Renungan Suro : Jadilah Guru Sejati
Guru sejati bukanlah orang yang engkau dengar (ceramah-ceramah) sebatas dari lisannya.Tetapi, dia adalah orang tempatmu mengambil hikmah dan akhlaq. Bukanlah guru sejati , seseorang yang hanya membimbingmu dengan retorika.
Tetapi, orang yang disebut guru sejati bagimu adalah orang yang isyarat-isyaratnya mampu menyusup dalam sanubarimu. Dia bukan hanya seorang yang mengajakmu sampai kepintu. Tetapi, yang disebut guru bagimu itu adalah orang yang (bisa) menyingkap hijab (penutup) antara dirimu dan diri-Nya. Bukanlah gurumu, orang yang ucapan-ucapannya membimbingmu. Tetapi, yang disebut guru bagimu adalah orang yang aura kearifannya dapat membuat jiwamu bangkit dan bersemangat.
Dia adalah orang yang bisa membuatmu keluar dari penjara hawa nafsu, dan mengajakmu masuk ke dalam naungan Allah. Guru sejati bagimu adalah orang yang senantiasa membuat cermin hatimu jernih, sehingga cahaya Tuhanmu dapat bersinar terang di dalam hatimu.
Paparan di atas adalah hakikat guru menurut Al-Imam Ibnu Athoillah al-Askandary rahimahullah dalam Kitab Al-Hikam. Sebuah permenungan tasawuf yang dengan jujur harus diakui cukup berat bagi kita untuk mewujudkannya. Tapi, betapa pun, ini adalah standardisasi “guru” yang patut kita jadikan idealisme. Terlebih bagi kita, sebagai komunitas yang sudah memproklamirkan diri menjadi manusia berbudi luhur tahu benar dan salah. Sebab, seorang berbudi luhur, sepakatlah, dia tidak hanya menjadikan ungkapan “budi luhur” itu dalam jargon egoistis, tapi juga harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.Ungkapan yang sering kita dengar dari Pak Kyai, adalah “kudu bisa ngawaki lan nyontoni.”
Syams Tabrizi, guru spiritual Maulana Rumi, ___ beliau juga disebut-sebut sebagai gurunya Sunan Kalijaga___ mengatakan, para guru gadungan alias “awu-awu” yang ada di dunia ini jauh lebih banyak daripada bintang yang tampak di langit semesta. Maknanya, kejelian kita ditantang untuk memilah dan memilih, siapa sebenarnya guru sejati dan mana “guru awu-awu” yang gila hormat, egois dan tengah menjalankan profesinya sebagai “kuli meterial” demi mendapatkan pengakuan dan seikat cuan. Sebab seorang guru sejati tidak akan memintamu rungkuh dalam kepatuhan total dan mendudukkannya di puncak menara pemujaan demi kemuliannya. Tetapi dia n ridlo membantumu untuk menemukan jati diri dan memuliakan dirimu sendiri. Laksana sebuah cermin, dia adalah kaca bening tembus pandang yang mampu menangkap cahaya ilahiyah lalu memancarkannya ke dalam jiwamu.
Para guru sejati selalu berko-esistensi membagi cahaya pengetahuan kemanusiaan, bukan menghancurkan apalagi menjual hoax dan kebohongan. Mereka hadir untuk kebahagiaan orang lain, bukan untuk kesenangan diri sendiri. Mereka tidak pernah punya niatan untuk mengambil bagian dunia dari ilmu yang diajarkannya. Qonaah, billah wabil akhirat. Mereka rela berlapar-lapar demi kebahagiaan murid tercinta, tapi tidak bertajali sebagai batang lilin yang mengorbankan dirinya demi memancarkan berkas cahaya. Sebab, guru sejati sesungguhnya adalah cahaya itu sendiri. Entitas tunggal antara diri, akal dan nafs (jiwa). Sebagaimana fatwa Abu Bakar, aku ingin jadi pohon yang ditebang dan dimanfaatkan.
