Jadikan Cemburu Sebagai Rasa Adiluhung

Perasaan cemburu, bisa dijadikan motor penggerak semangat bersaing. Dalam konteks hakikat, perasaan cemburu, jika kita mampu menformat dengan bingkai aura positif, justru akan melahirkan karya adiluhung. Syaratnya, baik penyulut maupun format keluaran perasaan itu bernilai positif.

Manusia pada dasarnya memiliki sifat pencemburu. Sebab, di dalam jiwanya, Allah telah memasukkan dua dari empat unsur nafsu. Yakni, amarah dan aluwamah. Rasa cemburu, muncul atas dorongan dari kedua nafsu ini. Perpaduan antara nafsu ingin berkuasa dan ketakutan jika sesuatu yang telah dikuasainya itu hilang dari genggaman tangan. Dampaknya, menyulut timbulnya emosi, dengki, iri, dan kemauan detruktif untuk menyingkirkan orang-orang yang telah menghancurkan impiannya.

Namun di balik itu semua, rasa cemburu sesungguhnya indah, sekaligus juga melankolis. Rasa cemburu jadi indah jika kita bisa menguasai rasa itu sendiri. Sebaliknya, akan menyakitkan apabila perasaan itu justru mengendalikan dan menguasai jiwa kita.

Dalam episode percintaan, sebagai misal, cemburu akan menunjukkan bentuk kemurniannya. Sebab cinta dan cemburu laksana matahari dan sinarnya. Laksana samudra dan gelombang airnya. Hayati, bagaimana kecamuk rasa yang ada dalam jiwa, jika orang yang kita cintai mendadak bercengkrama dengan orang lain. Rasa apa yang muncul seketika jika jiwa kita telah dikuasai perasaan ini. Jawabnya, ada dua, jika tidak nafsu amarah, ya nafsu aluwamah dalam medium paling fatal. Yakni, ingin memiliki sekaligus melenyapkan segala sesuatu yang menghancurkan kekuasaan kita atas sesuatu itu.

Timbulnya kasus pertikaian, bahkan berkahir dengan pembunuhan antar sesama, acap kali tersulut perasaan cemburu. Kita lantas menyebut keliar nafsu ini sebagai cemburu buta. Atau rasa cemburu yang terformat dalam medium negatif.

Sebaliknya, perasaan cemburu, bisa dijadikan motor penggerak semangat bersaing. Dalam terminologi hakikat, perasaan cemburu, jika kita mampu menformat dengan bingkai aura positif, justru akan melahirkan karya adiluhung. Syaratnya, baik penyulut maupun format keluaran perasaan itu bernilai positif.

Misalnya, cemburu atas keberhasilan seseorang, lantas kita menjadikan perasaan itu sebagai pelecut semangat untuk berusaha keras agar keberhasilan itu juga menjadi milik kita. Dalam, konteks religiusitas, perasaan cemburu malah sangat-sangat dibutuhkan. Konkretnya, perasaan cemburu jangan-jangan Allah berpaling dari diri kita. Cemburu jika orang lain malah lebih baik dari kita. Fastabikhul khoiroh.

Kenapa? Sebab, Allah Maha Pencemburu. Allah murka jika kita berpaling dari-Nya. Allah murka jika kita menjadikan makhluk menyerupai-Nya. Menjadikan makhluk sebagai sesembahan. Karena Allah sangat mencintai orang yang berusaha mencintai-Nya. Orang-orang yang dengan sepenuh jiwa raga, berusaha meningkatkan dan menjaga ketakwaannya.(Katakan pada hambaKu yang beriman, jika dia konsisten menjaga keimanannya, maka Aku akan menjadi matanya ketika dia melihat, Aku akan jadi telinganya ketika dia mendengar, Aku akan jadi tanganya ketika dia memukul, dan Aku akan jadi kakinya ketika dia berjalan. Jika dia mendekatiku satu jengkal, maka Aku akan mendekat padanya satu hasta, jika dia mendekati sambil berjalan, maka Aku akan mendekatinya sambil berlari.Hadts Qudsi)

Dan jika perasaan cemburu dalam konteks religiusitas ini sudah bisa kita rasakan, bertanyalah kepada diri kita sendiri, adakah dimensi lain yang setara? Adakah kenikmatan, keindahan, harapan serta keyakinan sekaligus kecemasan yang bisa kita rasakan jika perasaan cinta dan cemburu kita kepada Allah sudah tertanam dalam jiwa?

