Soetomo Mangkoedjojo Penyelamat SH Terate
Perkembangan Persaudaraan SH Terate tidak lepas dari jasa Kang Mas Soetomo Mangkoedjojo. Beliau merupakan salah seorang tokoh perintis organisasi pencak silat terbesar dalam negeri ini. Pria kelahiran Madiun ini juga tercatat sebagai tokoh yang membidani perubahan SH Terate dari “paguron” ke “persaudaraan” (baca: organisassi) dengan nama Persaudaraan Setia Hati Terate. Tak kalah pentingnya beliau juga tercatat sebagai “penyelamat” SH Terate ketika organisasi ini mengalami kemuraman di era tahun 60-an.
Catatan karya menumental yang beliau kerjakan sepanjang mengabdi di SH Terate, tak terbilang banyaknya. Dalam Buku “Sejarah SH Terate dan Persaudaraan Sejati” yang sempat penulis tulis dan diterbitkan Yayasan SH Terate, beberapa tahun silam, jasa Mas Soetomo Mangkoedjojo cukup mewarnai periode perintisan SH Terate. Sebut misalnya, atas izin Pak Hardjo Oetomo, pada bulan Juli 1948, digelar konferensi (musyawarah antar warga SH Terate) di kediaman beliau di Pilangbango, Madiun. Sejumlah murid beliau mulai tampil ke depan. Sebut, misalnya, Bapak Soetomo Mangkoedjojo, Bapak Darsono, Bapak Soemadji, Badini dan Irsad. Saat ini beliau dalam kondisi sakit. Separo badannya tak bisa digerakkan.
Temu kadang tersebut melahirkan mufakat, bahwa kegiatan SH Terate harus tetap berjalan dan berkembang. Karena beliau sudah tidak bisa melakukan aktivitas, kegiatan latihan pencak silat mulai diamanatkan kepada murid muridnya.Kemudian, digagas perubahan sistem komunikasi di tubuh SH Terate. Yakni, dari sistem perguruan pencak silat ke sistem organisasi persaudaraan. Pada tahun 1950 Ki Hadjar Hardjo Oetomo, mendapat pengakuan danpenghargaan dari pemerintah Ri sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan RI.Penghargaan ini diberikan atas jasa beliau berjuang melawan Belanda. Pasca wafatnya Ki Hadjar Hardjo Oetomo, kegiatan SH Terate diteruskan para siswanya. Jumlah anggota yang ikut bergabung, satu demi satu mulai bertambah searah perjalanan waktu. Era kemerdekaan bergulir pelan tapi pasti dan kegiatan SH Terate yang pada masa kolonial diawasi dan dibatasi, ikut merdeka. Ruang gerak warga masyarakat dalam mengembangkan kreativitas, terbuka lebar. Belenggu kolonialisme tak lagi ada, berganti era harapan baru untuk berjuang demi mengisi kemerdekaan.
Sejalan dengan itu, mulai muncul pemikiran tentang format penataan program kegiatan. Posisi “guru” atau pemimpin SH Terate yang vakum setelah Ki Hadjar Hardjo Oetomo wafat, sudah selayaknya diisi. Gagasan perubahan sistem komunikasi di tubuh SH Terate yang pernah dibicarakan dalam konferensi di Pilangbango pada tahun 1948, semakin mengerucut. Puncaknya pada tanggal 13 September 1953, dengan digelarnya konferensi SH Terate Jl. Diponegoro No.45 Madiun, kediaman Bapak Soetomo Mangkoedjojo. Konferensi SH Terate saat itu menelorkan sejumlah keputusan penting, antara lain: 1. Menyusun Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) SH Terate yang pertama. 2. Mengangkat Bapak Soetomo Mangkoedjojo sebagai Ketua SH Terate Pusat. 3. Untuk menghargai jasa Hardjo Oetomo yang telah berjuang mendirikan perguruan pencak silat ini, SH Terate memberikan gelar kehormatan kepada beliau dengan Ki Hadjar. 4. Istri beliau, Ibu Inem Hardjo Oetomo diposisikan sebagai Ibu SH Terate. 5. Sementara itu, untuk lebih mengefektifkan program latihan pencak SH Terate, Bapak Santoso dan Pak Badini diangkat sebagai pelatih. Mengapa langkah pembaharuan itu ditempuh? Alasannya, pertama agar SH Terate mampu mensejajarkan kiprahnya dengan perubahan zaman dan pergeseran nilai-nilai komunitas yang melingkupinya. Dengan adanya perubahan sistem komunikasi di tubuh SH Terate dari “paguron” atau “perguruan” menjadi organisasi yang bertumpu pada “sistem persaudaraan”, berarti gaung pembaharuan telah diluncurkan dan proses perubahan telah digelar. Yakni perubahan roh organisasi dari sistem tradisional ke sistem organisasi modern. Dengan konsep ini, kelak SH Terate diharapkan mampu menjawab tantangan kehidupan yang semakin kompleks.