Pujangga Kasunanan Keraton Surakarta Hadiningrat Ranggawarsita, memberikan marka sosial, sesorang yang laik jadi guru, yakni : bangsaning agama (para ulama ahli kitab); bangsaning atapa (para pendeta yang senang bertapa); bangsaning sujana (orang yang memiiki kelebihan dan menjadi orang baik); bangsaning aguna (para cerdik pandai yang memiliki keahlian tertentu); bangsaning prawira (prajurit yang masih memiliki ketenaran dalam olah keprajuritan); bangsaning supunya (orang kaya yang masih memiliki keberuntungan); dan bangsaning susatya (kaum petani yang rajin dan telaten). Tak hanya berhenti sampai di situ, Ranggawarsita juga memberikan prasyarat sosok yang bisa dikatakan sebagai guru. Antara lain, sosok tersebut harus mempunyai kemampauan paramasastra (memiliki kemampuan dalam bidang sastra), paramakawi (memiliki kemampuan dalam bahasa Kawi), mardibasa (mampu berbahasa dengan baik); mardawalagu (mampu membawakan lagu dengan luwes), hawicarita (memiliki kemampuan tutur/bercerita yang baik), mandraguna (memiliki keahlian dan ketrampilan), nawungkrida (cerdas dalam menangkap “tanda-tanda alam dan zaman”), dan sambegana (selalu ingat, tidak pelupa).
Prasyarat lainnya, guru juga dituntut untuk memiliki sifat asih ing murid (asih kepada murid, dianggap sebagai anak dan cucu sendiri), telaten pamulange (telaten dalam memberikan pelajaran), lumuh ing pamrih (tidak memiliki pamrih, kecuali untuk tujuan kemajuan murid), tanggap ing sasmita (mampu menangkap keinginan murid), sepen ing panggrayangan (tidak membuat murid berprasangka), ora ambalekaken patakon (mampu memberikan jawaban), ora ngendak kagunan (tidak meremehkan murid), dan ora amburu aleman (tidak mengunggul-unggulkan kepandaiannya).
Masih belum juga cukup dengan prasyarat tersebut, guru juga harus mampu menerapkan “Doso Mo”, yakni manembah (bertakwa kepada Allah), momong (mampu mengasuh), momot (sabar dan tahan uji, momor (mampu beradaptasi), mursid (suci dan berpandangan luas), murokapi (keberadaannya benar benar dibutuhkan), mapan (kecukupan), mituhu (loyal dengan profesi), mitayani (handal), mumpuni (canggih).
Suhrawardi, filosof iluminasi, memberi kriteria dan tugas guru musryid, yakni: (1) Membersihkan niat dan meluruskan tujuan hidup murid. (2) Mengetahui kemampuan murid. (3) Mendidik murid tanpa pamrih. (4) Menyesuaikan ucapan dan tindakan.( 5) Menyayangi orang lemah. (6) Menyucikan ucapan. (7) Berbicara dengan bijaksana. (8) Selalu mengingat dan memuliakan Allah Swt sewaktu berbicara. (9) Menjaga rahasia murid. (10) Memaafkan kesalahan murid. (11) Mengabaikan haknya sendiri demi kepentingan murid. (12) Memberikan hak-hak murid. (13) Mampu membagi waktu untuk menyendiri (berkhalwat) dan beramal. (14) Selalu mengerjakan amalan-amalan sunnat.
Pertanyaannya, masih adakah sosok guru dengan standardisasi itu dalam kekinian? Dalam banyak kasus, keberadaan guru serupa itu malah dianggap kafir, murtad, bidah dan sebutan negatif semacamnya. Contoh kongkret apa yang menimpa Syekh Muhyidin Ibn Arabi.Dengan konsep Wahdatul Wujud, ajarannya, dia justru dituding sesat dan menyesatkan umat. Tapi Allah Maha Mengetahui hambanya. Ibnu Arabi boleh jadi tidak pernah melakukan pembelaan atas tudingan itu. Akan tetapi, sekali lagi, Allah lewat lisan para “Imam dan Ulama Besar dan Salih” beramai-ramai membelanya.
