena yang demikian itu lebih pantas, agar kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang ada padamu.” (Hadist). Sebaliknya, lihatlah ke atas jika memasuki ranah ilmu dan kebijaksanaan, agar kita tidak sombong dan merasa paling pinter dan bener. Di atas langit masih ada langit. Ingatlah, bahwa tujuan utama dalam berdharma bukan untuk mencapai kesenangan sementara, akan tetapi mencapai kebahagiaan hidup abadi lepas dari ruang dan suasana.
Suatu hari wanita kulit hitam datang kepada Nabi, lalu berkata, “Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan dan auratku terbuka saat kumat, maka sudilah kiranya engkau berdoa untukku agar Allah memberikan kesembuhan bagiku.’ Nabi menjawab, “ Jika kamu mau sabar, maka kamu akan mendapatkan surga. Dan jika kamu mau, maka aku akan berdoa kepada Allah agar Allah memberikan kesembuhan bagimu.”
Wanita itu berkata lagi,” Aku akan bersabar. Akan tetapi auratku tersingkap ketika kumat, maka sudilah kiranya engkau berdoa kepada Allah untukku agar auratku tidak tersingkap. Lalu Nabi berdoa untuk perempuan itu agar auratnya tidak tersingkap - (Hadist).acs
__________________
Nasihat itu tertanam dalam-dalam di lubuk hati Mas Madji, panggilan akrab H. Tarmadji, hingga akhir hayatnya. Terbukti, sepanjang hidup, beliau tidak pernah mencari penghidupan di Persaudaraan Setia Hati Terate. Perekonomian keluarganya diperoleh dari bisnis minyak dan gas bumi (migas). Dia tercatat sebagai pengusaha migas cukup sukses di wilayah Jawa Timur. Sementara, sang istri, Hj. Ruwiyatun, bekerja menjadi karyawan PT. PLN. mBak Ruwi juga berasal dari keluarga yang cukup mampu. Ayahnya tokoh masyarakat di desa setempat, pemilik lahan pertanian yang cukup luas. Kiat yang sering diungkap,“Besarkan organisasi yang engkau ikuti, maka engkau pun akan ikut jadi besar.” Dan terbukti, beliau tidak sekadar ngomong (ora waton ngomong). Namun menjabarkannya dalam perilaku keseharian (nyontoni lan ngawaki).
Fakta konkret yang berhasil dikumpulkan penulis, saat menjadi Ketua Umum merangkap Ketua Majelis Luhur Persaudaraan Setia Hati Terate sejak tahun 1981 hingga Pereode Tahun 2014/2015, Mas Madji berhasil membesarkan organisasi tercinta. Dari data perkembangan cabang, bisa dilihat, di tahun-tahun awal beliau menjabat Ketua Umum Pusat, Persaudaraan SH Terate baru memiliki 46 cabang. Pada akhir masa jabatannya, berkembang pesat menjadi 200 cabang, tersebar di Indonesia. Jumlah ini masih ditambah pendirian 67 Komisariat Perguruan Tinggi serta 6 Komisariat di luar negeri. Itu berarti selama memimpin, perkembangan cabang Persaudaraan SH Terate bertambah cukup siginifikan, dari yang semula 46 cabang ( di era kepemimpinan duet RM. Imam Koesoepangat dengan Tarmadji), menjadi 200 cabang, atau bertambah sebanyak 154 cabang.
Karier Mas Madji dalam kepengurusan dimulai tahun 1971, sebagai Ketua Cabang Persaudaraan Setia Hati Terate Madiun. Jabatan tersebut dijalani hingga tahun 1974. Pada tahun 1978, beliau ditunjuk menjadi Ketua I, mendampingi Kang Mas Badini sebagai Ketua Persaudaraan Setia Hati Terate Pusat . Pada Musyawarah Besar (MUBES) Persaudaraan Setia Hati Terate Tahun 1981, beliau terpilih menjadi Ketua Umum Pusat.
Benar, bahwa pada pereode delapan puluhan, tugas pokok kepemimpinan di SH Terate dibagi dua. Sektor idealisme dan kerokhanian, diserahkan pada Mas Imam, sebagai Ketua Dewan Pusat. Sedangkan di sektor real, yakni pengembangan dan keorganisasian diserahkan pada Mas Madji. Namun setelah Mas Imam wafat, kedua tugas tersebut, sepenuhnya menjadi tanggung jawab Mas Madji (Ketua Umum merangkap Ketua Dewan Pusat).
Setahun setelah memimpin organisasi, sejumlah kebijakan diluncurkan.Salah satu produk kebijakan yang dilahirkan adalah pendirian Yayasan Setia Hati Terate lewat Akta Notaris Dharma Sanjata Sudagung No. 66/1982. Yayasan Setia Hati Terate merupakan komitmen organisasi untuk andil memberikan nilai lebih bagi masyarakat, khususnya di sektor rial. Dalam perkembangannya, di samping berhasil mendirikan Padepokan Persaudaraan Setia Hati Terate di Jl. Merak Nambangan Kidul Kodya Madiun, yayasan ini juga mendirikan dua lembaga pendidikan formal Sekolah Menengah Umum (SMU) Kususma Terate dan Sekolah Menengah Industri Pariwisata (SMIP) Kusuma Terate serta lembaga pendidikan ketrampilan siap pakai. Sedangkan untuk meningkatkan perekonomian warganya, didirikan Koperasi Terate Manunggal.
Di tangan Mas Madji, Yayasan Setia Hati Terate dalam waktu relatif singkat memiliki sejumlah aset, antara lain tanah seluas 12.190 m2 yang di atasnya berdiri sarana dan prasarana phisik seperti: gedung Pendapa Agung Saba Wiratama, gedung Sekretariat Persaudaraan Setia Hati Terate, gedung PUSDIKLAT (Sasana Kridangga), gedung pertemuan (Sasana Parapatan), gedung Training Centre (Sasana Pandadaran), gedung Peristirahatan (Sasana Amongraga), Gedung Serba Guna, Kantor Yayasan Setia Hati Terate, gedung SMK (Pariwisata) Kusuma Terate, gedung Koperasi Terate Manunggal dan Gelanggang Adu Bebas SH Terate (Sasana Krida Wiratama). Lahan yang digunakan untuk membangun Padepokan ini, berasal dari Pemkot Madiun, sebagian lagi dibeli dari PT. Cipta Niaga.
Aset lain yang dimiliki adalah pembelian rumah kediaman Ki Hadjar Hardjo Oetomo, di Pilangbango. Di akhir kehidupan Mas Madji, rumah peninggalan pendiri SH Terate ini, sering digunakan untuk acara pertemuan pengurus harian dan temu kadang. Rumah ini diproyeksikan untuk Museum SH Terate.
Kepada penulis Mas Madji pernah mengatakan, rumah peninggalan Ki Hadjar Hardjo Oetomo ini sedianya akan dibeli dengan uang pribadi, sebagai aset pribadi. Mas Harsono (alm), putra Ki Hadjar yang menawarkan pada beliau. Namun melihat nilai sejarah dalam perkembangan organisasi tercinta, akhirnya Mas Madji memutuskan, rumah legendaris itu lebih bijak jika dijadikan aset organisasi. Rumah tersebut masih dijaga keasliannya hingga sekarang. Hanya di halaman depan dibangun pendapa berkontruksi joglo, pintu gerbang serta pagar keliling. Lokasi rumah ini tidak jauh dari Makam Ki Hadjar Hardjo Oetomo.
Kekayaan lain yang berhasil diraih Yayasan SH Terate adalah pembelian tanah yang berlokasi di seberang jalan, tepat di depan padepokan, serta usaha perhotelan dan centra multi usaha yang berlokasi tidak jauh dari pintu gerbang masuk Jl.Merak, Kota Madiun. Tanah tersebut, sedianya akan dijadikan lokasi training centre pencak silat. Semacam pondok pesantren, atau sekolah budaya pencak silat. Sudah cukup lama gagasan tersebut diunngkap. Namun sebelum terwujud, Allah sudah memanggilnya.
Sedang tanah yang berlokasi di sebelah barat padepokan yang sekarang dijadikan makam Mas Madji, itu murni milik beliau pribadi. Tanah tersebut milik warga setempat yang dibeli dengan uang pribadi. Beberapa tahun sebelum wafat, beliau sudah memberi wasiat agar dimakamkan di situ, jika wafat. Awalnya, beliau ingin dimakamkan di dalam lokasi padepokan. Tepatnya, di dalam ruang kesterlek (ruangan di belakang ruang kerja Ketua Umum Pusat. Mas Madji sendiri yang sering menyebut nama ruangan itu sebagai ruang kesterlek). Tidak banyak warga yang mengetahui keberadaan ruangan ini. Kecuali pengurus pusat, staf dan cantrik beliau. Ruangan ini, semasa hidupnya, sering digunakan untuk ruang pembelajaran dan praktik kesterlek warga TK II. Wasiyat itu pernah diutarakan kepada penulis. Namun karena pertimbangan lain, di antaranya, banyaknya warga yang diperkirakan berziarah kemakam, beliau akhirnya berubah fikiran. Memilih agar dimakamkan di tanah pribadi di sebelah barat padepokan. (Beberapa wasiat yang diutarakan beliau di akhir kehidupannya, insya Allah, akan penulis paparkan dalam bab bab tersendiri).