Alasan kedua; agar SH Terate tidak dikuasai dan bergantung pada orang-perorang, sehingga kelangsungan hidup organisasi dan kelestariannya lebih terjamin. Meski roh organisasi sudah bergeser dari perguruan pencak silat berubah jadi organisasi persaudaraan, namun dalam konsepsi keilmuan (idealisme), tradisi paguron masih tetap dipertahankan. Ini mengingat bahwa SH Terate lahir dari akar budaya pencak silat yang tetap ngugemi prinsip prinsip patrialisme.
Lain kata, konsepsi demokratisasi lebih dikedepankan dalam penataan organisasi. Sementara dalam prosesi pewarisan keilmuan, tradisi paguron atau perguruan pencak silat masih dipegang teguh oleh tokoh tokoh SH Terate. Dan ini, harus diakui, terus dipertahankan turun temurun, hingga era kepemimpinan RM Imam Kesoepangat dan era kepemimpinan KRAT H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE. Sebab berdasarkan kajian empiris, tradisi paguron ini justru merupakan roh yang memberikan kekuatan nilai nilai persaudaraan dan kesetia-hatian (ke-SH-an).
Terpilihnya Kang Mas Soetomo Mangkoedjojo sebagai Ketua Pusat SH Terate pada periode ini, merupakan pilihan yang tepat. Pak Tomo dikenal sebagai tokoh yang cukup arif dan bijaksana. Sosoknya tinggi, tegap dan penampilannya berwibawa. Beliau juga setia dan tegas dalam mengambil keputusan serta teguh dalam memegang prinsip. Satu lagi, pandangannya cukup luas dan terbuka. Beberapa sumber yang berhasil ditemui menuturkan, di balik sosok tinggi dan tegap yang dimiliki beliau, tersembunyi kesantunan kepada sesama.
Dalam tahun 1956, karena Bapak Soetomo Mangkoedjojo pindah tugas dari BRI Cabang Madiun ke BRI Surabaya (Kaliasin), jabatan Ketua SH Terate digantikan Pak Irsyad. Sedangkan jabatan sekretaris dipegang Pak Soedarsono.
Dokumen administrasi SH Terate menyebutkan, pada tanggal 11 Agustus, tahun 1966, digelar rapat pengurus pusat SH Terate di Madiun. Hasilnya, untuk menyelamatkan SH Terate, pasca terjadi peristiwa Pemberontakan G 30 S PKI, dipandang perlu melakukan refresing pengurus. Refresing pengurus ini, berdasarkan Surat Intruksi bernomor 006/Sec/SHT/66 yang ditandatangani Ketua I SH Terate Soetomo Mangkoedjojo dan Sekretaris R. Koeswanto BA, tidak hanya dilakukan di pusat Madiun, akan tetapi juga dilakukan di cabang.
Pada tahun ini, Bapak Soetomo Mangkoedjojo, kembali diangkat sebagai Ketua SH Terate. Sedangkan Wakil Ketua II dan III, masing-masing dijabat Bapak Harsono dan RM. Imam Koesoepangat.
Keputusan penting lain yang dihasilkan pada rapat pengurus pusat ini adalah, SH Terate bersikap netral dan membebaskan diri dari kepentingan politik praktis. Sementara, di sektor program pembinaan siswa, diangkat tiga orang untuk menduduki Dewan Pelatih SH Terate. Mereka adalah, Pak Badini, Pak Harsono dan RM.Imam Koesoepangat.