Ibnu Hajar menyebutkan kisah menarik dalam peristiwa yang terjadi pada tahun 831 H. Suatu hari Ibnu Hajar pergi bersama Al-Bisathi menuju ke Syaikh Alauddin Al-Bukhari. Dalam perbincangan, mereka menyinggung nama Ibnu ‘Arabi. Syaikh Alauddin langsung menjelek-jelekkan Ibnu ‘Arabi dan mengkafirkan orang-orang yang meyakini isi kitabnya. Al-Bisathi menyanggah tuduhan Syaikh Alauddin dan membela Ibnu ‘Arabi, “Sebenarnya orang-orang mengingkari Ibnu ‘Arabi hanya karena berdasarkan kata-kata zhohir yang beliau ucapkan itu. Jika tidak, maka tak ada satu pun dari ucapannya itu yang patut untuk diingkari jika ia mau memahaminya sesuai dengan maksud penulisnya atau dengan sedikit takwil.” Demikian sanggahnya. Lalu Syaikh Alauddin mengajukan pengingkaran terhadap konsep Al-Wihdah Al-Muthlaqah ala Ibnu ‘Arabi. Al-Bisathi menjawab, “Apakah Anda tahu apa itu Al-Wihdah Al-Muthlaqah?”. Syaikh Alauddin marah besar mendengarnya dan bersumpah kalau pemerintah tidak mau menonaktifkan Al-Bisathi dari jabatannya sebagai Qadhi (hakim), ia sendiri yang akan mengusirnya dari Mesir.
Syaikh Alauddin meminta sekretaris untuk mengajukan permasalahan ini kepada pemerintah. Hampir saja pemerintah mengabulkan permintaan itu dan mengangkat Asy-Syihab bin Taqi sebagai ganti Al-Bisathi. Namun kemudian majelis itu ternyata dibatalkan.
Imam As-Suyuthi berkomentar, “Ini adalah salah satu berkah membela salah satu wali Allah.” Akhirnya Al-Bisathi meneruskan jabatannya dan tak seorang pun yang menonaktifkannya sampai beliau wafat setelah dua puluh satu hari sejak kejadian itu.
Suatu ketika seorang santri bertanya pada Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, mengenai Ibnu ‘Arabi dan kontroversi seputar tokoh besar itu. Syaikh menjawab, “Beliau (Ibnu ‘Arabi) adalah Al-Imam Al-Akbar yang telah dicemarkan namanya. Kaum Bathiniyah dari kalangan Ismailiyah telah menyusupkan perkataan-perkataan bathil ke dalam kitab-kitab karangan beliau. Dan sekarang kaum Wahabi sering mengkafirkan beliau berdasarkan isi kitab-kitab itu.”
Syeikh ‘Abdullah al-Talidi di dalam al-Mutrib bi Masyahir Awliya’ al-Maghrib, mengatakan :“Beliau(Ibn ‘Arabi) sebenarnya adalah lambang kebanggaan dan tokoh besar umat ini. Khususiyyah dan ma’rifah beliau dengan Allah Taala serta keteguhan pendiriannya di dalam tauhid dan berpegang dengan syarak telah disaksikan oleh ramai tokoh-tokoh besar seperti Abu Madyan al-Ghawth, al-‘Izz bin ‘Abdil Salam, Fakhruddin al-Razi, katanya: Beliau adalah wali yang agung. al-Syihab al-Suhrawardi, al-‘Arif Sayyidi Mustafa al-Bakri, al-‘Arif Sayyidi ‘Abdul Qadir al-‘Idrus, Syeikh Zakariyya al-Ansari, Ibn Hajar al-Haytami, al-‘Arif al-Yafi’i, al-Fairuzabadi pengarang al-Qamus, al-‘Arif Ibn ‘Ata’illah penyusun al-Hikam, al-Qutb al-Sya’rani, al-Hafiz al-Suyuti, al-‘Arif al-Nabulusi, al-‘Arif Ibn ‘Ajibah, Abu ‘Abdillah ibn Ja’far al-Kattani, Khatimah al-‘Arifin Sayyidi Muhammad bin al-Siddiq, dan lain-lain lagi dari kalangan tokoh-tokoh sepanjang zaman.
Ia adalah penyaksian adil para imam besar berkenaan ketokohan beliau (Ibn ‘Arabi), sifat istiqamah dan khususiyyah beliau, serta kebebasan beliau terhadap kecaman-kecaman yang ditujukan kepadanya. Sesungguhnya mereka itu adalah imam-imam hidayah, serta pemimpin-pemimpin tarbiah dan islah. Maka penyaksian mereka adalah didahulukan ke atas siapa yang mengecam dan mengkritiknya, karena mereka mengkritik terhadap perkara yang mereka sendiri tidak mempunyai ilmu pengetahuan lengkap tentangnya, dan tidak mudeng takwilnya. Mereka semata hanya menduga-duga.