Sebenarya Mas Madji seorang yang ahli tirakat (tapa brata). Namun pandai memformat lakunya itu hingga jarang diketahui orang lain. Bahkan orang-orang dekat beliau banyak yang tidak tahu, manakala dia tengah tirakat. Ngurang-ngurangi dan tapa ngrame, salah satu kegemarannya. Prinsip yang dijadikan dasar, tirakat wong SH itu sepanjang hidup. Laku ilmu setia hati itu tak kenal ruang waktu. Dimensi absurditas yang terpola dan berpusar pada persaudaraan, cinta kasih dan untuk menuju kebahagiaan abadi. Boleh jadi, prinsip ini tumbuh di jiwa Mas Madji sebagai buah didikan dari Mas Imam, setelah nyantrik puluhan tahun lamanya.”Urip iku sejatine tirakat, nDik. Awakmu kudu pinter, ojo landep dengkul, ojo biyakyakan (Hidup itu sejatinya proses tirakat. Kamu harus pandai mengendalikan diri, mengevaluasi diri), ” jawabnya saat penulis mengutarakan niat ingin ikut laku tirakat, sebagaimana yang dilakukan beliau. Di penghujung tahun 1965, setamat SMA, beliau pernah melakukan puasa selama 100 hari. Kesuksesan tidak akan bisa diraih dengan hanya berpangku tangan. Ridlo Allah berbanding tegak lurus dengan prasangka dan laku ikhtiyar hambanya. Sukses identik dengan usaha, ikhtiar, dilambari laku tirakat (laku bisa maujud linabaran ngelmu). Nasib bisa berubah menjadi baik dengan doa dan usaha (kodrat yekti bisa den irodati). Allah, Tuhan Yang Maha Esa tidak akan merubah nasib suatu kaum, sebelum mereka sendiri berusaha merubahnya.
Ketika laku tirakat Mas Madji masuk hari ke 70, Mas Imam meminta menyudahi puasanya.” Dik Madji itu bukan saya dan saya juga bukan Dik Madji. Goleko disik sangune urip Kid, awakmu isik enom,lho (carilah bekal hidup lebih dulu Dik, kamu masih muda, lho.” Mas Imam suka memanggil adik adiknya dengan panggilan “Kid”. Ini bahasa prokem di kalangan keluarga Persaudaraan SH Terate Madiun saat itu. “Kid” berasal dari kata “Dik” yang dibalik. Maksud ungkapan Mas Imam itu, setiap orang memiliki kodrat dan irama hidup masing masing. Tidak ada yang sama. Karenanya, tirakatnya juga berbeda. Sesuai dengan karakter personal. Mas Imam lantas memberikan petunjuk jenis laku tirakat yang sesuai dengan kepribadian Mas Madji. “Api itu musuhnya air, Kid,” ujar Mas Imam. Bagaimana kita bisa memadamkan api tanpa air? Laku tersebut adalah proses mencari jati diri atau mengenal diri pribadi. Wujudnya, pengendalian nafsu. Dengan laku ini, diyakini, seseorang bisa menemukan jatidirinya, mengenal dirinya. Mas Madji menyebutnya sebagai laku Setia Hati.
Hari berikutnya, Mas Madji mengakhiri puasanya. Beliau mulai keluar rumah dan bergaul dengan lingkungan seperti hari-hari biasanya. Tak berapa lama, atas petunjuk Mas Imam, beliau melamar kerja di Departemen Perhubungan (Dinas Lalu Lintas Jalan Raya - DLLJR) Wil Madiun. Sebenarnya ia diterima di dinas tersebut dan diminta mulai masuk kerja sebagai karyawan honorer, pada hari Senin, pekan berikutnya. Namun saat akan masuk kerja, ternyata lowongan yang tersedia sudah diisi orang lain. Dan, orang tersebut adalah “saudara sendiri”.
Enam bulan berikutnya, beliau mencoba melamar kerja lagi dan diterima sebagai pegawai honorer sipil TNI AD. Beliau ditugaskan mengurus Koperasi TNI AD, Korem 081 Dhirotsaha Jaya Madiun. Pekerjaan ini dijalani hingga tahun 1971. Ada cerita menarik seputar pengunduran diri Mas Madji dari pegawai honorer sipil TNI AD. Suatu hari ia dipanggil Mayor Kasmuri, salah satu perwira Korem 081 Dhirotsaha Jaya saat itu. Tak disangka, perwira menengah itu malah menyuruh Mas Madji keluar dari pekerjaannya.“Kene ki dudu panggonanmu, Ji. Panggonanmu ora ning kene, (Di sini bukan tampatmu, Ji. Tempatmu bukan di sini),” kata Mayor Kasmuri. Di kesatuan setempat, prajurit yang satu ini dikenal memiliki kelebihan “ngelmu kasepuhan”. Di luar rutinitas tugas kedinasan, dia sering memberi nasihat pada Mas Madji. Semula Mas Madji kaget, mendengar nasihat itu. Alasannya, beliau sudah mengabdi di situ cukup lama. Malah proses pengangkatan sebagai pegawai negeri sudah diproses. Tinggal menunggu turun SK yang kabarnya tinggal beberapa pekan. Tapi melihat kesungguhan dari nasihat perwira tersebut, akhirnya beliau mematuhinya, mengundurkan diri dari Korem Madiun. Padahal di pekan yang sama, SK pengangkatan beliau sebagai pegawai negeri sipil (PNS – sekarang ASN) turun.“Ada dorongan kuat yang menyuruh saya keluar. Sekarang saya baru tahu, ternyata nasihat Mayor Kasmuri itu adalah isyarat bahwa tempat saya memang bukan di Korem, bukan sebagai pegawai negeri,” ujar Mas Madji.
Proses perjalanan Mas Madji dalam berihtiyar mencari penghidupan itu, kian menambah keyakinan, bahwa jalan hidup manusia itu berbeda-beda. Tiap orang harus menjalani prosesnya. Menjalani takdirnya. Proses perjalanan yang sudah “tinulis” menuju kepastian demi kepastian, karena sesungguhnya Allah sudah menuliskannya sebelum kita lahir di bumi, sebagaimana melingkarnya untaian kalung yang melingkar di leher.”Bahwa sesungguhnya hakekat hidup itu berkembang menurut kodrat irmanya masing masing menuju kesempurnaan – Mukadimah SH Terate).
Manusia yang gampang puas (berbangga diri) dengan capaian prestasi adalah manusia kerdil. Mas Madji bukan tipe manusia seperti itu. Karena tujuan hidupnya, bukan capaian kebahagiaan semu yang ada di muka bumi. Akan tetapi jauh melampau itu. Kabahagiaan hidup abadi lepas dari rangka dan suasana. Dan, betapapun beliau adalah bagian dari masyarakat sosial, budaya, politik dan relegiusitas. Ia pun ingin berekspresi di dalamnya. Musti disepakati, bahwa di samping sentral figure Setia Hati Terate, beliau juga manusia biasa. Titah sakwantah — yang tetap harus dihargai hak dan kepentingannya sebagai makhluk pribadi. Seperti hak politik, hak privasi dan hak-hak untuk berinovasi dalam mengembangkan perekonomian keluarga. Mendudukkannya melulu di puncak idelisme ke-Setia Hati-an, jelas bukan sebuah kearifan. Toh fakta berbicara, pada sisi inovasi pengembangan privasi ini, beliau mampu mempertahankan citra organisasi.
Pada sisi inovasi politik misalnya, karier Mas Madji ternyata cukup baik. Malah diwarnai keunikan. Batapa tidak, penulis jadi saksi hidup, kerelaan beliau membantu teman seperjuangan, bahkan “lawan politiknya”. Terutama dalam masalah biaya. Menjelang Pemilu, calon legislatif (Caleg) pasti butuh banyak biaya. Tidak semua Caleg punya kemampuan ekonomi tinggi. Padahal biaya yang dibutuhkan dalam memperjuangkan kepentingan politiknya cukup banyak. Tidak hanya satu dua orang yang kemudian meminta bantuan dalam masalah ini. Belasan orang lebih. Beliau lebih memandang pada sisi kemanusiaan, bukan pandangan politiknya. Prinsipnya, mereka datang minta bantuan, Mas Madji mampu, kenapa harus ditolak? ”Wong nandur bakal ngundhuh,nDik. Butuhmu nyekseni. Aku ngerti, kae kae kae, mengko mesti ora bakal bisa nyaur (Barang siapa menanam, pasti akan panen. Kamu cukup jadi saksi. Saya tahu, orang itu itu itu nantinya pasti tidak akan bisa mengembalikan,) ” katanya, saat penulis memberanikan diri menanyakan soal ini.
Pada sisi inovasi politik, karier Mas Madji cukup baik. Terbukti, melalui ideologi politik yang diikutinya, ia dipercaya menjadi wakil rakyat Kota Madiun hingga dua periode (periode 1987-1992 serta periode 1997 – 1999). Sukses karier politik kembali diraih periode 2004-2009. Yakni, menjabat sebagai Ketua DPRD Kota Madiun.
Terdapat pelajaran cukup berharga dari Mas Madji. Bahwa SH Terate tetap berafiliasi pada partai politik manapun. Berafiliasi artinya netral, tidak menginduk. Tapi sebagai bagian masyarakat berbangsa dan bernegara, SH Terate membebaskan anggotanya bergabung pada partai politik, sesuai dengan hati nuraninya. Menurutnya, jika ada warga SH Terate yang menjadikan partai politik sebagai jalan hidup, menjadi politikus, dihimbau, jadilah politikus yang luhur. Politikus yang tidak menjadikan partai sebagai lahan pekerjaan. Tapi menjadikan partai politik sebagai ajang dharma. Patut pula dicatat, paro tahun 2008 ketika Kabupaten Madiun menggelar pemilihan bupati (Pilbup), Mas Madji sempat diminta menjadi bakal calon bupati dari partai besar pemenang pemilu. Tapi permintaan ini ditolak dengan halus.Alasannya, pengabdian utama beliau di SH Terate, masih banyak yang belum terselesaikan. Pertimbangan lain, karena usia. Usia Mas Madji di tahun 2008 sudah 61 tahun.Tahapan usia yang mengilhami beliau secara berangsur-angsur sudah harus meninggalkan ranah kasatrian (dunia kesatria) dan masuk ke ranah kapanditan. Istilah yang sering dia ucapkan, jika hidup ini diibaratkan sebagai pusaran cakra (cakra manggilingan), sudah saatnya beliau meninggalkan puncak kejayaan material, berpusar menuju nilai-nilai kerokhanian (kapanditan). Tahapan kehidupan manusia sesuai ajaran filsafat Jawa ini akan dikupas lagi dalam bab bab berikutnya.