Pitutur Luhur Soetomo Mangkoedjojo: Wong SH Terate kuwi, yen ana sedulure teka, mbuh bengi mbuh awan, bukakna lawang sing amba.Sebab tekane sedulurmu iku mau, jalaran saka tresna dan mesti ana wigati. (Warga SH Terate itu, jika ada saudaranya datang, entah itu siang entah malam, bukakan pintu lebar lebar.Sebab kehadiran saudaramu itu karena dorongan rasa cinta, dan kehadirannya pasti membawa berkah). Nasihat ini disampaikan langsung oleh Mas Soetomo Mangkoedjojo kepada Mas Tarmadji, saat beliau bertamu malam hari ke rumah Mas Tarmadji, beberapa malam sebelum Mas Madji disyahkan menjadi warga SH Terate.(acs)
Catatan karya menumental yang beliau kerjakan sepanjang mengabdi di SH Terate, tak terbilang banyaknya. Dalam Buku “Sejarah SH Terate dan Persaudaraan Sejati” yang sempat penulis tulis dan diterbitkan Yayasan SH Terate, beberapa tahun silam, jasa Mas Soetomo Mangkoedjojo cukup mewarnai periode perintisan SH Terate. Sebut misalnya, atas izin Pak Hardjo Oetomo, pada bulan Juli 1948, digelar konferensi (musyawarah antar warga SH Terate) di kediaman beliau di Pilangbango, Madiun. Sejumlah murid beliau mulai tampil ke depan. Sebut, misalnya, Bapak Soetomo Mangkoedjojo, Bapak Darsono, Bapak Soemadji, Badini dan Irsad. Saat ini beliau dalam kondisi sakit. Separo badannya tak bisa digerakkan.
Temu kadang tersebut melahirkan mufakat, bahwa kegiatan SH Terate harus tetap berjalan dan berkembang. Karena beliau sudah tidak bisa melakukan aktivitas, kegiatan latihan pencak silat mulai diamanatkan kepada murid muridnya.Kemudian, digagas perubahan sistem komunikasi di tubuh SH Terate. Yakni, dari sistem perguruan pencak silat ke sistem organisasi persaudaraan. Pada tahun 1950 Ki Hadjar Hardjo Oetomo, mendapat pengakuan danpenghargaan dari pemerintah Ri sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan RI.Penghargaan ini diberikan atas jasa beliau berjuang melawan Belanda. Pasca wafatnya Ki Hadjar Hardjo Oetomo, kegiatan SH Terate diteruskan para siswanya. Jumlah anggota yang ikut bergabung, satu demi satu mulai bertambah searah perjalanan waktu. Era kemerdekaan bergulir pelan tapi pasti dan kegiatan SH Terate yang pada masa kolonial diawasi dan dibatasi, ikut merdeka. Ruang gerak warga masyarakat dalam mengembangkan kreativitas, terbuka lebar. Belenggu kolonialisme tak lagi ada, berganti era harapan baru untuk berjuang demi mengisi kemerdekaan.
Sejalan dengan itu, mulai muncul pemikiran tentang format penataan program kegiatan. Posisi “guru” atau pemimpin SH Terate yang vakum setelah Ki Hadjar Hardjo Oetomo wafat, sudah selayaknya diisi. Gagasan perubahan sistem komunikasi di tubuh SH Terate yang pernah dibicarakan dalam konferensi di Pilangbango pada tahun 1948, semakin mengerucut. Puncaknya pada tanggal 13 September 1953, dengan digelarnya konferensi SH Terate Jl. Diponegoro No.45 Madiun, kediaman Bapak Soetomo Mangkoedjojo. Konferensi SH Terate saat itu menelorkan sejumlah keputusan penting, antara lain: 1. Menyusun Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) SH Terate yang pertama. 2. Mengangkat Bapak Soetomo Mangkoedjojo sebagai Ketua SH Terate Pusat. 3. Untuk menghargai jasa Hardjo Oetomo yang telah berjuang mendirikan perguruan pencak silat ini, SH Terate memberikan gelar kehormatan kepada beliau dengan Ki Hadjar. 4. Istri beliau, Ibu Inem Hardjo Oetomo diposisikan sebagai Ibu SH Terate. 5. Sementara itu, untuk lebih mengefektifkan program latihan pencak SH Terate, Bapak Santoso dan Pak Badini diangkat sebagai pelatih. Mengapa langkah pembaharuan itu ditempuh? Alasannya, pertama agar SH Terate mampu mensejajarkan kiprahnya dengan perubahan zaman dan pergeseran nilai-nilai komunitas yang melingkupinya. Dengan adanya perubahan sistem komunikasi di tubuh SH Terate dari “paguron” atau “perguruan” menjadi organisasi yang bertumpu pada “sistem persaudaraan”, berarti gaung pembaharuan telah diluncurkan dan proses perubahan telah digelar. Yakni perubahan roh organisasi dari sistem tradisional ke sistem organisasi modern. Dengan konsep ini, kelak SH Terate diharapkan mampu menjawab tantangan kehidupan yang semakin kompleks.