Masih ada banyak lagi tokoh besar yang tidak disebutkan oleh Syeikh al-Talidi seperti Ibn Kamal Basya, Ibn al-‘Imam al-Hambali, al-‘Allamah al-Munawi, Syeikh Ahmad al-Sirhindi, Syeikh Hayat al-Sindi, Syeikh Abu al-Mahasin al-Qawuqji, Imam ‘Abdullah al-Haddad, al-Amir ‘Abdul Qadir al-Jaza’iri dan sebagainya.
Semoga Allah membimbing kita ke jalan yang lurus.Amin. (acs)
Paparan di atas adalah hakikat guru menurut Al-Imam Ibnu Athoillah al-Askandary rahimahullah dalam Kitab Al-Hikam. Sebuah permenungan tasawuf yang dengan jujur harus diakui cukup berat bagi kita untuk mewujudkannya. Tapi, betapa pun, ini adalah standardisasi “guru” yang patut kita jadikan idealisme. Terlebih bagi kita, sebagai komunitas yang sudah memproklamirkan diri menjadi manusia berbudi luhur tahu benar dan salah. Sebab, seorang berbudi luhur, sepakatlah, dia tidak hanya menjadikan ungkapan “budi luhur” itu dalam jargon egoistis, tapi juga harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.Ungkapan yang sering kita dengar dari Pak Kyai, adalah “kudu bisa ngawaki lan nyontoni.”
Syams Tabrizi, guru spiritual Maulana Rumi, ___ beliau juga disebut-sebut sebagai gurunya Sunan Kalijaga___ mengatakan, para guru gadungan alias “awu-awu” yang ada di dunia ini jauh lebih banyak daripada bintang yang tampak di langit semesta. Maknanya, kejelian kita ditantang untuk memilah dan memilih, siapa sebenarnya guru sejati dan mana “guru awu-awu” yang gila hormat, egois dan tengah menjalankan profesinya sebagai “kuli meterial” demi mendapatkan pengakuan dan seikat cuan. Sebab seorang guru sejati tidak akan memintamu rungkuh dalam kepatuhan total dan mendudukkannya di puncak menara pemujaan demi kemuliannya. Tetapi dia n ridlo membantumu untuk menemukan jati diri dan memuliakan dirimu sendiri. Laksana sebuah cermin, dia adalah kaca bening tembus pandang yang mampu menangkap cahaya ilahiyah lalu memancarkannya ke dalam jiwamu.
Para guru sejati selalu berko-esistensi membagi cahaya pengetahuan kemanusiaan, bukan menghancurkan apalagi menjual hoax dan kebohongan. Mereka hadir untuk kebahagiaan orang lain, bukan untuk kesenangan diri sendiri. Mereka tidak pernah punya niatan untuk mengambil bagian dunia dari ilmu yang diajarkannya. Qonaah, billah wabil akhirat. Mereka rela berlapar-lapar demi kebahagiaan murid tercinta, tapi tidak bertajali sebagai batang lilin yang mengorbankan dirinya demi memancarkan berkas cahaya. Sebab, guru sejati sesungguhnya adalah cahaya itu sendiri. Entitas tunggal antara diri, akal dan nafs (jiwa). Sebagaimana fatwa Abu Bakar, aku ingin jadi pohon yang ditebang dan dimanfaatkan.
Pujangga Kasunanan Keraton Surakarta Hadiningrat Ranggawarsita, memberikan marka sosial, sesorang yang laik jadi guru, yakni : bangsaning agama (para ulama ahli kitab); bangsaning atapa (para pendeta yang senang bertapa); bangsaning sujana (orang yang memiiki kelebihan dan menjadi orang baik); bangsaning aguna (para cerdik pandai yang memiliki keahlian tertentu); bangsaning prawira (prajurit yang masih memiliki ketenaran dalam olah keprajuritan); bangsaning supunya (orang kaya yang masih memiliki keberuntungan); dan bangsaning susatya (kaum petani yang rajin dan telaten). Tak hanya berhenti sampai di situ, Ranggawarsita juga memberikan prasyarat sosok yang bisa dikatakan sebagai guru. Antara lain, sosok tersebut harus mempunyai kemampauan paramasastra (memiliki kemampuan dalam bidang sastra), paramakawi (memiliki kemampuan dalam bahasa Kawi), mardibasa (mampu berbahasa dengan baik); mardawalagu (mampu membawakan lagu dengan luwes), hawicarita (memiliki kemampuan tutur/bercerita yang baik), mandraguna (memiliki keahlian dan ketrampilan), nawungkrida (cerdas dalam menangkap “tanda-tanda alam dan zaman”), dan sambegana (selalu ingat, tidak pelupa).