Lewat sikapnya ini sesungguhnya Mas Madji telah melakukan sebuah pembelajaran bagi kadang SH Terate. Bahwa, manusia hidup itu harus sadar terhadap kemampuan dirinya (sakdedeg sakpengawe). Harus bisa menerima dengan ikhlas dan menjalani “kodrat dan iramanya”, hingga mampu dengan intens menghayati apa yang disebut sebagai lungguhing urip, jejering urip, sangkan paraning dumadi, jer lahir trusing bathin (totalitas eksistensi manusia dan kemanusiaanya). Jika sampai pada tahapan kesadaran ini, manusia itu akan memahami maqam-nya (keberadaannya). Penolakan dengan halus itupun dilakukan Mas Madji ketika ditawari menduduki jabatan strategis oleh sejumlah partai politik. Prinsipnya, kalau toh dia terjun ke dunia politik, dia harus menjadikan politik sebagai bagian dari dharma. Bukan menjadikan politik sebagai lahan pekerjaan.
Bahkan, beliau sering mengatakan, bahwa karier politik yang dijalaninya itu juga tidak lepas dari ajaran Setia Hati. Yakni, manusia Setia Hati itu harus bisa nyontoni lan ngawaki (memberikan contoh lewat keteladanan). Beliau telah membuktikan itu. Setidaknya, membuktikan bahwa manusia setia hati, terbukti mampu diterima di mana pun. Bahkan menjadi “jagonya” masyarakat.Secara implisit, ajaran ini disimbolkan dengan seekor ayam jantan (jago) sebagai ubarampe pengesaham warga Tingkat I SH Terate.
Sejumlah tokoh di luar SH Terate, saat dimintai komentar seputar karier politik Mas Madji, banyak yang mengatakan, bahwa beliau merupakan sosok politikus setia, loyal dan konsekuen. Sejak awal pertama terjun ke dunia politik, beliau tidak pernah berpindah partai. Sekalipun, partai yang menjadi pilihannya saat itu sempat dikuyo-kuyo, dikritik pedas dan dihujat. Banyak pula yang berkomentar, bahwa beliau merupakan sosok politikus dengan nilai moralitas tinggi. Satu periode menjabat sebagai Ketua DRPD Kota Madiun, diemban dengan mulus. Advokat dan Pengacara senior Kota Madiun yang juga Ketua Peradi Kota Madiun, Arief Widodo, SH,MH, saat berbincang bincang dengan penulis, mengatakan, Mas Madji terbilang sebagai politikus bermoral dan bernilai serta beretika luhur. “Saya hormat pada beliau,” katanya. Penilaian serupa diungkapkan oleh pengacara dan pengamat sosial setempat, Wawan Sugiarto,SH.MH.
Wajarlah, jika kharisma Mas Madji berdarma dalam hidup mendapat pengakuan cukup baik dari masyarakat. Sejumlah media, baik terbitan nasional maupun regional, sempat memberi julukan pada dia sebagai “Tokoh Sejuta Pesona”.
Sementara itu, menyadari dirinya seorang muslim, pada tahun 1995 ia bersama istri tercinta, Hj.Siti Ruwiatun berangkat ke tanah suci Mekah Al Mukaromah menjadi tamu Allah, menunaikan rukun Islam yang kelima, yakni ibadah haji. Ibadah ini kembali diulang pada tahun-tahun berikutnya. Baik berupa haji maupun Umroh.Tekadnya, jika Allah meridloi, ia dan keluarga akan melaksanakan ibadah umroh tiap tahun.Setiap ada kesempatan. Bahkan, pada setiap acara ulang tahun, beliau bagi-bagi hadiah umroh kepada kadang SH Terate. Sekali waktu, ia ngajak kadang SH Terate berangkat umroh berombongan. Banyak pelajaran dan hikmah yang bisa diambil dengan beribadah umroh. Setiap pulang beribadah umroh, begitu kaki menginjak ke tanah air, beliau selalu berdoa, “Ya Allah, beri saya kesempatan untuk kembali memenuhi panggilanMu, menjadi tamuMu, ” ujar Mas Madji.
Di komonitas al-Haj Madiun dan sekitarnya, Mas Madji juga dapat tempat. Jabatan ketua IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia) Kota Madiun diamanatkan kepadanya. Masih terkait urusan haji, dia andil besar dalam kelompok bimbingan haji (KBIH) dan menjadi Direktur KBIH Al’Mabrur. Di akhir hayat, dia intens mengelola biro perjalanan Umroh. Malah untuk urusan ibadah Umroh, tercatat sudah ratusan warga SH Terate yang ikut. Dari jumlah itu, belasan warga (terutama cantrik setia Mas Madji), diberangkatkan Umroh secara gratis, atas tanggungan biaya dari beliau. Jangan kaget jika atribut dan bendera SH Terate, sering berkibar di Mekah Al Mukaramah semasa hidupnya.
Kepribadian manusia tidak akan terlepas jauh dari apa yang dicintai dan tradisi budaya tanah tumpah darah. Unsur pembentuk kepribadian tersebut, pada saatnya dipastikan maujud, sekalipun aplikasinya bisa tidak sama persis dengan disain perwujudan pola dasar unsur pembentuk. Tidak jarang format aplikasinya jauh berbeda dengan pola dasar. Namun pada sisi sketsa dan lanskap perwujudan aktivitas, hakikatnya sama.
KRH.H.Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, pecinta pencak silat. Beliau juga sangat mencintai bumi kelahirannya, Madiun. Kecintaan itu diwujudkan lewat gagasan cukup besar. Menjadikan bumi Madiun sebagai pusat budaya pencak silat.Cakupannya bukan hanya regional maupun nasional. Namun Go International. Gagasan ini dijabarkan dalam sebuah proposal cukup rinci, bertajuk “Menjadikan Madiun sebagai Kampung Pesilat”. Kebetulan penulis saat itu ditugaskan untuk menjabarkan gagasan itu ke dalam proposal yang diminta Polres Madiun Kota dan Polres Madiun. Proposal ini sempat dipaparkan di Polda Jatim. Kabarnya, proposal ini bakal dikirim ke Mabes Polri.
Satu lagi yang nyaris tertinggal, kesetiaan Mas Madji melestarikan budaya pencak silat, terbukti mendapat apresiasi dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Awal Juni 2013 beliau mendapat gelar kehormatan dari Sinuwun Kanjeng Susuhan Pakubuwana Senopati Ing Ngalaga Ngadurakhman Sayidin Panatagama. Yakni berupa gelar bangsawan Kanjeng Raden Arya Tumenggung (KRAT) dengan pangkat Bupati Riyo Nginggil. Dengan gelar kehormatan tersebut kini Mas Madji memiliki nama baru yang lebih ekskusif dan nJawani, yaitu KRT. H Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE. Gelar terakhir yang didapat dari Keraton Solo adalah Kanjeng Raden Harya (KRH), dengan pangkat Mapatih.
Pertanyaan yang patut dikedepankan, jurus apa yang dilakukan Kang Mas Tarmadji Boedi Harsono, hingga berhasil mencapai kesuksesaan dalam kehidupan ini? Menurut beliau, terdapat empat jurus kunci sukses hidup bahagia, dan satu pola langkah penyelamat kebahagiaan.Empat jurus kunci itu adalah : jujur, rajin, mau belajar, dan tak pernah menuntut. Sedangkan satu jurus penyelamatnya kebahagiaan hidupnya adalah pantang menyerah, sebagai wujud rasa syukur atas rahmat yang diberikan Allah.
1.Jujur
Jujur itu luhur. Jujur itu indah, karena di dalamnya diwarnai rasa cinta, kasih sayang dan ketulusan. Lawan katanya (antonimnya), adalah bohong, dusta. Jujur dilihat dari segi bahasa adalah mengakui, berkata, atau pun memberi suatu informasi yang sesuai dengan apa yang benar-benar terjadi. Fakta yang benar-benar menjadi kenyataan. Dalam ilmu jurnalistik (kewartawanan) disebut sebagai fakta solid dengan sumber berita yang menduduki peringkat teratas (A1). Lawannya adalah bohong, tidak sesuai dengan yang benar-benar terjadi, tidak sesuai kenyataan. Sumber informasinya juga tidak jelas, khianat. Kata yang sekarang lagi viral di media sosial, kebohongan adalah “hoax”, wong Madiun mengatakan “awu awu”.
Jujur adalah kesesuaian antara hati, perkataan dan perbuatan. Dalam bahasa Arab perilaku tersebut diarbiterkan dengan kata “siddiq”, yang artinya benar, nyata. Seorang yang memiliki perilaku jujur, diberi gelar “siddiqin”. Nabi Muhammad saw, tercatat sebagai manusia jujur dan berbudi luhur, hingga mendapat gelar “al-Amin”.
Dalam perilaku keseharian, kejujuran harus diterapkan ke dalam lima aspek. Masing-masing, kejujuran dalam niat, ucapan, tindakan, janji dan fakta yang terjadi. Dimensi kejujuran terbagi tiga, jujur kepada diri sendiri, jujur kepada sesama manusia dan jujur kepada Tuhan. Jujur kepada diri sendiri diwujudkan dalam bentuk mengakui kelemahan dan kekurangan diri, tidak memaksakan kehendak, menjalani hidup sesuai dengan kapasitas diri, sesuai kodrat iramanya (sakdedeg sakpangawe). Orang sakti bukan seorang yang kebal senjata (ora tedas tapak palune pandhe siksane gurinda,) akan tetapi seorang yang mengerti dan memahami kekurangan dan kelemahannya. Jujur kepada sesama manusia ditunjukkan dengan kesesuaian antara hati, perkataan dan perbuatan. Sedangkan jujur kepada Tuhan ditunjukkan dengan takwa, mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Jujur merupakan sifat dasar manusia. Anugerah hayati nan azali. Sumber keberadaannya di kalbu atau hati. Ia tidak pernah berbohong, sekalipun lisan kita berbohong. Hati selalu menolak laku maksiat, sekalipun anggota badan dan indera bergerak ke arah itu. Terbukti, setiap melakukan perbuatan dosa, hati kita selalu akan mengatakan, jangan, itu dosa. Sekalipun hati seseorang penuh noda-noda hitam jejak mudharat dan maksiat, kedalaman lubuk hati akan tetap bersih, karena sejak awal sudah diformat menjadi pintu masuk hidayah.(”Bertanyalah pada hatimu, niscaya dia tidak pernah berbohong – Hadist).