Alasan kedua; agar SH Terate tidak dikuasai dan bergantung pada orang-perorang, sehingga kelangsungan hidup organisasi dan kelestariannya lebih terjamin. Meski roh organisasi sudah bergeser dari perguruan pencak silat berubah jadi organisasi persaudaraan, namun dalam konsepsi keilmuan (idealisme), tradisi paguron masih tetap dipertahankan. Ini mengingat bahwa SH Terate lahir dari akar budaya pencak silat yang tetap ngugemi prinsip prinsip patrialisme.
Lain kata, konsepsi demokratisasi lebih dikedepankan dalam penataan organisasi. Sementara dalam prosesi pewarisan keilmuan, tradisi paguron atau perguruan pencak silat masih dipegang teguh oleh tokoh tokoh SH Terate. Dan ini, harus diakui, terus dipertahankan turun temurun, hingga era kepemimpinan RM Imam Kesoepangat dan era kepemimpinan KRAT H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE. Sebab berdasarkan kajian empiris, tradisi paguron ini justru merupakan roh yang memberikan kekuatan nilai nilai persaudaraan dan kesetia-hatian (ke-SH-an).
Terpilihnya Kang Mas Soetomo Mangkoedjojo sebagai Ketua Pusat SH Terate pada periode ini, merupakan pilihan yang tepat. Pak Tomo dikenal sebagai tokoh yang cukup arif dan bijaksana. Sosoknya tinggi, tegap dan penampilannya berwibawa. Beliau juga setia dan tegas dalam mengambil keputusan serta teguh dalam memegang prinsip. Satu lagi, pandangannya cukup luas dan terbuka. Beberapa sumber yang berhasil ditemui menuturkan, di balik sosok tinggi dan tegap yang dimiliki beliau, tersembunyi kesantunan kepada sesama.
Dalam tahun 1956, karena Bapak Soetomo Mangkoedjojo pindah tugas dari BRI Cabang Madiun ke BRI Surabaya (Kaliasin), jabatan Ketua SH Terate digantikan Pak Irsyad. Sedangkan jabatan sekretaris dipegang Pak Soedarsono.
Dokumen administrasi SH Terate menyebutkan, pada tanggal 11 Agustus, tahun 1966, digelar rapat pengurus pusat SH Terate di Madiun. Hasilnya, untuk menyelamatkan SH Terate, pasca terjadi peristiwa Pemberontakan G 30 S PKI, dipandang perlu melakukan refresing pengurus. Refresing pengurus ini, berdasarkan Surat Intruksi bernomor 006/Sec/SHT/66 yang ditandatangani Ketua I SH Terate Soetomo Mangkoedjojo dan Sekretaris R. Koeswanto BA, tidak hanya dilakukan di pusat Madiun, akan tetapi juga dilakukan di cabang.
Pada tahun ini, Bapak Soetomo Mangkoedjojo, kembali diangkat sebagai Ketua SH Terate. Sedangkan Wakil Ketua II dan III, masing-masing dijabat Bapak Harsono dan RM. Imam Koesoepangat.
Keputusan penting lain yang dihasilkan pada rapat pengurus pusat ini adalah, SH Terate bersikap netral dan membebaskan diri dari kepentingan politik praktis. Sementara, di sektor program pembinaan siswa, diangkat tiga orang untuk menduduki Dewan Pelatih SH Terate. Mereka adalah, Pak Badini, Pak Harsono dan RM.Imam Koesoepangat.
Pitutur Luhur Soetomo Mangkoedjojo: Wong SH Terate kuwi, yen ana sedulure teka, mbuh bengi mbuh awan, bukakna lawang sing amba.Sebab tekane sedulurmu iku mau, jalaran saka tresna dan mesti ana wigati. (Warga SH Terate itu, jika ada saudaranya datang, entah itu siang entah malam, bukakan pintu lebar lebar.Sebab kehadiran saudaramu itu karena dorongan rasa cinta, dan kehadirannya pasti membawa berkah). Nasihat ini disampaikan langsung oleh Mas Soetomo Mangkoedjojo kepada Mas Tarmadji, saat beliau bertamu malam hari ke rumah Mas Tarmadji, beberapa malam sebelum Mas Madji disyahkan menjadi warga SH Terate.(acs)
Komentar
Posting Komentar