Prasyarat lainnya, guru juga dituntut untuk memiliki sifat asih ing murid (asih kepada murid, dianggap sebagai anak dan cucu sendiri), telaten pamulange (telaten dalam memberikan pelajaran), lumuh ing pamrih (tidak memiliki pamrih, kecuali untuk tujuan kemajuan murid), tanggap ing sasmita (mampu menangkap keinginan murid), sepen ing panggrayangan (tidak membuat murid berprasangka), ora ambalekaken patakon (mampu memberikan jawaban), ora ngendak kagunan (tidak meremehkan murid), dan ora amburu aleman (tidak mengunggul-unggulkan kepandaiannya).
Masih belum juga cukup dengan prasyarat tersebut, guru juga harus mampu menerapkan “Doso Mo”, yakni manembah (bertakwa kepada Allah), momong (mampu mengasuh), momot (sabar dan tahan uji, momor (mampu beradaptasi), mursid (suci dan berpandangan luas), murokapi (keberadaannya benar benar dibutuhkan), mapan (kecukupan), mituhu (loyal dengan profesi), mitayani (handal), mumpuni (canggih).
Suhrawardi, filosof iluminasi, memberi kriteria dan tugas guru musryid, yakni: (1) Membersihkan niat dan meluruskan tujuan hidup murid. (2) Mengetahui kemampuan murid. (3) Mendidik murid tanpa pamrih. (4) Menyesuaikan ucapan dan tindakan.( 5) Menyayangi orang lemah. (6) Menyucikan ucapan. (7) Berbicara dengan bijaksana. (8) Selalu mengingat dan memuliakan Allah Swt sewaktu berbicara. (9) Menjaga rahasia murid. (10) Memaafkan kesalahan murid. (11) Mengabaikan haknya sendiri demi kepentingan murid. (12) Memberikan hak-hak murid. (13) Mampu membagi waktu untuk menyendiri (berkhalwat) dan beramal. (14) Selalu mengerjakan amalan-amalan sunnat.
Pertanyaannya, masih adakah sosok guru dengan standardisasi itu dalam kekinian? Dalam banyak kasus, keberadaan guru serupa itu malah dianggap kafir, murtad, bidah dan sebutan negatif semacamnya. Contoh kongkret apa yang menimpa Syekh Muhyidin Ibn Arabi.Dengan konsep Wahdatul Wujud, ajarannya, dia justru dituding sesat dan menyesatkan umat. Tapi Allah Maha Mengetahui hambanya. Ibnu Arabi boleh jadi tidak pernah melakukan pembelaan atas tudingan itu. Akan tetapi, sekali lagi, Allah lewat lisan para “Imam dan Ulama Besar dan Salih” beramai-ramai membelanya.
Ibnu Hajar menyebutkan kisah menarik dalam peristiwa yang terjadi pada tahun 831 H. Suatu hari Ibnu Hajar pergi bersama Al-Bisathi menuju ke Syaikh Alauddin Al-Bukhari. Dalam perbincangan, mereka menyinggung nama Ibnu ‘Arabi. Syaikh Alauddin langsung menjelek-jelekkan Ibnu ‘Arabi dan mengkafirkan orang-orang yang meyakini isi kitabnya. Al-Bisathi menyanggah tuduhan Syaikh Alauddin dan membela Ibnu ‘Arabi, “Sebenarnya orang-orang mengingkari Ibnu ‘Arabi hanya karena berdasarkan kata-kata zhohir yang beliau ucapkan itu. Jika tidak, maka tak ada satu pun dari ucapannya itu yang patut untuk diingkari jika ia mau memahaminya sesuai dengan maksud penulisnya atau dengan sedikit takwil.” Demikian sanggahnya. Lalu Syaikh Alauddin mengajukan pengingkaran terhadap konsep Al-Wihdah Al-Muthlaqah ala Ibnu ‘Arabi. Al-Bisathi menjawab, “Apakah Anda tahu apa itu Al-Wihdah Al-Muthlaqah?”. Syaikh Alauddin marah besar mendengarnya dan bersumpah kalau pemerintah tidak mau menonaktifkan Al-Bisathi dari jabatannya sebagai Qadhi (hakim), ia sendiri yang akan mengusirnya dari Mesir.