Seorang yang selalu menekankan kejujuran, identik dengan mencintai dirinya, mengerti dan memahami jatidiri. Seorang yang mengenal jati dirinya, akan dengan mudah memahami keberadaan orang lain. Buahnya, akan maujud pusaran timbal balik, dicintai oleh sesama, dicintai Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Manusia, tumbuhan, binatang dan mahluk lain yang ada di muka bumi ini adalah ciptaan Tuhan. Dengan mencintai mahluk, maka akan membawa korelasi dicintai Sang Pencipta mahluk (al-Kholik).”Cintailah penduduk bumi niscaya penduduk langit mencintaimu – Hadist Qudsi).
Lebih jelasnya, dengan bersikap jujur kepada orang lain berarti kita telah mengasihinya. Sifat mengasihi sesama ini, sama artinya dengan mencintai Yang Maha Pengasih. Tuhan seru sekalian alam. Kata lain, jika berbuat jujur pada orang lain, jika mencintai dan dicintai orang lain, maka kita telah berjalan menuju medium untuk dicintai dan mencintai Tuhan.
Korelasinya, jika mau berbuat jujur, Tuhan juga akan mencintai kita. Jika Tuhan mencintai kita, berarti apapun permitaan kita akan dikabulkan (kang sinedya teka kang cinepta dadi). Jangankan hanya minta pemenuhan kebutuhan hidup, memohon ampunan dan surga pun dikabulkan. (“Sesungguhnya jujur akan membawa kepada kebaikan, dan kebaikan akan membawa kepada surga - Hadist)“
Logika spiritual, proses pengabulan permintaan ini, barangkali bisa dicontohkan layaknya kedekatan kita dengan pemimpin. Siapapun yang dekat dengan pemimpin, minimal harga dirinya terangkat, bisa mendapatkan kemudahan-kemudahan dan mendapatkan sejumlah prioritas layanan (awor ratu kajamas tuke madu).
Sebaliknya, jika kita berbohong pada orang lain, sama artinya menyakitinya. Memutuskan tali kasih dengannya. Makna lain, berbohong pada orang lain, berarti memutus tali kasih terhadap Tuhan. Memutus mata rantai kasih dan rahmatNya. Silaturahim memperkokoh persaudaran dan mendatangkan rizki.
Kebohongan akan melahirkan kebohongan. Seorang yang telah berbohong, maka dia akan berusaha menutupi kebohongannya itu dengan kebohongan lain. Dasarnya, manusia memiliki ego dan harga diri. Perbedaannya, seorang pembohong selalu akan mempertahankan harga dirinya dengan kebohongan. Sedangkan seorang siddiqin, akan menjaga harga dirinya dengan kejujuran dan cinta, dijaga dan diselamatkan orang lain (pager ayu luwih tumata dibanding pager bata). Kebohongan adalah benih dari malapetaka dan fitnah. Buahnya akan dipetik sang pembohong (ngundhuh wohing pakarti). Fakta keseharian menunjukkan, timbulnya sengketa dan permusuhan di tengah pranatan kehidupan, lebih banyak disulut kebohongan. Hancurnya martabat seseorang disebabkan faktor ini. Pada awalnya kebohongan memang terasa manis. Namun jika terkuak, pahitnya melebihi racun yang mematikan.
Seseorang yang gemar berbohong, cenderung munafik. Ciri orang munafik, jika berkata bohong, jika berjanji ingkar, jika dipercaya khianat. (Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu; dan mereka mendapat azab yang pedih, karena mereka berdusta.QS: 2 – 10). Pembohong tidak segan segan mencari pembenaran atas apa yang dilakukan. Ia pun dengan lihai berapologi. Misal, sebenarnya ia sudah melakukan perusakan terhadap alam, tetapi di depan umum dia berkelit dan berkata apa yang dilakukan itu justru untuk melestarikan alam, membangun peradaban dan mensejahterakan umat manusia.(Mereka menipu Allah dan orang-orang beriman, padahal mereka sebenarnya menipu diri sendiri tanpa mereka sadari.- QS: 2 – 9). Fenomena wong jujur ajur mumur, yakinlah, itu hanya diungkapkan oleh orang orang bodoh dan putus asa karena gagal dalam bersaing secara positif di kancah persaingan global. Ungkapan itu dilontarkan untuk menghibur diri dari kebodohannya.
Di dunia perdagangan, kejujuran identik dengan penglarisan. Kebohongan identik kebangkrutan. Seorang pedagang yang jujur, akan disukai pembeli, menjadi idaman konsumen dan pelanggan. Kejujuran dalam perdagangan bukan berarti harus membuka semua sisi dari barang yang dijual. Karena dalam praktiknya, yang lebih diutamakan pembeli adalah kualitas dan citarasa. Harga bersejajar dengan kualitas barang (ana rega ana rupa).Jangan pernah peranggapan pembeli itu bodoh dan gampang dibohongi. Jangan sekali kali bermain main takaran dan timbangan. Pedagang jujur akan berusaha menakar atau menimbang barang di depan pembeli. Alat ukurnya bersegel institusi berwenang. Allah, Tuhan Yang Maha Esa sangat murka terhadap pedagang yang tidak jujur dengan takaran. (Celakalah bagi orang orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)! (Yaitu) orang orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan, dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi. QS: 83 – 1,2,3).
“Lebih penting lagi, nek awakmu bakulan, dagang apa wae, aja pisan pisan awakmu nglangluh. Omong rugi. Rugi bathi, menenga, sukurana. Sebab, omonganmu bisa dadi sabda, dadi donga. Nek kinabul, ajur awakmu,” ujar Mas Masdji saat menjabarkan masalah ini. (Lebih penting lagi, jika kamu berdagang, berdagang apa saja, jangan sekali kali mengeluh. Mengatakan rugi.Untung rugi, disyukuri. Sebab omonganmu bisa jadi sabda, jadi doa. Kalau doa itu dikabulkan, bangkrut kamu.)
Pedagang yang jujur dengan senang hati akan menunjukkan kelebihan dan kekurangan kualitas barang. Jika ada cacat, diperlihatkan ke pembeli. Bukan disembunyikan. Terlebih, diera perdagangan digital, yang ditandai dengan transaksi online. Kejujuran pemain olshop, memegang peran mutlak. Pasalnya pembeli tidak bisa melihat langsung wujud dan kualitas barang. Pemain perdagangan digital hanya menunjukkan foto dan spesifikasi tertulis yang diposting di sosial media. Peluang pembohongan publik cukup tinggi. Risiko kekecewaan pembeli juga sama tingginya.
Di lingkup kedinasan dan atau lahan pekerjaan, kejujuran akan menyelamatkan seseorang dari perangkap korupsi. Kejujuran pekerja menaikkan citra, dedikasi, reputasi, serta dicintai atasan, bawahan dan teman sederajat. Pekerja jujur akan berkata yang sebenarnya, sekalipun pahit. Sebab sepahit apa pun rasa kejujuran, ia akan jadi obat tidak saja bagi diri sendiri, tapi obat bagi sesama.
Bahwa kebohongan adalah perbuatan mungkar, wajib hukumnya dijadikan landasan kehidupan kita di muka bumi. Sebab, ada kalanya kebohongan bisa melahirkan kebaikan dan kerukunan. Misalnya, berbohong untuk menyenangkan istri atau suami. Seorang istri akan merasa tersanjung jika kita angkat jempol pada masakan yang disajikan, atau hasil cucian, atau hasil dari pekerjaannya. Suami dipermaklumkan berbohong untuk mengatakan rasa masakan istri enak dan sedap, sekalipun sebenarnya asin dan hambar. Tujuannya, sekali lagi, demi untuk membahagiakan istri, mengokohkan mahligai rumah tangga. Kedua, bohong demi untuk mendamaikan sengketa antarsaudara atau sahabat. Seorang arifin dengan terpaksa akan melakukan kebohongan, sebagai laku ikhtiyar mendamaikan saudara atau teman yang bersengketa. Dia tidak akan berat sebelah saat menjadi juru pendamai. Sekalipun dia tahu persis apa yang dilakukan oleh parapihak yang bersengketa, dia akan berbohong dan mengatakan tidak tahu dan apa yang dilakukan parapihak itu tidak seperti yang disengketaan.
Kebohongan lain yang bisa dibenarkan adalah kebohongan sebagai strategi perang. Tujuan utama untuk menyelamatkan agama, bangsa dan negara. Seorang prajurit yang tertangkap musuh, tidak boleh berkata jujur jika ditanya tentang setrategi yang digunakan batalionnya. Bohong demi menyelamatkan strategi dalam perang, wajib hukumnya. Sekalipun dengan sikapnya itu, nyawa menjadi taruhannya.
2. Rajin
Setelah jujur, hal yang harus dilakukan agar bisa meraih sukses adalah rajin. Rajin dalam kamus bahasa diartikan ; getol, bekerja sungguh-sungguh, giat berusaha. Rangkapnya rajin adalah tidak pernah menyepelekan dan meremehkan suatu pekerjaan. Antonimnya adalah malas, minim aktivitas, suka berpangku tangan. Rajin dalam konteks ini, mencakup segenap lini. Dari rajin mengasah diri, rajin membuat rencana kerja, rajin berinovasi agar hidupnya kian berarti, serta rajin mematuhi larangan dan perintah Tuhan.