Jawabnya, tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya. Dan, jika perasaan itu sudah tertanam dalam jiwa, sama artinya kita sudah berada dalam pranatan keseimbangan.

Menurut Kang Mas KRH.H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, pemahaman atas makna keseimbangan dan penerapan hukum itu dalam kehidupan insan Persaudaraan Setia Hati Terate, wajib digaris-bawahi. Terdapat empat prasarat agar konsep keharmonisan hidup itu bisa dirasakan. Keempat prasyarat itu adalah: Ora kagetan (tidak gampang terkejut) ora gumunan (tidak mudah terkesima, tergelincir), yakin, lan wani nglakoni (yakin dan berani menghadapi tantangan).

Ora kagetan, artinya siap menerima segala tantangan hidup dan berusaha sedapat mungkin mengantisipasi tantangan itu dengan keteguhan dan ketabahan jiwa. Sementara itu jika sewaktu-waktu menghadapi cobaan, berusaha untuk menerimanya dengan lapang dada, tidak mudah menyerah atau putus asa (lila lamun kelangan ora gegetun: sabdatama).

Dalam bahasa yang lebih mudah dicerna, bermental baja dilandasi tingkat kepasrahan utuh kepada Tuhan Yang Mahaesa. Karena apa, kita sudah yakin bahwa segala tantangan dan cobaan itu tidak lebih hanya merupakan ujian bagi manusia. Artinya, barang siapa yang bisa lulus, akan mendapatkan berkah dan kesuksesan. Sebaliknya, bagi yang tidak tahan uji, akan terjerumus kejurang kenistaan.

Ora gumunan, artinya tidak gampang tergelincir rayuan duniawi dan memandang segala bentuk kemolekan; kepiawaian; keperkasaan dan kegemerlapan harta benda, pangkat, derajat, bobot, bibit, bebet (trah) di dunia ini pada hakikatnya merupakan jebakan bagi orang yang lemah kadar keimanannya.

Dengan kedua konsep di atas itu, Persaudaraan Setia Hati Terate ingin mengajak para warganya untuk menghayati kehidupan ini dengan penuh rasa tawakal dan sedapat mungkin mendudukan manusia pada kedudukan yang sama sesuai dengan harkat dan martabatnya. Persaudaraan Setia Hati Terate ingin mengajak para warganya menjadi seseorang yang arif dengan kadar keimanan dan kepasrahan yang penuh, tidak setengah-tengah apalagi munafik.

Jika kedua konsep hidup itu sudah kita laksanakan, maka kita telah mendekati pada tataran warga yang “SH-yer”. Sebab, esensi konsep tersebut merupakan konsep hidup dari seseorang yang berbudi luhur tahu benar dan salah, seperti amanat dan tujuan serta arah yang hendak dicapai oleh Persaudaraan Setia Hati Terate. Dari situ timbul kemudian secara kodrati suatu hakikat yang bisa mengarahkan seseorang pada pengertian”unggah ungguhing ngaurip” atau “jejering urip, lungguhing urip”(kesadaran akan makna hayati) sekaligus “jumbuhing pati” (kesadaran akan hari akhir). Dan munculnya kesadaran akan makna hayati dan makna akhiri itulah yang akan mengarahkan diri kita untuk makfum, mampu dan sedapat mungkin bisa menempatkan diri dalam diri kita sendiri. (ngerti sangkan paraning kepribaden ) maupun di tengah-tengah lingkungan persaudaraan yang selama ini kita agung-agungkan, serta ditengah peradaban manusia (ngerti darmaning ngaurip).

Dari situ, kemudian tumbuh keyakinan dalam jiwa, bahwa hidup di bumi ini hanya sementara. Yakin, masih ada kehidupan lain yang jauh lebih kekal, lebih abadi, lebih sempurna. Dan aku, betapapun bentuknya, telah diturunkan di muka bumi. Tidak ada pilihan lain kecuali menghadapi bumi dengan segenap eksistensinya (wani nglakoni), memformatnya menjadi sebuah laku, sebagai bekal menuju dunia keabadian yang jauh lebih sempurna. _______________

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa dan Wasiat untuk Warga Baru SH Terate

Sekadar Syarat Bentuk Lahir

Menelaah Mukadimah SH Terate