Syaikh Alauddin meminta sekretaris untuk mengajukan permasalahan ini kepada pemerintah. Hampir saja pemerintah mengabulkan permintaan itu dan mengangkat Asy-Syihab bin Taqi sebagai ganti Al-Bisathi. Namun kemudian majelis itu ternyata dibatalkan.
Imam As-Suyuthi berkomentar, “Ini adalah salah satu berkah membela salah satu wali Allah.” Akhirnya Al-Bisathi meneruskan jabatannya dan tak seorang pun yang menonaktifkannya sampai beliau wafat setelah dua puluh satu hari sejak kejadian itu.
Suatu ketika seorang santri bertanya pada Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, mengenai Ibnu ‘Arabi dan kontroversi seputar tokoh besar itu. Syaikh menjawab, “Beliau (Ibnu ‘Arabi) adalah Al-Imam Al-Akbar yang telah dicemarkan namanya. Kaum Bathiniyah dari kalangan Ismailiyah telah menyusupkan perkataan-perkataan bathil ke dalam kitab-kitab karangan beliau. Dan sekarang kaum Wahabi sering mengkafirkan beliau berdasarkan isi kitab-kitab itu.”
Syeikh ‘Abdullah al-Talidi di dalam al-Mutrib bi Masyahir Awliya’ al-Maghrib, mengatakan :“Beliau(Ibn ‘Arabi) sebenarnya adalah lambang kebanggaan dan tokoh besar umat ini. Khususiyyah dan ma’rifah beliau dengan Allah Taala serta keteguhan pendiriannya di dalam tauhid dan berpegang dengan syarak telah disaksikan oleh ramai tokoh-tokoh besar seperti Abu Madyan al-Ghawth, al-‘Izz bin ‘Abdil Salam, Fakhruddin al-Razi, katanya: Beliau adalah wali yang agung. al-Syihab al-Suhrawardi, al-‘Arif Sayyidi Mustafa al-Bakri, al-‘Arif Sayyidi ‘Abdul Qadir al-‘Idrus, Syeikh Zakariyya al-Ansari, Ibn Hajar al-Haytami, al-‘Arif al-Yafi’i, al-Fairuzabadi pengarang al-Qamus, al-‘Arif Ibn ‘Ata’illah penyusun al-Hikam, al-Qutb al-Sya’rani, al-Hafiz al-Suyuti, al-‘Arif al-Nabulusi, al-‘Arif Ibn ‘Ajibah, Abu ‘Abdillah ibn Ja’far al-Kattani, Khatimah al-‘Arifin Sayyidi Muhammad bin al-Siddiq, dan lain-lain lagi dari kalangan tokoh-tokoh sepanjang zaman.
Ia adalah penyaksian adil para imam besar berkenaan ketokohan beliau (Ibn ‘Arabi), sifat istiqamah dan khususiyyah beliau, serta kebebasan beliau terhadap kecaman-kecaman yang ditujukan kepadanya. Sesungguhnya mereka itu adalah imam-imam hidayah, serta pemimpin-pemimpin tarbiah dan islah. Maka penyaksian mereka adalah didahulukan ke atas siapa yang mengecam dan mengkritiknya, karena mereka mengkritik terhadap perkara yang mereka sendiri tidak mempunyai ilmu pengetahuan lengkap tentangnya, dan tidak mudeng takwilnya. Mereka semata hanya menduga-duga.
Masih ada banyak lagi tokoh besar yang tidak disebutkan oleh Syeikh al-Talidi seperti Ibn Kamal Basya, Ibn al-‘Imam al-Hambali, al-‘Allamah al-Munawi, Syeikh Ahmad al-Sirhindi, Syeikh Hayat al-Sindi, Syeikh Abu al-Mahasin al-Qawuqji, Imam ‘Abdullah al-Haddad, al-Amir ‘Abdul Qadir al-Jaza’iri dan sebagainya.
Semoga Allah membimbing kita ke jalan yang lurus.Amin. (acs)
Komentar
Posting Komentar