Orang yang berjiwa rajin, selalu optimistis dalam menjalani kehidupannya. Tak akan pernah kehabisan pekerjaan. Orang lain akan memakai jasanya dalam skala prioritas. Selain ini, inovasi yang dikembangkan akan membimbing dirinya ke arah kemandirian, tidak selalu bergantung orang lain. Dampak positif yang diperoleh, ia tidak akan pernah menganggur atau berpangku tangan. Sebab ia telah memformat dirinya sawah, tapi terus berinovasi dalam mengolah tanamannya. Jika seniman, imajinasinya akan dikembangkan hingga melampaui batas kemampuan akhir daya kretivitas.Tak pandang dimana ia berada. Tentu, dengan kebiasaan ini, menjadikan jiwanya selalu terisi. Tidak kosong, tidak mengada-ada, tidak memaksakan diri demi mencapai sesuatu yang tidak jelas ujung pangkalnya (ngaya wara).”Dan manusia hanya memperoleh apa yang diusahakannya, dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.”(QS :53 – 39, 40, 41).
Dampak yang langsung bisa diperoleh, ia tidak akan kekurangan sandang pangan, tidak akan jatuh ke jurang kemiskinan. Tidak pula terpikir untuk mengemis atau meminta-minta. Pekerja giat, cenderung hemat, tidak pelit. Ia sadar, rizkinya tidak diperoleh cuma cuma, tapi di dapat dengan kerja keras. Karena itu, ia akan berusaha memanage ekonomi keluarga dengan baik. Belanja bukan berdasar keinginan, tapi karena kebutuhan. Dengan begitu, ia tidak akan sampai defisit, mandiri dan sekali lagi, bisa hidup dari hasil kerja tangannya sendiri. Sungguh mulia kehidupannya. “Tidak ada seseorang memakan sesuap makanan pun yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya. Dan sesungguhnya Nabi Dawud as memakan makanan dari hasil usahanya sendiri - Hadist).”
Dan, sungguh, inilah pengejawantahan makna tawakal yang sebenar-benarnya. Tawakal jangan diartikan hanya rajin berdoa tanpa disertai gerak ragawi dalam aktivitas kerja. Tawakal adalah bekerja dan berdoa.Soal , kinerja baru berserah diri pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. “ Kalau kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar benarnya tawakal, maka niscaya Allah akan memberikan rizki sebagaimana Allah memberi rizki pada burung, ia pergi pagi hari dalam keadaan perut kosong, lalu pulang pada sore hari dalam keadaan perut kenyang-Hadist).”
Ingat, sekalipun rizki sudah ditentukan dan kehidupan kita sudah dijamin Allah, tapi Allah juga memerintahkan kita aktif mencarinya. Rajin bekerja untuk mendapatkannya. “Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak banyaknya supaya kamu beruntung. (QS: 62 - 10). Nasihat bijak dari ahli spiritual mengatakan, langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak, hingga tangan dan kaki kita sibuk beraktivitas di atas tungku api.
Sebaliknya, seorang pemalas selalu memandang kehidupan ini pesimistis. Hari harinya hampa, penuh kegelisahan, pupus harapan dan tak memiliki tujuan hidup, tidak punya semangat meraih hidayah dan berkah demi masa depan. Sifat dasar manusia, sesungguhnya memang pemalas, loma, sebagai bawaan nafsu lauamah yang bersemayam di dalam dada. Tapi bukan berarti nafsu tersebut tidak bisa dikendalikan. Alat pengendali kemalasan adalah rajin bekerja, rajin berikhtiyar dan selalu menjalani hidup dengan optimistis. Karena keberhasilan pada dasarnya adalah hasil dari proses pengulangan aktivitas.
Seorang pendekar pilih tanding pada awalnya adalah sosok manusia lemah, ringkih dan bodoh, sebagaimana umumnya manusia. Ia bisa berubah jadi pendekar tangguh karena rajin berlatih. Rajin mengulang-ulang gerakan kaki untuk menendang, rajin mengulang-ulang gerak tangan dalam pukulan, rajin mengulang-ulang gerak kepala untuk menghindar. Rajin mengulang-ulang gerakan senam, jurus, pasangan, kripen, pola langkah, permainan senjata dan mempraktikkan dalam sambung. Rajin mengulang-ulang pukulan, tendangan dan fokus mengarahkan pada sasaran.Hasilnya, tulang tulangnya kuat, ototnya lentur, pandangan dan pendengarannya tajam, pikirannya jernih dan terpola, terakhir daya refleknya terbentuk optimal.
Daya reflek ini juga secara otomatis muncul sebagai hasil dari proses pengulangaan di bidang lain. Seorang mahasiswa berhasil meraih predikat cumloude, bukan hanya karena dia pandai dan cerdas --- kepandaian dan kecerdasan tanpa diasah dengan rajin belajar, tidak akan berarti apa apa.
Tapi karena dia rajin mengulang-ulang belajar, rajin mengulang ulang menghafal rumus, rajin mengulang ulang menulis makalah dan laporan kerja nyata. Hasilnya, otak di kepalanya dipenuhi memori ilmu pengetahuan yang reflek bisa keluar untuk menjawab soal dalam ujian.
Seorang hafid (penghafal kitab suci), berhasil mendapat gelar hafid setelah beberapa tahun rajin mengulang ulang bacaan ayat dalam kitab suci. Hasilnya, lisan dan memorinya bisa dengan reflek menghafal dalam mengaji. Seorang pedagang sukses, hakikatnya adalah sosok manusia yang rajin mengulang-ulang dalam melakukan transaksi, memprediksi harga, kualitas barang dan daya saing. Hasilnya, daya refleknya muncul menjadi intuisi. Dengan intuisinya, dia mampu memilah dan memilih, mana barang dagangan yang bisa menguntungkan dan mana yang merugikan.
Patut dicatat, terdapat tiga tingkatan dalam aktivitas kerja. Yakni, kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas. Kerja keras merupakan aktivitas kerja yang hanya mengandalkan tenaga, tak peduli terhadap managemen efensiensi energi yang dikeluarkan dan waktu yang dibutuhkan guna menyelesaikan sebuah pekerjaan.Pokok beraktivitas, banting tulang, peras keringat, ibaratnya berangkat pagi, pulang dini hari. Tentu, hasil dari kerja model ini, hanya sebatas seberapa kerasnya tulang dibanting dan seberapa derasnya keringat terperas.
Kerja cerdas jauh lebih efektif. Karena model kerja cerdas sudah terkonsep dengan memanfaatkan teknologi yang tersedia. Managemen waktu dan tenaga menjadi bagian penting, disamping strategi memeta segmen pasar. Kinerja tentu lebih besar, waktu yang dibutuhkan lebih ringkas dan energi yang dipergunakan sedang sedang saja.
Kerja ikhlas jauh lebih tinggi nilainya dari kerja keras dan kerja cerdas. Karena kerja ikhlas mencakup kedua model kerja di atas, ditambah dengan keterlibatan hati terhadap hikmah samawi, campur tangan Allah di dalamnya. Pemaknaan kerja ikhlas cenderung lebih terfokus pada kinerja. Seberapa pun hasil dari kerja keras maupun kerja cerdas, itu mutlak pemberian Allah, yang musti disyukuri. Ikhlas menerima segala tiba.Yang terpenting dalah kerja, kerja dan rajin kerja, soal hasilnya serahkan sepenuhnya pada-Nya. Bukankah kita bisa bekerja dan menyelesaikan pekerjaan itu juga atas berkah dan rahmat-Nya? Jangankan kita sebagai manusia awam, para nabi pun rajin bekerja. Nabi Adam rajin bertani, Nabi Nuh dan Zakaria bekerja sebagai tukang kayu. Nabi Ibrahim dikenal sebagai penjual pakaian, Nabi Musa bertahun tahun bekerja menggembala kambing milik Nabi Suaib. Nabi Dawud dikenal sebagai perajin baju perang. Nabi Muhammad sempat jadi saudagar lintas negara.“Dan katakanlah : Bekerjalah kamu, maka Allah beserta orang orang yang beriman akan melihat pekerjaanmu itu dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS: 9 - 105).
Ringkasnya, kerja keras dan kerja cerdas, adalah aktivitas kerja demi mendapatkan upah (mobah golek upah), sedangkan kerja ikhlas muara akhirnya tidak hanya untuk mendapatkan upah, tapi juga berkah (mobah golek berkah). Kang Mas Tarmadji Boedi Harsono menyarankan, sedapat mungkin warga Persaudaraan Setia Hati Terate menempatkan konsep kerja ikhlas dalam kehidupannya. Karena sesungguhnya perbuatan seseorang itu dilihat dari niatnya. Lagi, “tak seorang pun yang menanam pohon dan hasil panennya dinikmati oleh burung atau manusia (ataupun makhluk lainnya), Allah akan menganggap perbuatannya itu sebagai sedekah” (Hadist).
3. Mau Belajar
Jurus kunci meraih sukses yang ketiga adalah mau belajar. Belajar dalam konteks pembicaraan kali ini, tidak hanya terjebak pada pendidikan formal. Proses belajar otodidak dan non formal, tercakup di dalamnya. Muara akhirnya adalah perubahan perilaku secara permanen kearah yang lebih bijak, konkret, serta positif, sebagai bekal dalam berdharma demi dan untuk kemaslahatan umat manusia dan pelestarian semesta (mamayu hayuning bawana).
Dasarnya, ilmu terangkum dalam dua kitab. Yaitu kitab garing dan kitab teles. Kitab garing adalah kitab yang berisi ilmu yang telah tertulis dan dibukukan, seperti Zabur, Taurat, Injil, Al-Quran dan kitab-kitab lainnya. Kitab teles adalah alam semesta.
Kenapa kitab teles dan kitab garing? Karena karakter kitab teles lebih mudah didapat, teruji dan terformat sistematis, methodis, objektif dalam standardisasi disiplin ilmu , sehingga mudah dimengerti dan dipahami. Perlunya belajar kitab garing karena tidak semua pengetahuan tertulis dalam kitab teles. Ini karena ilmu Allah, Maha Luas, Maha Tak Terbatas. Bahkan jika lautan dijadikan tinta dan ranting pepohonan yang ada di bumi dijadikan pena untuk menulis ilmuNya, tidak akan ada habisnya.”Katakanlah (Muhammad) : Seandainya lautan dijadikan tinta untuk menulis kalimat kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai penulisan kalimat kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu pula – QS : 18 – 109).
Mempelajari ilmu yang telah tertulis dalam kitab teles, bisa ditempuh dengan pendidikan formal atau belajar otodidak. Waktu yang dibutuhkan bisa diprediksikan dan diproyeksikan berjenjang. Namun mempelajari kitab garing, keluasan ilmu semesta, pendidikan formal tidak akan mampu mencapainya. Keterbatasan ruang dan waktu menjadi kendala pelaku pendidikan, disamping semesta sendiri menyembunyikan misteri yang hingga saat ini masih banyak yang belum terungkap. Itulah kenapa proses belajar kemudian diyakini tidak mengenal ruang waktu. (Carilah ilmu dari buaian ibu hingga liang lahat – Hadist) dan/atau (Carilah ilmu hingga ke negeri China).
Contoh konkret, sampai era digitalisasi sekarang ini pun manusia belum berhasil mengungkap misteri tata ruang angkasa. Masih banyak tata galaksi yang belum ditemukan, dipelajari dan dijadikan sumber eksploitasi demi kemaslahatan umat. Belajar tata ruang Galaksi Bima Sakti saja, masih jauh panggang dari api. Padahal galaksi yang kita huni ini sudah ditemukan ratusan tahun silam. Sejak zama Socrates, Plato, Aristotheles, bahkan jauh sebelum mereka. Padahal ranah ilmu ini sudah dibakukan sebagai ilmu pasti, ilmu antropologi dan sudah melahirkan ribuan gelar profesor doktor.
Contoh lain yang agak absurd, kita belajar pencak, belajar teknik jatuhan, dari jatuhan depan, samping kiri, samping kanan dan belakang. Tapi kenapa ketika berjalan di jalan licin dan terpeleset, tubuh kita terjerambab, memar bahkan mungkin patah tulang, laiknya seorang yang tidak pernah belajar pencak silat? Barangkali pembaca akan berkilah, karena tidak sadar hingga reflek saraf motorik tidak punya kesempatan mempratikkan teknik jatuhan. Jika benar demikian, kenapa saat sebelum terjadi kecelakaan itu kita tidak sadar padahal kesadaran itu melekat dan senyawa dengan tubuh kita? Dan, apabila pertanyaan senada terus kita kedepankan, yakinlah, jawabannya satu, “pepesten, suratan nasib dari sononya.”
Misteri serupa itu dan rasa ingin mengetahui jawabannya, memposisikan belajar kitab teles menjadi penting dan berarti. Malah sekarang ini, ahli kitab garing banyak diburu para pencari ilmu bangkit, pencari berkah, perindu ilmu ghaib, mendapat gelar spesifik dan eksklusif, bahkan disebut sebut sebagai sosok masa depan, dianggap mengetahui misteri yang belum terjadi (weruh sadurunge winarah).
Setia Hati Terate menempatkan mencari ilmu atau belajar dalam skala prioritas. Anggota SH Terate sejak dini diwajibkan belajar, mengikuti proses latihan senam, jurus, pasangan dan pelajaran lain yang bersifat ketubuhan (ilmu lahiriyah). Tujuannya untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan memperkokoh ketahanan fisik. Setelah berlatih fisik mereka diwajibkan belajar kerokhanian, sebagai dasar pembentukan karakter manusia berbudi luhur. Baru setelah disyahkan menjadi warga (Tingkat I), mereka dikenalkan dengan “ilmu batiniah”. Tahapan ini harus dilalui dengan bimbingan pelatih (guru), agar terarah dan tidak keluar dari pakem yang sudah teruji dan kualifide.( ....tidak kandas/tenggelam pada pelajaran pencak silat sebagai lambang pendidikan ketubuhan saja, melainkan lanjut menyelami kedalam lembaga pendidikan kejiwaan....Mukadimah SH Terate).
Guru juga berkonotasi makro. Bisa diartikan guru dalam arti ragawi, yakni seseorang yang menguasai kitab teles dan guru yang tidak hanya menguasai kitab teles tapi juga kitab garing (guru makrifat-mursid). Pada era kepemimpinan Mas Madji di Persaudaraan SH Terate, sosok warga yang menguasai dua disiplin ilmu tersebut diberi gelar Ki Hadjar. Gelar tertinggi dan bermartabat di tataran ilmu SH Terate.
Pengalaman dan alam juga merupakan guru yang baik. Kenapa, karena pengalaman menunjukkan catatan perjalanan yang di dalamnya bisa diambil hikmahnya. Alam apalagi. Setia Hati menempatkan alam sebagai Guru Sejati. Referensinya, alam tidak pernah berbohong pada manusia. Contoh, api itu panas, karakternya berkobar ke arah atas membakar apa saja yang dijumpai. Sebaliknya air itu dingin, karakternya mengalir mencari permukaan lebih rendah dan berhenti tenang di permukaan datar. Hujan akan turun jika langit berawan. Air laut pasang jika malam hari karena adanya gravitasi bulan dan di siang hari akan menjadi surut karena gravitasi matahari.(Demikianlah hukum Allah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali kali tidak akan menemukan perubahan pada hukum Allah itu- QS: 48 – 23).
Bahwa dalam kondisi tertentu sifat api menjadi dingin dan tidak memiliki daya bakar, bisa terjadi. Misalnya saat Nabi Ibrahim dibakar dalam kobaran api oleh Raja Namrud. Namun harus diyakini, berubahnya karakter dasar api hingga tak membakar jasad Nabi Ibrahim itu karena adanya pusaran arus keghaiban nubuah. Yakni, mukzizat, sebagai dasar pembenaran status kenabian. Dan itu mutlak atas perintah Allah, pemilik dan pencipta api. Fakta bersumber kitab suci berbicara, api itu toh tetap membakar tumpukan kayu dan menghanguskannya jadi debu. Atas kehendak Allah, hanya jasad Nabi Ibrahim yang terselamatkan.
Pengenalan proses pembelajaran kitab garing itu dimulai setelah warga disyahkan Tingkat II. Selain dibimbing langsung oleh pelatih, pada tahap ini warga mulai diberi keleluasan belajar sendiri, guna mempertajam daya batiniyahnya. Proses belajarnya tidak lagi clasikal, akan tetapi personal. Ini karena kemampuan batiniyah masing masing individu berbeda. Ruang dan waktunya tak terbatas.
Kang Mas KRH.H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SH, memberikan contoh, guna mempertajam kepekaan berdialog dengan alam, beliau rela menghabiskan waktu bertahun-tahun. Sejak dibimbing Mas Imam, puluhan tahun, hingga belajar otodidak. Penulis beberapa kali diminta untuk menemani. Lokasinya berpindah pindah. Kadang di tepi pantai, di gunung, di tengah sawah, di tepian kali hingga di tengah tengah keramaian. “Manusia itu kholifah di bumi. Seorang kholifah, ratu, harus bisa bersahabat dan berdialog dengan siapa saja. Termasuk berdialog dengan alam. Lihat ombak itu, dia akan membalas sapaan kita jika kita mau menyapa. Akrab dengan kita,” kata Mas Madji, saat duduk-duduk di tepi pantai Pacitan.
Beliau menanggapi dengan senyum jika dituding sesat dan syirik. Banyak yang memfitnah lakunya sebagai ritual minta bantuan jin Laut Selatan, Sendang Drajat, Arga Dumilah, minta bantuan Nyi. Roro Kidul. Mereka menghembuskan fitnah karena tidak tahu, hanya menduga duga, dan minim pengetahuan batiniyah dan makrifatullah. Padahal laku itu merupakan bagian dari tafakur alam. Berdialog dengan semesta, menyelami dan menghayati ciptaan Allah, mengagumi kebesaranNya. Orang bijak menanggapi masalah dengan nasihat dan ilmu. Bukankah kita masih belajar menjadi orang bijak? Hanya orang bodoh yang menanggapi masalah dengan amarah dan pukulan. Masalah adalah kekasih manusia paling setia. Karena itu, hadapi dan selesaikan masalah dengan kasih dan cinta.
Keberadaan pembimbing (guru mursid) sangat diperlukan dalam proses pembelajaran kitab garing.Tujuannya agar tidak sesat jalan. Sebab, logika impiris dan imaginasi kreatif berperan aktif membentuk keyakinan saat seseorang belajar kitab garing. Subjektivitas menduduki peringkat atas, selain praduga dan prasangka. Jika tidak ada campur tangan pembimbing, rawan tersesat.
Fenomena Si Buta melihat gajah duduk, bisa dijadikan gambaran proses praduga sesat belajar kitab garing tanpa guru. Seorang buta yang berusaha mengetahui gajah dan kebetulan dia hanya meraba telinganya, akan menduga bahwa sosok gajah itu seperti “ilir” (kipas yang terbuat dari anyaman bambu), lebar tipis. Dari temuan itu timbul keyakinan pada dirinya, gajah itu tidak ada beda dengan ilir. Di bagian lain, si buta lain yang memegang dan meraba ekor, berprasangka sosok gajah itu panjang agak bulat seperti ular. Lambat laun lahir keyakinan, bahwa gajah itu setali tiga uang dengan ular. Pada sisi lainnya lagi, ada yang kebetulan memegang dan meraba kaki. Dia pun beranggapan lain lagi. Gajah itu ya seperti bambu.acs
Bisa dibayangkan, seseru apa perdebatan yang akan terjadi jika mereka bertemu dan berdialog tentang gajah. Padahal bagi orang normal dan sering melihat gajah , temuan mereka itu jauh dari fakta sebenarnya. Keyakinan yang terbentuk sesat. Reverensinya parsial, belum mencakup keseluruhan sosok gajah. Mereka hanya melihat dari satu sisi. Itu pun baru sebatas kulit, baru pada sisi yang bisa ditangkap oleh indera peraba.
Meminimalisir sesat praduga dan prasangka, agar tujuan ngelmu sesuai harapan, Mas Madji mengambil kebijakan “wajib nyantrik” bagi warga yang ikut latihan Tingkat II. Nyantrik berasal dari kata cantrik. Artinya abdi, pembantu, asisten. Hanya saja, aplikasinya berbeda. Nyantrik dalam kontek ini bukan berarti harus menjadi pembantu yang berkewajiban menyiapkan semua kebutuhan guru. Tapi lebih ditekankan pada pendekatan personal antara calon Tingkat II dan pelatih, guru.Tujuannya agar terjadi interaksi timbal balik, hingga tercipta kesepahaman pola fikir, pola langkah dan pola ucap. Kesamaan persepsi sangat dibutuhkan, mengingat sebagian besar referensi ilmu yang diajarkan pada tingkat ini, sumber dasarnya adalah empirisme, buah dari laku dan telaah khasanah kitab garing.
Contoh, Mas Madji bukan seorang ahli sastra. Bahasa harian yang sering digunakan campuran antara bahasa Jawa Madiunan dan bahasa Indonesia. Dikhawatirkan akan terjadi miskomunikasi tentang maksud ucapan beliau. Tarutama bagi warga yang berasal dari luar Madiun, dan jarang berinteraksi dengan beliau.
4. Tidak Pernah Menuntut
Tidak pernah menuntut? Ungkapan ini kedengaran aneh. Apalagi bagi telinga awam dengan kecenderungan materialistik. Bagaimana mungkin hidup di era digitalis ini seorang bisa tidak menuntut hak haknya?
Kenapa tidak bisa? Ini keniscayaan. Bukan lagi kemustahilan.Bahkan sifat tidak pernah menuntut akan terbentuk dari sebuah keyakinan “wong nandur mesti ngunduh – siapa menanam akan menuai/panen” Kedua, hak akan datang sekalipun seluruh mahluk dibumi menghalanginya. Ketiga, wewenang pemberi hak, mutlak di tangan Allah, Tuhan Yang Maha Esa, bukan manusia, sekalipun ia punya kekuasaan birokrasi atau kelimpahan materi.
Tugas terbesar manusia di muka bumi ini adalah memenuhi kewajiban. Hak akan datang sejajar dengn pemenuhan kewajiban. Ada dua kewajiban yang harus dipenuhi. Pertama kewajiban terhadap sesama mahluk, kedua kewajiban terhadap Allah. Kewajiban terhadap sesama mahluk diwujudkan dengan mengasihi dan mencintainya (sih marang sasami).Wujudnya, secara ringkas bisa direalisasikan dalam empat dharma (catur dharma), yaitu wenehana teken marang wong kang wuto (berikan tongkat pada orang buta), wenehana mangan marang wong kang luwe (berikan makan pada orang yang kelaparan), wenehana busana marang wong kang kawudan (berikan pakaian pada orang yang kurang sandang), wenehana payung marang wong kang kudanan (berikan payung pada orang yang kehujanan). Penjabaran darma ini cukup panjang dan luas, butuh kesempatan, ruang dan waktu khusus. Sedangkan kewajiban manusia terhadap Allah, ditunjukkan dengan takwa, yaitu menjalankan perintah dan menjauhi larangannya.(Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembahKu – QS : 51 – 56)
Kang Mas KRH. H.Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, sering mengaitkan tugas mengasihi dan mencintai sesama mahluk hidup dengan konsepsi hukum timbal balik. Jika kita mengasihi binatang, misalnya bebek, maka bebek itu akan membalas kita dengan telur. Jika kita mengasihi dan mencintai sesama manusia, maka akan dikasihi dan dicintai Sang Pencipta. Jika mencintai pekerjaan, tekun berinovasi dalam berkreativitas, maka penghargaan akan datang sebanding kinerja, sebanding dengan karya yang dihasilkan.Jika tulus menjaga semesta, mamayu hayuning bawana, semesta pun lestari dan memberikan isi kandungan perut bumi bagi kemakmuran umat manusia. Allah menyindir halus orang orang yang rajin beribadah, tapi tidak perduli dengan lingkungannya. Karena, kebajikan itu luas, tidak hanya berhenti pada konsep “manembah”, menghadapkan wajah ke timur dan ke barat,” akan tetapi juga diwujudkan dengan rela “.... memberikan hartanya pada orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan, peminta-minta, orang yang menepati janji jika berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa perang. Mereka itu orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa (QS: 2 – 177).
Tidak pernah menuntut adalah aktivitas hati, bisa dikorelasikan dengan ikhlas, atau melakukan perbuatan amaliyah tanpa mengharap balasan dari mahluk, dan hanya berharap balasan dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Aktivitas semacam ini tidak akan muncul secara reflek, tanpa adanya kemauan untuk berlatih, sebagaimana reflek yang muncul dalam gerakan ragawi. Contoh, memberikan sesuatu yang berharga dan kita cintai kepada orang lain, pada awalnya pasti enggan (ngeman) dan berat. Apalagi pemberian itu tanpa didasari dengan berharap imbalan dari penerima.Akan tetapi jika dilakukan terus penerus, lama kelamaan perasaan berat dan enggan tersebut akan berkurang, hingga hilang sama sekali. Yang timbul kemudian adalah rasa kasih untuk terus memberi dan membantu orang lain, mengasihi sesama mahluk.
Contoh lain, sebenarnya ini ada di depan mata, sudah dilakukan tapi tidak disadari, karena seringnya kegiatan dilakukan, adalah saat warga melatih siswa. Jika saudara menjadi pelatih, pernahkah terpikir imbalan yang akan diterima saat berada di hadapan siswa? Mudah-mudahan jawabannya, tidak sama sekali, dan jika jawaban itu muncul spontan dari hati saudara, itu berarti rasa ikhlas telah tertanam dan tumbuh dalam dada. Ungkapan yang sudah akrab terdengar di telinga dan sering diucapkan oleh pelatih saat memberi pelajaran ke-SH-an (kerkhonian) adalah “ora getun lamun kelangan”. Tafsir dari ungkapan ini bukan hanya tidak heran atau kecewa jika kehilangan apapun yang dimiliki. Akan tetapi meluas sampai pada tidak akan merasa kehilangan jika memberi sesuatu pada orang lain.
Sikap semacam itu, sekarang tinggal mengaplikasikannya ke kegiatan yang lain, seperti membantu fakir miskin, menjadi donatur kegiatan sosial di lingkungan, menjadi orang tua asuh bagi anak rawan putus sekolah, dan amaliyah lainnya. Tidak perlu berfikir nilai bantuan itu harus besar. Pun tidak perlu memeta skala cakupan amal itu seluas apa. Terpenting terus dan terus membantu, sampai terasa kita tidak sedang melakukan apa pun saat mengulurkan bantuan. Karena pada hakikatnya, tangan yang terulur memberi atau kaki yang berjalan menuju kegiatan sosial itu, sesungguhnya bukan kita yang menggerakkan, akan tetapi digerakkan Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Dan, sesungguhnya besar kecilnya nilai amal itu bukan milik kita, akan tetapi milik Allah. Posisi manusia dalam hal ini hanya sebagai jalan terciptanya perwujudan kehendak Tuhan. Tidak lebih dari itu.
Demikian itulah, karenanya, kenapa berbangga hati jika tangan kita terjulur memberi bantuan pada sesama? Beruntung, karena Allah, ternyata tidak hanya memposisikan manusia sekadar jadi alat bantu terwujudnya nilai nilai sosial kemanusiaan, akan tetapi juga memberikan nilai lebih, baik nilai lebih psikologis maupun nilai ekonomi objek yang diberikan. Bentuk nilai lebih tersebut, antara lain, mengangkat derajat orang-orang yang suka beramal lebih tinggi dibanding penerima. (Tangan yang terjulur dan berada di atas lebih baik dibanding tangan yang nyadong di bawah – Hadist). Rasa kasih dan cinta dari penerima khususnya dan manusia pada umumnya, sebagai bentuk timbak balik cinta dan kasih dari pemberi, atau penghargaan atas apa yang telah diberikan. Keistimewan lainnya, nilai kepemilikan ekonomi orang yang ikhlas beramal akan bertambah berlipat ganda, bukan berkurang.”Perumpaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang dikehendaki. danAllah Maha Luas, Maha Mengetahui (QS:2 – 261).
Manusia pada dasarnya egois dan suka pujian, sebagai bawaan dari nafsu amarah dan sufiyah. Namun di lain sisi, memiliki potensi kabajikan, pemaaf dan penyantun, sebagai bawaan nafsu mutmainah. Seseorang yang memahami potensi diri, dia tidak akan memaksakan kehendak terhadap orang lain. Sebaliknya, akan menempatkan orang lain sebagaimana ia menempatkan dirinya. Pada kondisi tertentu, bahkan berusaha menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi.Sikap tidak pernah menuntut ini muncul sebagai buah dari proses pemahaman itu, disamping didasari adanya keyakian wong nandur bakal ngunduh sebagaimana telah dipaparkan di atas.
Seorang karyawan perusahaan, jika sadar bahwa dirinya adalah seorang karyawan, maka dia akan fokus menyelesaikan tugas dan kewajibannya, ketimbang menghitung-hitung hak atau upah yang akan didapat. Prinsipnya maton, bahwa sekalipun dia bekerja di perusahaan milik orang lain, tapi pada hakikatnya dia bekerja untuk dirinya sendiri. Jika perusahaan berkembang, kesejahteraan karyawan juga bertambah. Toh, pada waktu yang sudah dijadualkan, di tanggal yang sudah ditentukan, tanpa diminta, upah/gaji dia pasti akan diberikan. Bisa jadi malah ada tambahan bonus atas prestasi kinerjanya.
< br/> Seorang anak yang tahu posisi diri sebagai anak, akan mendahulukan sikap patuh dari pada gampang merajuk dan merengek menuntut pemberian orang tua. Dia yakin, ibu dan bapak pasti memenuhi kebutuhannya tapa diminta. Kalau meminta sesuatu, lebih didasarkan pada kebutuhan bukan keinginan. Itu pun tetap melihat posisi keuangan orang tua. Hikmah yang muncul dari sikap semacam ini, menjadikan orang tua semakin sayang, semakin cinta, dan menyulut semangat untuk memberi yang terbaik bagi anak.Kasih sayang tidak lahir dari tuntutan, tapi lahir dari ketulusan.
< br /> Terakhir Kang Mas Tarmadji berpesan, “Jangan bertanya apa yang kau dapatkan dari Persaudaraan Setia Hati Terate, akan tetapi bertanyalah, apa yang akan kau berikan pada Persaudaraan Setia Hati Terate”.
5. Tak Kenal Menyerah
Setelah kelima jurus kunci sukses hidup bahagia itu sudah dipahami dan dijalankan, satu hal lagi yang tidak boleh terlupakan adalah, menyelamatkan dan memperkokoh jurus tersebut dengan jurus penyelamat. Yakni, pengedepanan sikap tak kenal menyerah.
Rukun utama untuk bisa bersikap tak kenal menyerah adalah sabar. Kajian bahasa, sabar artinya melarang atau menahan. Dalam kajian syariat sabar diartikan sebagai perbuatan menahan hawa nafsu, menahan lidah dari keluhan dan menahan anggota badan dari tindakan destruktif. Orang-orang bijak mengatakan, sabar itu ibarat kuda yang tidak pernah letih, pedang yang tidak pernah tumpul, pasukan yang tak terkalahkan dan benteng yang tak pernah bisa dirobohkan. Suradira jaya ningrat lebur dening pangastuti.
Allah, mencintai penyabar. Manusia juga segan dan mengaguminya. Derajat mereka, ditinggikan melebihi orang lain.“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar. Dan adalah mereka meyakini ayat ayat Kami. QS: As-Sajadah : 24)”
Rukun kedua agar kita memiliki sifat tak kenal menyerah adalah syukur nikmat. Dengan mensyukuri nikmat, maka semuanya akan menjadi balant, tentram dan damai. Sebab, Allah selalu menyertainya. “Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah bersama orang orang yang bersabar.” (Q.S : An Anfal – 46). Bukankah hidup ini tertata dalam konsep keseimbangan? Tugas kita memasuki kisaran proses dan menjaganya. Jalan menuju kearah itu, tak ada lain kecuali mensyukuri apa saja yang sudah kita peroleh. Sedikit banyak toh hanya berbeda pada nilai kualitas dan kuantitas. Soal rasa, hakikatnya sama. Kang Mas Tarmadji mencontohkan, uang seratus ribu bagi seorang kuli bangunan atau tukang becak, mempunyai nilai cukup besar. Sebab untuk mendapatkan uang sebesar itu, mereka harus kerja sehari penuh. Tingkat kebutuhan, terkait dengan hak dan kewajiban mereka juga relatif kecil. Tapi bagi seorang pejabat, bupati, gubernur atau presiden, nilai uang tersebut sangatlah kecil dibanding hak dan kewajiban di pundaknya. Penderitaan seorang yang terserang stroke, barangkali dinilai dan dirasa kelewat berat. Tapi seberapa berat penderitaan tersebut jika dibanding seorang yang memiliki cacat bawaan sejak lahir, lumpuh, buta, tuli atau bisu?
Langkah paling bijak untuk meminimalisir munculnya perbandingan nilai meteri tersebut, adalah mensyukurinya. Dengan mensyukuri apa pun, seberapapun nikmat yang sudah didapat, maka semuanya akan menjadi nol, nisbit, balant. Yang muncul kemudian rasa kedamaian dan ketentraman di dalam jiwa, karena ternyata Allah, Tuhan Yang Maha Esa, tetap sayang dan memperhatikan keberadaan kita. Dan, yakinlah ada hikmah di balik semua ketetapan yang harus dijalani. Yakinlah, Tuhan tahu kualitas jiwa hambanya.( Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.QS:2 – 286). Karena makna syukur sesungguhnya adalah memanfaatkan potensi yang diberikan Allah secara maksimal untuk bekal beribadah kepadaNya. Kasih sayang tidak selamanya ditunjukkan dengan sesuatu yang menyenangkan. Ada kalanya rasa sayang bertajadi dalam bentuk ketetapan yang menurut sangkaan kita menyakitkan. Padahal, dibalik rasa sakit yang kita derita ada ketetapan lain yang jauh lebih menyenangkan, jauh lebih membahagiakan. “Sesungguhnya besarnya balasan tergantung dari besarnya ujian, dan apabila Allah cinta pada suatu kaum dia akan menguji mereka, barang siapa yang ridlo maka baginya keridloan Allah, namun barangsiaapa yang murka,maka baginya kemurkaan Allah.(Hadist)
< br/> Ridlo Allah, identik ridlo orang tua. Surga berada di bawah telapak kaki ibu.Ridlo guru juga sangat perlu didambakan. Hargai mereka sebagaimana menghargai diri sendiri, bahkan lebih besar dari itu. Mereka berjasa, orang tua berjasa dalam proses kelahiran di muka bumi. Sedangkan guru mempunyai andil yang tidak sedikit dalam pembentukan kepribadian manusia berbudi luhur tahu benar dan salah beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam jalinan persaudaraan kekal abadi.
Manusia besar, tokoh panutan umat manusia, tidak menjadi besar tanpa proses dan cobaan. Mereka menjadi besar justru setelah ditempa cobaan dan penderitaan panjang dan berhasil melewatinya. Nabi Ibrahim mendapat kehormatan menjadi bapaknya para nabi, setelah melewati cobaan dahsyat, dibakar dalam api, harus meninggalkan istri tercinta bahkan diperintah Allah untuk menyembelih putranya. Cobaan dan derita panjang Nabi Musa tak kalah beratnya. Sejak bayi ia telah dibuang ke sungai, menggembala ternak bertahun-tahun lamanya, dikejar kejar penguasa Fir’aun hingga harus menyeberangi lautan. Nabi Isa demi menyelamatkan umat manusia, ia rela mati di tiang salib. Penderitaan panjang Nabi Muhammad, sama beratnya.Sejak kecil ditinggal mati ayah bundanya, dicaci maki saudara saudaranya sendiri, diancam nyawanya, bahkan oleh Abu Jahal, Pak De-nya, hingga harus hijrah dari kampung halaman Mekah ke Madinah.
Persaudaraan Setia Hati Terate menjadi besar juga melalui proses panjang penuh cobaan dan penderitaan. Pendiri SH Terate, Ki Hadjar Hardjo Oetomo, pernah menjalani hukuman penjara pemerintah Hindia Belanda. Hidupnya terus diawasi, di dekat rumahnya didirikan pos pengintaian untuk mengawasi gerak gerik beliau. Kang Mas Imam Koesoepangat rela tidak berkeluarga agar bisa intens mempertaruhkan jiwa raganya mengembangkan SH Terate. Organisasi tercinta ini juga sempat dikuyo-kuyo, dipandang sebelah mata bahkan dijuluki sebagai “SH Murtad” pada awal pendiriannya, dan masih banyak cobaan lain yang harus diderita para tokoh.( Baca : Sejarah perkembangan Persaudaraan Setia Hati Terate di beberapa buku yang telah kami terbitkan sebelumnya).acs
Orang bijak mengatakan, ketika Allah, Tuhan Yang Maha Esa memberi cobaan kepada seseorang, sesungguhnya Dia tengah mempersiapkan orang tersebut menjadi lebih besar. “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang orang yang sabar. QS: 2 – 155)
Sabar, mensyukuri nikmat, tawakal, tak kenal menyerah, terus berusaha dan berusaha lagi. Kalimat tersebut merupakan kunci penyelamat hidup bahagia. Pondasi atau alas keselamatan kita. Sebagaimana bentuk tampah yang bulat, memutar tak berujung, salah satu piranti uborampe alas buceng selamatan dalam acara pengesahan siswa menjadi warga. Di luar sana masih banyak orang-orang yang kadar penderitannya jauh lebih berat daripada penderitaan kita. Sungguh, tidak akan ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Lebih besar mana masalah yang harus kita hadapi jika dibanding kebesaran Allah? “Maka sesungguhnya bersamaan kesulitan ada kemudahan. (QS:94 – 5). Lihatlah ke bawah jika berhadapan pada kisaran retorika nikmat dan ekonomi. Nikmat tidak akan lahir jika tidak disertai persepsi positif dengan ketetapan Allah terhadap seorang hamba, disamping keridloan jiwa merasa cukup terhadap pemberianNya. “Lihatlah kepada siapa yang berada di bawah kamu dan janganlah kamu melihat kepada siapa yang di atas kamu, karena yang demikian itu lebih pantas, agar kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang ada padamu.” (Hadist). Sebaliknya, lihatlah ke atas jika memasuki ranah ilmu dan kebijaksanaan, agar kita tidak sombong dan merasa paling pinter dan bener. Di atas langit masih ada langit. Ingatlah, bahwa tujuan utama dalam berdharma bukan untuk mencapai kesenangan sementara, akan tetapi mencapai kebahagiaan hidup abadi lepas dari ruang dan suasana.
Suatu hari wanita kulit hitam datang kepada Nabi, lalu berkata, “Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan dan auratku terbuka saat kumat, maka sudilah kiranya engkau berdoa untukku agar Allah memberikan kesembuhan bagiku.’ Nabi menjawab, “ Jika kamu mau sabar, maka kamu akan mendapatkan surga. Dan jika kamu mau, maka aku akan berdoa kepada Allah agar Allah memberikan kesembuhan bagimu.”
Wanita itu berkata lagi,” Aku akan bersabar. Akan tetapi auratku tersingkap ketika kumat, maka sudilah kiranya engkau berdoa kepada Allah untukku agar auratku tidak tersingkap. Lalu Nabi berdoa untuk perempuan itu agar auratnya tidak tersingkap - (Hadist).acs
__________________
Komentar
Posting Komentar